Deanisa
Aku meminta asisten rumah tanggaku untuk libur sementara selama suamiku tidak berada di rumah.
Lebih baik aku menyendiri tanpa ada yang tahu jika aku kesepian. Gak ada canda tawa sepasang suami istri yang berbahagia. Aku terlalu berharap banyak, bukankah dia sudah berkata jika dia tidak akan pernah mencintai aku.
Icha ... Icha, nikmatilah apa yang telah kamu pilih. Salah? Mungkin, tetapi Allah Maha tahu. Gak ada manusia yang memilih sesuatu yang selalu benar.
Setelah sarapan aku berencana untuk kembali menulis n****+. Bukan bakat melainkan curahan hatiku selama menjadi seorang istri. Dulu aku menulis cerita tentang pengalamanku hidup di negeri orang.
Semua yang aku rasakan aku curahkan di dalam tulisanku karena kelak aku pasti akan lupa apa saja yang terjadi selama aku menimba ilmu di negeri nan jauh di sana.
Dan sekarang, dari pada aku mengeluh pada orang atau saudara bahkan orang tua. Lebih baik jika aku mencurahkan isi hatiku pada lembaran putih yang tidak pernah menolak jika dikotori oleh tinta berwarna.
Saat kaki ini tiba di ujung tangga untuk melanjutkan ke tangga berikutnya mataku melihat gorden jendela yang terlepas dari ikatannya. Aku berjalan menuju jendela dan membenarkannya tetapi mataku malah tidak sengaja melihat pemandangan yang tidak biasa.
Seperti bule asing yang berjemur di pantai Kuta dengan celana pendek dan kacamata hitam yang bertengger di atas hidungnya yang mancung itu membuat aku tidak akan percaya jika dia orang Indonesia.
Mataku tidak bisa berpaling dan kaki membeku di tempat untuk sesaat namun aku tersadar kala getaran ponsel di dalam saku celanaku menggelitik kulit dalamku.
"Assalamu'alaikum, Mah--"
Mama mertuaku yang menelepon, menanyakan bagaimana keadaanku dan anaknya. Sekalian aku berkata bahwa anaknya baru saja pergi untuk perjalanan bisnis ke Korea.
Entah itu benar atau hanya klise semata karena aku melihat wanita sebelah rumah juga menggeret kopernya dan masuk ke dalam mobil.
Aku mungkin ber- suudzon tetapi naluriku yang mengatakan bahwa mereka mulai melakukan affair dan suaminya diam saja.
Setelah selesai bercengkrama lewat telepon, aku lupa ingin kemana dan apa yang mau aku lakukan. Tapi kakiku malah ringan untuk melangkah mendekati jendela kembali.
Saat aku melihat keluar jendela, si pria itu sudah tidak ada, mungkin sudah selesai berjemur. Dan tidak sengaja lagi mataku malah melihat lurus ke depan. Dia berdiri tegak bertelanjang d**a dengan handuk yang melilit di bagian pinggangnya, menatapku.
"Ihhh, malu ya Allah ... ishhhh kok dia lihat sih!”
Aku berlari menaiki tangga selanjutnya dan langsung masuk ke dalam kamar. Menghempaskan tubuh ini di atas ranjang dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut. Aku merasa seperti telanjang karena aku tidak mengenakan hijab, rambutku terurai bebas karena suamiku tidak ada.
Dasar ceroboh kamu Icha! Semoga dia lupa, semoga dia gak mengkhayalkan yang tidak-tidak.
Aku langsung mengambil laptop untuk mengenyahkan rasa malu ini. Malu-maluin, kok bisa sih aku segenit itu.
Aku duduk menghadap laptop yang sudah berada di atas meja, semua cemilan lengkap di sampingku dan tayangan televisi favorit telah on berada di depanku.
Aku mulai mengetik, tetapi pikiranku malah tidak fokus. Aku mengingat betapa indahnya tubuh pria itu.
Otot bisepnya yang sempurna dan perut kotaknya yang sungguh berbentuk seksi. Ya Allah ... hilangkanlah apa yang sudah aku lihat, hilangkan ya Allah.
Aku memejamkan mata dan menepuk kepalaku berkali-kali, berharap apa yang ada diotakku ini luruh seketika.
Kenapa wanita itu malah mencintai suamiku padahal suaminya sungguh pria yang tampan dan sangat mengagumkan. Jika aku boleh menilai maka aku katakan 90% untuknya sedangkan suamiku 85% karena kulitnya yang sedikit caramel.
Kulit pria itu putih dan berseri ketika terkena pantulan sinar mentari. Dan wajahnya terlihat humble dan sepertinya dia tipe pria yang penyayang.
Kata-kata masukkan dari temanku itu melintas dibenakku lagi. Lama-lama aku bisa rambang dengan keputusanku yang akan tetap berjuang mempertahankan pernikahan.
Dia belum tahu bagaimana aku dan aku juga seperti itu, gimana kalau dia H double O M dan aku hanya menjadi tameng seorang istri tetapi tidak disentuh, ya Allah otakku.
Entah apa yang bisa aku ketik dalam curahan hati ini, yang ada aku hanya mengotori selembar kertas dengan coretan perut kotak-kotak selama 1 jam. Astagfirullah, kenapa Icha ... kenapa?
Bunyi bel berdenting, membuyarkan lamunanku. Rasanya malas untuk bergerak tetapi siapa yang disuruh membuka pintu.
"Aduh ... siapa ya? "
Aku bergerak cepat memakai hijab dan berjalan menuju pintu, sebelum membukanya aku mengintip di jendela dan ternyata dia ... aduh perutku melilit jadi sakit.
Kenapa sih dia datang, suami aku gak ada dan si bibi juga sudah pulang.
Bel terus dipencetnya berulang kali, ya Allah ... gimana ini, aku maluuuuu.
Aku tarik napas lalu hembuskan berulang kali sampai pada akhirnya aku berani membuka pintu dengan debaran jantung yang tidak biasa.
Saat aku buka pintu, Ya Allah gantengnya ciptaanmu ini.
"Ada apa?" tanyaku ketus agar dia tidak merasa percaya diri tebar pesona depan aku.
"Nih paket kamu."
Dia menyodorkan sebuah kotak yang aku gak tahu itu apa? Mungkin barang itu punya suami aku.
"Kamu pemilik ekpedisi, gak mungkin seorang kurir 'kan."
Eh dia mulai tambah bergaya dengan membuka kacamata biru yang dipakainya saat ini.
Aku menundukkan kepala dan meminta barang tersebut tetapi dia malah mempermainkan aku.
"Gak sopan, harusnya meminta sesuatu itu bilang terima kasih dulu."
Ckk!
Kenapa sih dia seperti ini bikin kesal. Aku sedikit berbasa-basi dan dia menanggapinya cukup baik. Ketika aku ingin mengakhiri percakapan singkat ini, dia malah berkata,
"Setiap hari libur saya berenang pukul 8 pagi sampai pukul 10 biasanya jika tidak ada Lala, kalau kamu mau lihat, silakan.”
Astagfirullah ... pria ini! Aku segera ingin menutup pintu sambil berkata,
" Tidak! Terima kasih!"
"Atas apa?"
Ya Allah ... kenapa jantung aku berdetak semakin kencang.
"Eh, jangan kamu pikir aku menyukai pemandangan itu.”
Aku benar-benar malu, sumpah! Ini pengalaman yang tidak pernah akan aku lupakan. Kepergok mengintip dan sangat memalukan.
“Saya bertanya, kamu terima kasih atas apa?”
Pria ini benar-benar menguji imanku untuk berkata kasar padanya, “Tawaran yang tidak bermutu!” ketusku dan terkekeh pelan.
“Oh, tidak bermutu tetapi kecanduan dan mencari lagi?” ucapnya dan semakin membuat aku ingin mengubur tubuhku seluruhnya ke dalam tanah atau lari dari kenyataan hidup ini.
“Tidak akan pernah lagi!” bentakku.
Cukup! Aku kapok Ya Allah. Kenapa mata ini mencari masalah dengan melirik kesana kemari dan akhirnya terjadi kesalah pahaman karena mungkin dia berpikir aku suka mengintip dia.
"Aku tutup!”
“Silakan, tetapi coba buka mata dan hatimu kalau ingin, saya siap masuk kok dan rambut gelombangmu itu terpatri jelas dimataku bagaikan seorang princess.”
Ya Allah ... Abi ... Umi ... tolong Icha. Malu Ya Allah.