Bab 3 Kebenaran

1180 Words
"Terima kasih banyak, Pak Gibran," ucap Brian. Brian dan gadis itu mengikuti Wildan ke bagian dalam Minimarket itu. "Ehm ... ehm ...!" Pak Gibran berdehem melihat ke arah pengunjung yang menonton drama gratis barusan, dan membuat mereka salah tingkah. Dia lalu kembali masuk ke ruangannya. Tak mau ikutan pusing dengan urusan mereka berdua. Kini mereka bertiga telah berada di sebuah ruangan yang ada televisi yang menampilkan beberapa blok potongan gambar. Wildan duduk di kursi sedang kedua orang yang saling menatap sebal itu berdiri di belakangnya. "Di mana tadi kejadiannya, Mbak?" tanya Widan pada si gadis. "Di sini, Mas." Tunjuk si gadis pada salah satu rekaman yang menunjukkan TKP. Wildan langsung melihat rekaman tempat itu beberapa waktu yang lalu. Dari saat si gadis masuk ke Minimarket. Kedua orang itu menyaksikan dengan seksama untuk membuktikan siapa yang bersalah dalam hal ini. Brian tak ingin namanya muncul di berita, 'Seorang pengusaha kaya terlibat skandal dengan b****g seorang gadis'. Mau ditaruh di mana mukanya jika menghadapi para investor? "Nah! Dari sini, Mas. Si om-om m***m ini baru saja masuk. Pasti kali ini bakalan kebukti siapa yang salah di sini." "Jangan panggil saya om-om m***m, dong. Belum juga terbukti kok udah yakin banget?" sewot Brian. "Udah! Pokoknya saya yakin 200 persen jika Om yang telah melakukan tindakan tidak senonoh pada saya," ucap sang gadis dengan penuh percaya diri. Perasaannya sebagai seorang wanita tak usah diragukan lagi. Bahkan saat kucingnya di rumah hamil, dia bisa menebak dengan benar berapa jumlah anak yang dilahirkannya. "Ck! Ya kali 200 persen," cibir Brian. "Biarin! Mulut-mulut saya kenapa Om yang repot?" "Ehm .. ehm ...! Bisa nggak, sih, kalian ini diam dulu? Nanti gambarnya kelewat, saya nggak mau, ya, disuruh muterin lagi." Widan merasa geram karena mereka berdua tak berhenti bertengkar, sudah seperti kucing dan tikus saja. "Lihat, tuh!" seru Brian sambil melotot ke arah si gadis. Tak mau kalah, si gadis mencebik, balas melotot ke arah Brian. "Tuh! Dari sini mulai pake matanya, Om. Siapa yang salah di sini!" tegas si gadis. Brian yang merasa tak bersalah bersikap biasa saja. Dia benar-benar membuka matanya lebar-lebar untuk membuktikan jika bukan dia yang melakukan itu. "Ulangi, Mas! Itu sudah sampai saya ditampar. Putar adegan sebelumnya! Coba lihat siapa yang melakukan itu!" Wildan menghela napas panjang. Dia harus sabar menghadapi kedua manusia absurd ini. Bagaimana bisa dia seapes ini, berurusan dengan dua orang yang sama-sama nggak mau ngalah. Dengan amat sangat terpaksa, Wildan menuruti perintah Brian. Dia hanya ingin segera menyelesaikan ini semua dan kembali bekerja, melihat para pelanggan wanita yang cantik-cantik. 'Ah! Sudahlah, Wildan. Selesaikan ini dulu,' ucap Wildan dalam hati. "Nah! Nah 'kan, lihat itu! Sudah kebukti sekarang, siapa yang salah?" Netra si gadis membola. Dia seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia merasa malu kali ini. Mau ditaruh di mana mukanya kali ini. Bisa-bisanya dia menuduh orang yang sama sekali tak bersalah. "Mu-mungkin itu salah, Mas. C-coba putar lagi." Tidak! Dia tak boleh langsung percaya dengan apa yang dia lihat. CCTV itu 'kan belum HD, jadinya gambarnya masih blur. Mungkin tadi dia salah lihat. "Ck! Masih belum percaya? Tu mata ilangin dulu beleknya biar jelas. Jangan sampai rabun!" Brian benar-benar kesal. Semua sudah terlihat dengan jelas, masih saja gadis itu belum mau menyerah untuk menuduhnya. Sontak si gadis langsung mengusap sudut matanya, takut jika beneran ada belek di sana. Brian terkekeh saat melihat pemandangan itu, sungguh gadis itu membuatnya menjadi pribadi yang lain. 