Perjalanan ke Pondok Indah mal dari rumah tante Ismi hanya dua puluh menit saja, itu juga sudah campur macet di dua lampu merah Deplu dan lampu merah pondok Pinang. Tapi kedua sahabat itu santai saja menjalaninya karena mereka sambil ngobrol yang ringan - ringan saja.
"Jadi besok itu di luar jadwal ya?"
"Iya, kan mestinya setelah wawancara akan di khabari lagi lewat email, tapi pas gue mau pulang tadi, orang hrd yang ada di dalam sana tapi dia nggak ikut mewawancarai gue, dia nyusul gue keluar dan bilang gue ditunggu di kantor besok jam sembilan."
"Lo bawa baju?"
"Ya nggak lah, kan memang nggak prepare buat dua hari ngantor Wi, gue pake baju yang tadi aja, tadi udah gue cuci sebelum pergi ini," jawab Jani. Dewi hanya tersenyum mendengar jawaban sahabatnya itu.
"Kita parkir di mana ya?" tanya Dewi ketika mereka sudah mendekati mal.
"Pim dua aja nggak sih? Hari panas terik begini parkiran pim satu itu panas banget kalo kita dapat di pinggirannya," jawab Jani yang sebenarnya sudah lama tidak ke Pim, tapi dia masih hafal urusan parkiran.
Dewi memasang lampu sign kanan karena akan berbelok masuk dari arah belakang mal. Mereka dapat parkir di basement satu dekat pintu masuk.
Jani dan Dewi jalan berdua mirip anak kuliahan yang baru saja pulang dari kampus. Walau Jani sudah jadi ibu beranak satu tapi kalo dari wajah dan body masih lebih unggul dari Dewi. Hanya saja barang atau baju yang dipakainya tentu saja kalah merk dengan yang Dewi pakai.
"Kita nanti makan di sini ya, gue mau traktir lo," ucap Dewi.
"Wah rejeki gue nih."
"Iya lah... jarang - jarang ketemu."
Mereka naik ke lantai atas.
"Jan, ke Metro dulu yuk, gue mau nyari baju."
"Hayuk lah," Jani mengiyakan.
Mereka menuju jembatan menuju pim satu. Suasana mal siang ini tidak terlalu ramai, mungkin karena ini hari kerja dan di jam kerja juga, jadi lebih banyak ibu rumah tangga atau remaja yang sudah pulang sekolah.
"Gue udah setahun lebih atau hampir dua tahun malah kayaknya nggak ke Pim, terakhir sama mas Erwin," ucap Jani pelan.
Dewi mengusap pelan punggung Jani," Jangan sedih lagi ..."
"Iya ... nggak," jawab Jani mencoba tersenyum walau terlihat datar.
"Jadi ingat waktu kita initial dulu ya Jan, dari Bandung kita merantau, ngekos bareng sambil jalanin tes trus akhirnya training tiga bulan ... tiap hari belajar juga bareng, ingat nggak waktu Kokom dapat pacar kita girang banget ... pecah telor dia," ucap Dewi sambil terkikik.
Jani juga ikut tertawa. Dia dan Dewi memang hanya berdua dari bandung yang diterima waktu itu, sedangkan Kokom dari Bogor dan Mitri orang Palembang. Mereka akrab saat mengikuti training pramugari, lalu setelah itu memutuskan kos bersama.
Meskipun mereka tinggal di tempat kos yang sama, tapi mereka belum pernah terbang bersama.
Karir mereka pun menanjak bersama, tapi entah karena abjad namanya A atau nasibnya memang baik, Jani lebih dulu jadi senior di banding teman - temannya.
Mereka langsung menuju Metro ketika sudah tiba di pim satu.
"Bantu gue cari baju buat ngantor dong Jan," pinta Dewi.
"Yang simple?"
"Yang bisa bikin menarik," jawab Dewi.
"Budget?"
"Bebas, wajar."
"Warna?"
"Netral lah .... masa gue mau jadi cewek kue kalo ke kantor?"
Anjani tertawa. yang benar saja ke kantor pakai yang warna warni ... salahnya juga dengan pertanyaan seperti itu.
Jani memilihkan satu stel rok dan blouse warna krem, warna favorit Dewi.
