Deanisa
Rintik hujan diluar membuat langkah kakiku keluar dan merasakan butiran-butiran ini yang semula pelan menjadi sangat deras, hujan yang membawa rejeki aku menari bersamanya.
Meskipun malam aku tidak peduli karena aku suka hujan, aku suka bermain hujan. Selain ini adalah kesukaanku tapi ini juga pelampiasan kesalku.
Suamiku tidak ada kabar sama sekali selama 2 minggu ini, dia tidak peduli bagaimana kabarku, apakah aku baik-baik saja atau aku perlu bantuan, aku perlu sesuatu ... tidak, dia tidak tahu ... tepatnya dia tidak mau tahu.
"Aku benci kamu Qieeeennaaaan!"
Aku berteriak kencang saat hujan turun mulai deras, tubuhku terasa dicambuk kuat oleh air ini. Tetpi aku tetap menikmatinya, biarlah sakit ini penghibur laraku, toh dia juga tidak tahu bagaimana perasaanku.
Ini bukan menyakiti diri sendiri, malahan ini menyenangkan diri dan merasakan sesak di rongga d**a ini keluar semua hingga plong.
Setelah puas bermain bajuku basah kuyup dan aku masuk ke dalam rumah lalu mengganti bajuku dengan bathrobe yang bertuliskan namaku dan nama suamiku, hadiah pernikahan kami dari temanku.
Harusnya aku memakai ini dimalam pertama kami, ya Allah mengenaskan, ada atau tidaknya aku tersentuh olehnya nanti, jika tidak maka barang ini akan aku kubur selamanya.
Aku keluar dari kamar mandi berniat untuk membuat segelas minuman jahe agar aku tidak masuk angin karena bermain hujan.
Mataku tak sengaja menatap kamar di seberang rumahku, dia Sang empunya kamar bertelanjang d**a melihatkan betapa kuat otot-otot itu terbentuk disana, ya Allah ... rasa apa terbit dalam diriku ini.
Aku merasakan tarikkan diriku untuk mendekat padanya. Lengan kokohnya terlihat nyaman sebagai tempatku bersandar. Ya Allah ... hilangkan keinginan buruk ini, aku wanita yang sudah bersuami tak pantas untuk memikirkan pria lain meski suamiku sedang bersama wanita lain, mungkin.
***
Ketika pagi menjelang, aku merasakan semangat baru. Semangat untuk menjalani hidup ini agar lebih baik. Ponselku berdering dan segera kuangkat sebelum tanda dering itu padam.
"Halo --"
"Jalan yuuuuukkk ke taman bawa bekal makanan juga."
"Boleh ... aku bawa apa nih?"
Aku antusias sekali untuk ngumpul bareng teman-teman, saling bertukar cerita dan mengingat kenangan lama saat masih sekolah. Mereka adalah teman-temanku semasa kecil makanya, semua hal yang terjadi dari mulai kebiasaan baik atau buruk semua udah pada paham dan bisa mentolerir.
Ada untungnya juga gak ada suami, gak perlu pamit atau minta izin apalagi di hari libur, jika dia ada pasti mengizinkan karena dia kan gak peduli sama aku.
Bakso goreng yang aku buat sudah siap dan akan segera dibawa. Dengan langkah seribu, secepat kilat menyambar aku keluar rumah segera dan mengunci pintu. Mataku menelisik ke arah rumah tetanggaku, kenapa harus? Karena sepertinya sudah terbiasa, aku ingin melihatnya atau kepergok dengannya atau ... akhhh ... memalukan Ichaaaa!
Sampai di taman aku langsung menelpon temanku karena taman ini luas dan lebar, tempat semua orang berkumpul bersama keluarga, aku bisa kebingungan jika tidak tahu dimana mereka.
"Halo, dimana?"
"Masuk saja dulu nanti kita lambai."
Aku mengikuti saran temanku, melangkah dengan pasti masuk ke gerbang taman dan mataku langsung mencari mereka, lambaian tangan pun terlihat aku langsung berjalan melangkah kesana namun aku terhenti sejenak ketika ada seseorang yang memanggil namaku.
"Kak Ichaa. "
Dia Bella, Salsabilla anaknya Ustadz Vidi adiknya tetanggaku, ya Allah pasti dia di sini juga.
Aku akhirnya berjalan mendekati mereka lebih dulu karena tidak baik mengabaikan seseorang yang sudah menyapa kita.
