Vio keluar dari ruangan CCTV, mencari di mana keberadaan orang yang telah melecehkannya. Dia geram karena tak juga menemukan orang itu. Vio berlari ke luar Minimarket, tengok ke kiri dan ke kanan, namun nihil.
"Ke mana si b******k itu?" Vio meremas tangannya, merasakan amarah yang luar biasa. Sungguh jika dibiarkan maka orang yang melakukan hal itu akan terus menjamur. Dia harus memberi pelajaran untuk orang m***m seperti itu.
Kebanyakan wanita di dunia memang sengaja bungkam jika dilecehkan karena mungkin merasa malu jika kejadian itu diketahui oleh orang lain, tetapi Vio beda. Dia akan tetap membuat orang itu mendapat pelajaran.
Vio menajamkan matanya, sepertinya dia melihat sosok yang tadi benar-benar dia ingat saat di ruang CCTV.
"Gotcha!" Vio tersenyum miring. Dia segera berlari ke arah lelaki yang terlihat kikuk sambil memegangi topi itu. Lelaki itu terus melihat ke belekang, seolah takut dikejar sesuatu.
Gadis yang memakai celana jeans dan juga jaket kulit itu berusaha menyusulnya. Dia tak mau kelolosan untuk masalah ini.
"Enak saja, mau pergi begitu saja. Memang dia pikir saya wanita seperti apa? Udah nuduh orang lain lagi. Aduh! Moga aja nggak bakalan ketemu lagi. Kalau beneran ketemu, pasti aku bakalan lebih memilih ngumpet di kolong meja ketimbang berhadapan dengannya."
Malam ini jalanan terlihat sangat sepi. Mobil pun tak banyak yang berseliweran. Mungkin karena ini hanya jalan kecil, bukan jalan raya. Ditambah sudah masuk jam sepuluh malam, jam malam sudah berlaku. Tidak banyak yang berada di luar rumah.
"Berhenti!" teriak Vio. Si pria tadi langsung menoleh sekilas, merasa kaget karena Vio mengejarnya.
Pria itu terus berlari, menabrak segala sesuatu yang ada di hadapannya. Vio berusaha berlari sekuat tenaga dan ....
Vio melayangkan tendangannya pada punggung pria itu hingga si pria tersungkur mencium trotoar. Bagaimana bisa tenaga seorang wanita sekuat itu? Si pria langsung menyentuh hidungya yang telah mengeluarkan darah.
Vio yang merasa marah, menatap pria itu dengan penuh kebencian. Saat ini dia benar-benar ingin mengumpat, mengeluarkan semua kosa kata kotor yang dia tahu.
"Kenapa lo tiba-tiba nyerang gue?" Pria itu bangkit, ganti melihat Vio dengan tatapan marah. Sungguh hal yang memalukan jika ada yang melihat ini.
"Kamu udah melakukan pelecehan terhadap saya sewaktu di Minimarket. Masih nanya kenapa?!" tuduh Vio. Gadis itu sungguh berani, seolah tidak memiliki ketakutan.
Si pria nampak salah tingkah, raut wajahnya seketika berubah. "Siapa bilang? Lo nggak ada bukti!" tampik si pria. Dia merasa percaya diri karena tidak tahu jika Vio sudah melihat semuanya melalui CCTV.
Vio menarik sebelah sudut bibirnya ke atas, "Siapa bilang saya nggak punya bukti? Bahkan saya bisa memberikan bukti sebanyak mungkin," ucap Vio dengan penuh percaya diri.
"Banyak bacot, lo!" Si pria mulai menyerang Vio. Dia melayangkan pukulan ke arah gadis itu, tetapi dengan sigap, Vio langsung menangkap kepalan tangan pria itu dengan sebelah tangannya. Vio mencengkeram tangan si pria dengan sekuat tenaga, hingga si pria merasakan kesakitan.
Mata si pria membelalak kaget, mungkin dia tak menyangka jika gadis seperti Vio bisa membuatnya kesakitan. Ternyata tendangan tadi bukanlah hal kebetulan, tetapi memang karena gadis itu memang menguasai bela diri.
Tahu sebelah tangannya tak segera bisa lepas, dia melayangkan pukulan dengan tangan yang satunya. Namun, nasibnya tidak jauh beda. Vio dapat menangkap semuanya.
"Kamu kira aku ngga bisa lawan hanya karena aku wanita? Akan kubawa kamu ke penjara saat ini juga. Biar nggak ada korban lainnya!" ancam Vio. Dia memiliki trauma terhadap pelecehan seperti ini, yang membuatnya menjadi seseorang yang berbeda.
"Aw ...!" Vio merasakan tendangan di kakinya hingga dia sedikit menunduk karena kesakitan. Dia tak mengira jika pria itu akan mengarah betisnya. Akhirnya cengekeraman tangannya terlepas.
"Jangan harap!" balas si pria. Tanpa ingin babak belur, akhirnya pria itu memilih untuk lari saja.
'Dari pada aku masuk penjara, mending kabur saja,' ucap pria itu dalam pelariannya.
"Jangan lari!" teriak Vio.
"Aduh!" Vio yang geram akhirnya melemparkan sepatu yang dipakainya. Si pria mengadu ketika benda sebuah benda pas mengenai bagian belakang kepalanya.
"Makan tu bau terasi!" Vio kembali lari dan ....
"Hyiaaat ...!" Vio melompat ke arah pria itu hingga membuat tubuhnya menimpa sang pria. Kini posisi si pria tengkurap dengan Vio terduduk di atasnya. Vio mencoba mengikat tangan si pria ke belakang agar tak berkutik lagi. Dia selalu menggantung tali di saku celannya.
"Hey! Apa-apaan kalian?!" Mereka berdua dikejutkan oleh suara teriakan dari arah belakang.
'Dia lagi. Kenapa ketemu lagi, sih?' batin Vio. Dia merasa malas bertemu lagi dengan lelaki yang dia tuduh tadi, mungkin lebih tepatnya malu. Malu karena salah menuduh.
Brian melihat ke arah Vio sang sedang mengikat tangan si pria ke belakang lantas beralih melihat ke arah si pria. Kenapa malah dia ingin tertawa?
"Kenapa Anda bisa berada di sini?" tanya Vio. Ketahuan dalam posisi seperti itu sungguh memalukan. Dia sedang berada di tubuh seorang lelaki, meski kenyataannya tak semesum itu.
"Aku lewat dan melihat pertunjukan ini. Sungguh membuatku ingin menonton secara langsung," ledek Brian. Tidak mungkin dia mengatakan jika dirinya kepo dengan apa yang terjadi. Setelah melihat langsung, ternyata tak seburuk dalam pikirannya tadi.
Dengan bantuan Brian, akhirnya Vio dapat melaporkan orang itu ke polisi. Meski kasusnya harus ditindak lanjut lagi. Vio dapat bernapas lega, satu pelaku pelecehan seksual akhirnya dapat diproses juga.
"Kamu nggak takut?" tanya Brian. Kini Brian dan Vio tengah berada di depan kantor polisi. Vio menunggu taksi sedang Brian ingin tahu lebih lanjut tentang gadis ini.
"Takut apa?" Vio ganti bertanya. Gadis itu kini tengah meneguk kopi yang berada dalam botol yang dia minta pada polisi di dalam sana.
"Sama orang tadi. Baru kali ini aku lihat gadis seberani kamu," puji Brian. Tapi memang benar, circle pergaulannya yang selalu dengan kalangan atas, tak pernah melihat wanita petakilan seperti Vio. Ini kali pertama untuknya.
"Jika kita takut terus, maka kita yang akan ditindas, Om. Orang m***m seperti mereka harusnya cepat diberantas, supaya nggak ada korban lainnya." Vio dengan mata abu-abunya menengadah, melihat ke arah atas. Seakan ada sesuatu yang menjadi pikirannya saat ini.
Brian hanya melihatnya dari samping. 'Perasaan apa ini? Kenapa aku seolah ingin melindungi gadis ini?' Brian menggelengkan kepalanya, 'sadar Brian. Dia lebih pantas menjadi adik, atau anak mungkin.'
"Kamu--"
"Udah, ya, Om. Saya pulang dulu." Vio beranjak dari duduknya. Rupanya taksi yang dipanggilnya lewat aplikasi online tadi sudah datang. Brian melipat bibirnya ke dalam, menurunkan niatnya untuk bertanya sesuatu.
"Oh, iya!" Vio kembali berbalik menghadap Brian, "maaf dan makasih." Hanya dua kata, tetapi mampu membuat Brian kehilangan logikanya. Vio masuk ke dalam taksi dan tak lagi melihat ke arah Brian.
Brian masih terpaku di sana, merenung apa yang terjadi dengan dirinya? "Ada apa ini? Kenapa seperti ini?" gumamnya pelan.
"Aku pasti sudah gila." Brian segera bangkit, menuju ke mobilnya dan bersiap untuk pulang. Dia merindukan Azzura, pasti karena itu. Memikirkan Azzura, senyum di bibir Brian mengembang. Pasti saat ini Azzura sedang menyadari kesalahannya. Dia pasti akan minta maaf dan tidak memaksa Brian untuk menikah lagi.
Hari sudah sangat larut, hampir tengah malam. Brian sudah terlalu lama meninggalkan rumah. Zura pasti sedang pusing mencarinya. Dia sengaja mematikan ponselnya, agar istrinya tak menghubunginya. Bukan karena dia sedang selingkuh, tetapi karena dia tidak ingin dicecar oleh permintaan tak masuk akal dari istrinya.
Brian kembali terbayang tentang Vio. "Siapa namanya tadi? Apa aku sudah menanyakannya?" Brian membelokkan setirnya ke kiri, masuk ke halaman rumah megahnya.
"Sudahlah, Brian! Stop thinking about her! Apa kamu akan menjilat ludahmu sendiri?" Untuk sesaat Brian sangat jijik dengan dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia memikirkan wanita lain selain Azzura. Padahal dia terang-terangan menolak usul poligami istrinya.
Brian melihat ke dalam rumah, lampu masih menyala terang, tandanya Azzura masih terbangun. Mungkin wanita itu menunggunya, hingga belum tidur?
Saat memasuki rumahnya, Brian melihat Azzura tengah tertidur di ruang tengah. Segera lelaki itu berjalan mendekat ke arahnya. Brian melihat wajah istrinya dari samping, lelaki itu tersenyum.
"Kamu selalu cantik." Brian mengecup pipi Azzura, membeli rambutnya dengan lembut. Menyingkirkan anak-anak rambut yang menutupi wajah cantik istrinya.
Selama sepuluh tahun lebih bersama, tak pernah ada rasa bosan di hati Brian. Azzura sangat pintar merawat badan dan juga wajahnya, serta kelembutan hatinya membuat Brian selalu jatuh cinta, lagi dan lagi.
"Bagaimana bisa aku menyakitimu, Zura? Dan jangan memintaku untuk menyakitimu, karena aku takkan pernah sanggup," lirihnya. Dia tak ingin mengganggu tidur istrinya, Brian hanya ingin mengungkapkan isi hatinya.
Brian mengambil napas panjang. Lelaki itu mengangkat tubuh istrinya dan menggendongnya ke kamar. Meski rasa marah pada istrinya belum juga reda, namun tak mungkin juga dia meninggalkan Zura seorang diri di sofa depan.
Saat menidurkan Azzura di atas kasur, Brian benar-benar memperlakukan wanita itu seperti benda yang terbuat dari kaca. Begitu lembut dan juga hati-hati. Takut jika dia perlakuan dengan keras maka akan hancur dan pecah. Betapa dia sangat mencintai wanita yang menjadi cinta pertama dan terakhirnya itu.
"Mas ...." Azzura menahan tangan Brian yang hendak berbalik meninggalkannya. Keduanya lama bertatapan, sengatan-sengatan itu masih sangatlah terasa. Panggilan merdu Azzura, terdengar sangat seksi di telinga Brian. Apakah dia masih bisa marah dan sama sekali tak menyentuh istrinya itu?
"Persetan dengan semua itu!" Brian tak bisa lagi menahannya. Dia ingin segera melupakan jika saat ini dia sedang menghukum istrinya. Dia menginginkan Zura malam ini. Zura pun sepertinya memikirkan hal yang sama, dia tersenyum penuh arti ke arah Brian dan menarik Brian untuk lebih mendekat ke arahnya.