"Ini aja Wi, cucok meong nggak?"
"Ih keren. cobain Jan."
"Kok gue yang nyobain?"
"Gue males buka jeans ini, mana gue lagi dapet," ucap Dewi beralasan.
Akhirnya Jani masuk kamar ganti untuk mencoba baju yang dipilihnya untuk Dewi tadi.
"Gimana?" Jani memerkan baju yang dipakainya di depan Dewi.
"Always perfect!" puji Dewi.
"Peres! Gimana, lo mau ambil yang ini?"
"Iya dong."
Anjani masuk lagi untuk mengganti bajunya.
Setelah menyelesaikan urusan p********n di kasir, mereka mencari tempat makan di pim dua lagi. Dewi memilih victoria cafe di pim dua, mereka memilih duduk agak pojok agar leluasa ngobrol.
"Gue sangat berharap lo diterima kerja lagi ya Jan, semoga bisa mengembalikan hidup lo yang dulu lagi," Dewi memegang tangan Jani memberi support kepadanya.
"Makasih ya Wi, gue juga berharap begitu. Tujuan gue cuma membahagiakan nyokap dan buat masa depan anak gue aja, jangan sampe dia nggak bisa kuliah kayak gue dulu ... gue harus berjuang mencukupi hidupnya."
"Lo pasti bisa, atau sekalian nyari bokap baru buat anak lo? Ini sudah mau dua tahun nggak sih?"
"Belum dua tahun, sejak gue ketahuan hamil satu bulan, sekitar delapan belas bulan yang lalu," jawab Jani dengan mata yang menerawang jauh.
"Siapa tahu nanti dapat jodoh baru."
"Nggak usah ngomongin jodoh gue, gue udah pernah menikah... lo bertiga malah belum sama sekali. Jangan keasyikan kerja ... menikah dulu. Lo sama Capt. Ivan gimana? Kok gue nggak pernah dengar ceritanya lagi?" tanya Jani.
Dewi tersenyum hambar.
"Gue udah enam bulan yang lalu putus sama mas Ivan."
"Gue bingung mau ucapkan selamat atau malah ikut prihatin. Tapi mungkin itu yang terbaik, udah dari lama gue bilang lo nggak punya masa depan sama dia, mana mungkin di mau menceraikan istrinya walau alasannya nggak cocok dan segala macam, modus doang lah. Jadi pelajaran berharga buat lo sudah buang waktu hampir tiga tahun pacaran. Kalo boleh gue tahu, apa alasan kalian putus?"
"Gue ke gap lagi jalan sama dia di Bali, istrinya nyusul karena udah curiga."
"Lo nyusul Captain Ivan atau terbang bareng?"
"Biasalah, request schedule."
"Astagaaa .... untung dia nggak lapor ke perusahaan Wi!" ucap Anjani kaget.
"Istrinya sih ngancem, ya gue ancem balik lah, jangan cuma gue yang hancur, gue bilang bakalin laporin balik suaminya, takut lah dia, tapi akhirnya kita ngomong bertiga, ada saksinya Captain Amri."
Jani bengong mendengar berita ini, dia benar - benar tidak tahu apa yang sudah di lewati Dewi selama enam bulan terakhir ini.
"Kok lo yang ngalamin tapi gue yang stres dengernya Wi."
Dewi tertawa.
"Makanya gue larang Kokom sama Mitri cerita sama lo, beban hidup lo sudah terlalu berat, jangan sampe denger cerita gue bikin
lo sedih."
"Makasih udah memikirkan perasaan gue. Paling nggak gue denger cerita lo sekarang saat keadaan lo sudah baik - baik aja, sudah move on kan, masih suka ketemu?"
"Nggak, kayaknya istrinya sama mas Ivan minta ke scheduling jangan sampe gue terbang bareng. Jangan kan terbang bareng, selisih jalan aja nggak pernah. Mungkin kalo dia terbang di Indonesia, gue dapat rute luar, atau sebaliknya."
"Bagus deh, setidaknya itu mempercepat lo move on, harusnya dari tiga tahun yang lalu nggak usah lo jalanin. Tapi udah kejadian juga .... jangan sampe ini terulang, yang single masih banyak kan Wi? Nggak harus Captain juga, FO aja masih banyak yang single."