"Assalamu'alaikum."
"Waalaikumsalam, kak kenalkan ini Bunda dan Papah."
Sebagai bentuk hormat pada orang tua, aku menundukkan kepala mencium punggung tangan Si Bunda dan beliau memelukku dan mencium pipiku kiri dan kanan, beliau begitu hangat dan penyayang selain itu cantik ... awet muda. Sedangkan sang Ustadz aku hanya menangkupkan kedua tangan di depan d**a sebagai salamku padanya dan menunduk hormat di depannya.
Dengan begini aku bisa mengenal wajah keluarga mereka semuanya termasuk Akhsan yang tersenyum jahil padaku, kami memang tidak akur. Padahal dia sudah menikah masih saja perilakunya menyebalkan dan dia ... dimana dia ... dimana tetanggaku yang ganteng itu.
"Duduk dengan kami ya,"
"Terima kasih Bund, tetapi Icha mau kumpul dengan keluarga di sana, " elakku karena jika dibilang teman pasti mereka memaksa untuk bareng.
"Oh, ya sudah lain kali kita --"
"Bunda ... bundaaaaa--"
Teriakkan anak kecil itu menggema dari arah belakangku dan ternyata itu adalah adik kecilnya yang sedang menangis sesegukan. Ku pikir ini kesempatan ku untuk melarikan diri dari mereka, ketika aku berdiri sosok Sang Abang pun berdiri di sampingku sambil menjawab pertanyaan bundanya.
Aku bergetar, jantungku bergetar, berdetak lebih kencang hanya karena merasakan dia ada disebelahku, Ya Allah rasa apa ini?
"Deanisa."
Dia memanggil namaku dan mau tak mau aku menoleh padanya dan menganggukkan kepala.
"Bisa bicara berdua."
Tentunya aku tidak mau ada gosip maupun ghibah tentang kami maka dari itu dia membawa adik kecilnya yang sangat menggemaskan.
Kami berhenti tepat di bawah pohon yang rindang, si adiknya terlalu lincah belajar bicara hingga dia kelihatan repot untuk mengurusnya. Sampai pada akhirnya si adik sibuk sendiri dengan mainan yang dibuatkannya dari sebuah ranting pohon.
"Qienan tidak akan bisa berpaling dengan wanita lain ... cintanya hanya untuk Lala, bahkan dia juga tidak ingin melihatmu kan, aku tahu itu--” ucapnya to the point cukup membuat luka gores dihatiku.
Kenapa Mas Qienan tega mengatakan hal itu padanya, bukankah itu rahasia antara suami dan istri.
"Penungguanmu akan sia-sia ... Qienan buta, hatinya sudah tergembok untuk Lala.”
" Tapi --" Aku berusaha menyanggah, dia tetap melanjutkan,
"Kamu butuh cinta untuk bahagia atau butuh Qienan untuk bahagia?”
Aku gak ngerti dalam hal ini, yang jelas aku ingin bahagia dengan pilihanku.
“Maksud kamu?”
“Kalau kamu butuh cinta itu bukan hanya ada pada Qienan tapi jika kamu butuh Qienan kamu tidak akan pernah mendapatkan hatinya ... yakinlah. Lihatlah sekarang kemana mereka. Kamu sebagai wanita muslimah, apakah akan membiarkan suami kamu seperti ini, bisa kamu me-monitoring suami kamu saat bepergian, apa saja yang dia lakukan.”
Sedikit, dia memprovokasi aku. Apa yang dikatakannya benar dan tetap saja berprasangka buruk itu tidak baik.
"Aku akan melepaskannya asal aku bisa mencintai pria lain.”
“Saya sudah menawarkan ... jika kamu siap, isilah kekosongan ini?”
Ya ampun ... gemuruh d**a ini seperti genderang yang mau lepas, sumpah!
“Kamu tidak ingin mempertahankannya?”
Istrinya sangat cantik, mustahil jika dia menyia-nyiakan pernikahan yang mungkin memang tidak sempurna tanpa cinta kedua belah pihak. Paling tidak, dia seorang suami yang punya hak untuk memaksa istrinya agar patuh padanya.
“Saya sudah mengikhlaskannya sebelum dia meminta dan saya belum menyentuhnya.”
Terdengar mustahil, dia tidak menyentuh artis itu, apa omongannya bisa dipercaya?