Al-Kahfi
Keyakinanku bulat untuk memilihnya jadi istriku, entah apa yang aku rasa ... cinta ... tidak mungkin ... sayang ... no ... kasihan ... not really ... lantas apa?
Ketika melihatnya bermain hujan dan berteriak membenci Qienan, aku merasa dia memaksakan sesuatu yang seharusnya yang tidak dia pilih.
Dia tidak yakin, dia tidak mampu tetapi memaksa. Lihatlah sekarang, ketika aku memprovokasinya, gesturnya menyatakan bahwa yang aku katakan itu benar tetapi dia ingin menampik.
Wajar sih, kalau wanita jual mahal. Kalau kemahalan susah juga kan, adanya dia pasti merugi.
"Memangnya kamu bisa cinta sama aku?"
Pertanyaannya cukup menamparku, jawabannya tentu tidak mudah. Karena kejujuran itu pahit. Cinta tidak semudah itu Marimar.
"Kalau kamu tanya sekarang, aku bisa bilang tidak tetapi kalau kamu tanya nanti, itu bisa jadi, mungkin."
Well, plin plan ... bukan ... sekali lagi, kejujuran itu penting, karena aku gak tahu, dia kah jodohku dunia akhirat meski hati ini hanya milik satu orang yang tidak mungkin aku miliki.
"Semua orang juga bisa ngomong seperti itu jika aku menanyakannya di biro jodoh, jadi ... kamu gak usah memaksa sesuatu yang kamu sendiri gak yakin."
"Aku bertaruh untuk itu, aku bisa!"
Shit!!!
Jujur ini bukan karena hatiku yang menginginkannya, ini karena harga diri. Terdengar jahat tetapi bibir ini telah berucap dan tidak mungkin ditarik kembali.
"Kamu bertaruh, yang artinya adalah kerambangan. Satu tetes air mata seorang istri adalah dosa buat suami, kamu siap nanggung dosa jika aku merasa terdzolimi."
"Siap!"
Sekali lagi, lisan ini terucap langsung ... bukan dari perintah isi kepalaku dan sekarang harus aku pertanggungjawabkan.
"Jika aku gagal sekali maka aku tidak ingin gagal dua kali dan itu artinya kamu wajib disamping aku selamanya, hanya aku ... no poligami."
Mataku melotot mendengarnya, karena apa ... karena kemarin dia ngotot minta di poligami sama Qienan lalu dia gak mau aku poligami, kok gak adil.
"Sorry, bukannya kemarin --"
"Itu lain lagi ... kan aku sudah bilang, sekali gagal gak mau gagal lagi. Mau kamu cinta atau nggak aku gak mau tahu, kamu harus jadi suami aku selamanya, gimana?"
Nada bicaranya naik 1 oktaf, kenapa jadi posesifnya sama aku. Dan lagipula aku memang gak ada niat mau selingkuh. Nikah ya nikah, punya anak,hidup aman, masalah cinta ... cinta gak cintalah yang penting hidup terus berjalan, jika Allah mengizinkan kenapa nggak.
Aku berdehem, "Aku terlalu ganteng ya, jadi kamu posesif gitu sama aku," godaku dan dia malah melotot tajam padaku ... gawat ... gawat! Mode serius ini, gak bisa dibencandain, mungkin dosaku bakal numpuk tiap hari kalau dia nangis aku jahilin.
"Sorry, becanda ... gak usah tegang gitu. Kita ini negosiasi tentang masa depan, sampai ke akhirat. Mau masuk surga gak, harusnya nyantai dong."
Matanya agak lemes dikit, kalau teduh dikit lagi, pasti cantiknya menguar.
"Ngomong sama kamu itu bisa membuat urat saraf tegang."
"Masa' kayak aku dong tadi malam, ngintip kamu joget di bawah hujan, langsung tegang."
Matanya membesar lagi, terus salah tingkah ... lalu,
"Maaf, saya harus pergi, Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam, calon istri."
Dia berjalan cepat setengah berlari, apakah dia merasa malu? Untuk kedua kalinya aku melihatnya tanpa hijab, menari sesuka hati. Aku suka tipe cewek yang cepat move on dan artinya itu wanita tangguh.
Aku kembali ke anggota keluargaku yang sedang menikmati sesi makan-makan dan terlibat jelas diantara papah dan bunda yang sepertinya menjaga jarak, ada apa sebenarnya dengan mereka. Kisah cinta segitiga antar saudara itu gak enak banget dan anak lah menjadi korban, ya aku ini.
"Bunda, foto dong suap-suapan dengan papah seperti dulu."
Dulu mereka mesra sekali setelah meninggalnya mamah, istri papah pertama tapi sekarang mereka malah seperti perang dingin.
"Gak lucu, udah tua."
"Justru itu, sampai tua tetap langgeng dan mesra contohin ke anak cucu bunda, benarkan."
Bunda tarik napas dalam lalu menggeleng pelan dan tersenyum lembut, ini senyum yang sangat aku kenal. Senyum sakit hatinya bunda ketika disakiti. Senyum yang selalu aku rekam dalam ingatan ketika aku bertanya tentang ayah ... dimana ayahku saat itu.
Disaat aku lagi berusaha mengulik permasalahan bunda, eh sepupuku malah bertanya,
"Mas Afi kenal ya dengan kak Icha atau jangan-jangan mantan pacar, serius amat ngomongnya."
"Nah itu, itu yang bunda mau tanya, ada apa dengan kalian," sambung Bunda yang mengalihkan topik pembicaraan, harusnya aku yang memaksanya kini beliau yang memaksaku.
2 pasang mata dihadapanku ini menghakimi dengan tingkat pengetahuan yang tinggi ditambah lagi omongan si kecil yang berkata,
"Mas Afi punya hati --"
"Hati apa dek --" tanya mereka berteriak dan Ya Allah, bukannya dia tadi sibuk main.
Sontak yang dari 2 pasang mata menjadi berpasang-pasang mata sekarang melirikku curiga dan aku tersudut.
"Masssss, udah nikah mas," Bunda mengingatkan dan tentunya aku sadar itu tapi masalahnya ini beda, sangat berbeda dari pasangan pada umumnya.
"Afi, sini nak."
Giliran papah yang melambaiku, alamat ... alamat ... interogasi bakal dimulai. Terpaksa aku mendekat ke arah papah dan duduk disampingnya.
"Gimana pah gula darah, aman?" tanyaku dan dia terkekeh.
"Alhamdulillah, aman ... jangan mengubah topik."
Ya Allah tahu aja. Matanya menelisik ke mataku dan jangan sampai terbaca dengan apa yang ada dalam pikiranku.
"Kamu kenal Deanisa dimana?"
"Tetangga, istrinya Qienan."
"Terus, bicara berdua ... untuk? "
Aku meraup wajahku, bingung ... mau ngomong apa, mau jelasin gimana. Yang nanya seorang ustadz dan pastinya aku diceramahi kalau langsung to the point tapi kalau yang nanya itu Ayah, aku mah santai aja.
"Eerghem itu, gimana ya ... kalau kita punya informasi yang akurat dan harusnya memberi tahu pihak yang dirugikan dan kami berdua sama-sama merasa dirugikan, karena pasangan kami pergi bersama satu pesawat. Jadi, menurut papa gimana?"
Papah nampak terkejut, alisnya berkerut dan jarinya mengetuk-ngetuk diatas kotak makanan didepannya.
"Jadi, fungsinya apa kamu memberitahu dia ... agar dia sakit hati atau membuat dia murka untuk cari ribut."
Aku menggelengkan kepala, ingin menjawab 'Aku mau ambil alih' pasti papah syok.
"Gak usah dibantu mas, dia itu tipe cewek yang serius ... gak percaya dengan apa yang kita bilangi, dia hanya percaya kepada Allah, bagus sih tetapi kalau ngeyel gak bagus juga, adanya kita yang gondok, gak usah dibantuin ... biarin aja."
Tiba-tiba aja adikku si Akhsan datang dan duduk disampingku lalu menceritakan sifat seorang Deanisa.
Aku cukup menyimak dan mensikronkan dengan perilaku wanita itu tadi. Wanita serius yang gak bisa dibencandain, boring ... itu pasti, tapi kalau wajahnya menggemaskan bisa jadi hiburan kan, yang penting dia gak mengeluarkan air mata dan aku gak dosa . Berat juga jadi suaminya sementara aku sudah terbiasa hidup santai tanpa beban dan suka bicara seenaknya.
"Tapi kalau mas Afi pengen tukaran pasangan, kayaknya boleh deh ... nanti Akhsan bantuin. "
"Eh, kalian anggap baju ... tukaran. Awas kamu ya Fi, pernikahan bukan permainan, adanya cobaan dan kalahkan semua rintangan, InsyaAllah berkah."
Mampus!
How can it?