Dewi tertawa," FO yang single berondong maaak ... gue nggak suka berondong, yang mateng pu'un lebih menggoda."
"Ada nggak sih FO yang mateng Pu'un?" tanya Jani.
"Kalo FO mateng pu'un patut di pertanyakan Jan, kenapa dia nggak jadi Captain ... ya kan?"
Jani mengangguk, betul juga kata Dewi.
"Ya tapi sekarang cari yang bener lah ... jangan kayak captain Ivan lagi, php doang."
"Maunya gue sih kayak Captain Owie, tapi mana mau dia sama gue.." Dewi tertawa ngakak.
"Captain Owie si patung es ukir buat kawinan? Masih terbang dia Wi?"
"Masih, idola kita dulu waktu initial. Sekarang anaknya juga terbang Jan, co-pil muda ... berondong. Nah model gitu, gue nge fans sama bapaknya masa lo suruh gue sama FO selevel anaknya captain Owie sih? Yang bener aja Jan.."
"Umur berapa memangnya dua puluh tahun?"
"Ya nggak lah, dua empat apa dua lima gitu ... ya kira - kira segitu deh, masa gue nanti bilang, come to aunty baby..." lagi - lagi Dewi tertawa, Jani juga.
"Gue kira dua puluh, cuma beda dua sampai tiga tahun ... masih oke Wi," ucap Jani.
"Buat gue nggak Jan, gue maunya yang umur tiga puluh ke atas lah, mature."
"Yaudah... gue mendoakan lo dapat jodoh sesuai harapan lo, tapi jangan kayak kemarin, masih banyak yang single di luar sana," Jani menasehati Dewi.
"Iya .... iya..."
"Btw Mitri kayaknya serius sama orang tehnik itu ya Wi?"
"Mas Adam? Iya, mas Adam sudah ngajak nikah malah, tapi Mitri ngasih syarat, dia mau tetap kerja."
"Trus, boleh?"
"Kayaknya agak susah, keluarga mas Adam orang tuanya penganut aliran ibu rumah tangga. Lo tahu kan Mitri harus menanggung dua adiknya yang masih kuliah, nggak mau lah dia berhenti kerja."
"Hmmm ... memang sih susah juga kalo begitu ya Wi. Gue baru merasakan setelah jadi janda begini, kebetulan nasib gue nggak beruntung secara ekonomi ... memang perempuan itu tetap butuh penghasilan .... jaga - jaga kalo sampe kejadian seperti gue ini, oleng bos! Buat perawatan wajah aja jangan kan beli Clinique kayak dulu, yang ada gue sekarang pake klinik dua puluh empat jam," Jani tertawa, tentu saja mentertawakan nasibnya yang miris.
"Bener juga ya Jan. Kalo sudah ada kejadian di depan mata baru mikir. Sebagiian manusia memang kudu dapat pelajaran dulu baru nyadar."
Anjani dan Dewi menghabiskan waktu hingga menjelang Maghrib, Dewi mengantarkan Jani pulang lagi ke rumah tante Ismi.
"Thanks buat hari ini Wi, sekalian gue pamit besok pulang ke Bandung."
"Kalo besok gue nggak terbang, biar gue yang anter lo pulang ke Bandung."
"Bandung dekat Wi... santai."
"Eh itu paper bag bawa turun sekalian." Dewi mengingatkan Jani.
"Lho, itu baju lo ... bukan punya gue."
"Ya kali gue beli baju lagi buat ke kantor, baju gue selemari shay. Itu buat lo ngantor besok, setrika aja malam ini.... good luck, semoga kita segera terbang bareng lagi ya." jawab Dewi dan membuat Jani ingin menangis rasanya.
Setelah sampai di dalam kamar yang di tempatinya, Jani mengeluarkan baju tiga ratus lima puluh ribu yang di cobanya tadi, saat itu ada amplop jatuh, di dalamnya ada uang satu juta rupiah dan tertera tulisan,' Nggak usah bilang makasih, bikin senang keponakan gue - love tante Dewi'. Kali ini Jani hanya bisa menangis.