'Bego, lo, Vio. Om m***m itu 'kan cuma ngisengin kamu bilang kayak gitu. Mau aja lo dikerjain.' Gadis yang bernama Vio itu langsung saja mendelik ke arah Brian yang terlihat begitu senang kali ini. Sungguh saat ini, Vio benar-benar ingin mencekeknya agar dia berhenti terkekeh. "Ck! Itu 'kan gambarnya nggak jelas. Mas, bisa ulang sekali lagi, nggak?" tanya Vio pada Wildan sambil mendekatkan wajahnya agar sejajar dengan Wildan. "Eh, i-iya," jawab Wildan dengan gugup. Didekati gadis cantik dan seksi seperti Vio, tentu saja membuat tubuhnya gemetar kali ini. 'Gila! Gue bisa gila jika gadis ini mepet gue terus. Bisa-bisa beneran gue pepetin ke tembok lalu gue cipok, deh!' ucap Wildan dalam hati. Meski sedetik kemudian dia menggelengkan kepalanya menepis pikiran kotornya barusan. Baru seperti itu saja sel-sel m***m di diri Wildan bisa bangkit dengan sendirinya. Bagaimana jika sampai hal lain? Wildan kembali memutar rekaman CCTV itu pada menit di mana Vio mendapat pelecehan seksual. Vio tersenyum, merasa senang karena Wildan mau menuruti ucapannya. Tapi, Brian juga terlihat tenang karena rekaman CCTV itu nggak mungkin berubah sendiri dalam hitungan detik. Dan bukan dia yang telah meremas b****g Vio. "STOP!" "STOP!" ucap Brian dan Vio bersamaan. Mereka baru saja melihat saat-saat penting itu. Vio mengamati dengan seksama apa yang ada di depannya. Brian ada di belakangnya persis dan kedua tangannya berada di belakang sesaat sebelum Vio menampar Brian. Jadi di waktu itu, bukan lelaki yang ada di sampingnya itu yang bersalah. Tetapi, bapak-bapak yang mengenakan topi di sebelah kanannya. "b******k!" Vio menggebrak meja yang ada di depan Wildan, membuat pemuda itu merasa ngeri saat ini. Begitu pula dengan Brian, wanita jika sedang marah, banteng ngamuk pun bakalan kalah. "Sudah jelas 'kan sekarang? Siapa yang asal tuduh di sini?" cibir Brian. Vio memejam, dia tak sanggup menatap mata Brian. Dia sangat malu. Tapi, ada hal lain yang lebih penting kali ini. "Saya minta maafnya besok saja. Saat ini saya harus mencari bapak-bapak yan sudah membuat b****g saya menjadi tidak perawan lagi." Setelah mengucapkan itu, Vio segera berlari ke luar ruangan itu. Dia celingukan mencari sosok yang muncul di CCTV. Setelah kepergian Vio, Brian dan Wildan saling berpandangan, melongo, seakan baru saja melihat salah satu dari tujuh keajaiban dunia. "Apa kamu mengerti wanita?" tanya Brian pada Wildan. Pemuda itu menggeleng, "Tidak, Pak. Itu yang membuat saya jomblo hingga saat ini." Brian mengangguk lantas menepuk bahu Wildan pelan, "Makasih, ya." Brian keluar dari ruangan itu dengan rasa bangga. Dia bukanlah om-om c***l pecinta b****g gadis. Tapi, dia adalah tipe pria setia pada satu wanita, Azzura. Rasa ingin membeli rokok pun hilang begitu saja. Dia sudah kehilangan selera untuk menghisap benda silinder panjang itu. Yang khas aroma tembakau. 'Mungkin Tuhan nggak ngijinin aku untuk merokok lagi. Baru aja niat, udah dapet malu,' batin Brian. Dia kini tengah memasukkan kunci mobilnya ke dalam lubangnya. Dan memutar kunci itu ke kanan lantas mengemudikannya. Dia merasa kesal dengan gadis yang baru saja dia temui. Kenapa ada modelan gadis seperti itu? Bisa-bisanya nuduh dan menyalahkannya atas kesalahan yang tidak dia perbuat. Setelah sebelumnya pikiran Brian teralihkan, kini dia kembali teringat dengan Azzura. Dia sebenarnya kasihan, melihat istrinya itu sedang mode pengen ketika dia tinggalkan tadi. Namun, dia harus memberikan pelajaran untuk orang yang menyuruhnya menikah lagi. Meski itu istrinya sendiri. Meski jenis hukuman yang dia berikan, lain dari pada yang lain. "Azzura ... apa sebenarnya yang ada di kepalamu?" gumam Brian seorang diri. Dia masih kesal. Ada dua kejadian yang membuatnya menjadi benar-benar kesal. Mata Brian memicing, dia sepertinya melihat seseorang yang dia kenal sedang dalam keadaan tidak baik. Dia segera memperlambat laju mobilnya dan menepikan di pinggir jalan raya. Dia dengan penuh marah berjalan ke arah orang itu. "Hey! Apa-apaan kalian?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD