Mendengar permintaan maaf dari Bima membuat Barra merasa terharu dengan setiap perhatian sahabatnya itu. Ia rangkul bahu Bima seraya ia tersenyum manis padanya. “Kenapa jadi lo yang minta maaf?” tanya Barra dnegan satu alis yang menaik.
“Ya, karena gue yang udah egois sama lo, Bar. Karena gue yang selalu butuh duit, gue jadi manfaatin lo dengan cara begini. Kan, seharusnya gue bantu lo, gue ngajarin lo setiap materinya. Bukannya gue kerjain dan gue minta imbalan. Udah lama semua ini berlangsung. Bahkan lima bulan lagi kita udah mau lulus. Jadi malu gue, Bar. Sorry, ya,” jelasnya lagi dan Barra kini tersenyum lebar kepadanya.
“Apaan sih lo, lebay lo! Kan emang dari awal gue, Bim , yang udah gak niat sekolah. Justru gue yang harusnya say thanks ke lo. Ini memang jalan pilihan gue, Bim. So, lo gak usah deh pake ngerasa gak enak hati segala,” jawab Barra lagi dengan yakinnya. Dan kini Bima pun mulai mengangguk setuju.
Bayu yang sejak tadi hanya memandangi mereka sebenarnya sedang merasakan hal yang cukup miris dihatinya. Barra yag sudah tak memiliki gairah hidup karena permasalahan keluarganya dan Bima yang selalu saja kekurangan uang karena memang keluarganya yang kkurang mampu. Iannjuga menyadari jika memang hanya dirinya yang paling beruntung diantara mereka. Sebab memang hanya keluarganya lah yang paling utuh. Ia yang tak pernah kekurangan kasih sayang juga uang. Hingga kini ia bangkit dari posisi duduknya seraya ia berikan sebuah pelukan kepada keduanya.
“Kalian emang, Brad-brad, gue yang paling keren dah pokoknya mah. Promise for always solid, Bre,” ucap Bayu yang mengatakannya dengan cukup lantang.
“Yoi dong, Bre. Always like this forever,” imbuh Bima yang juga membalas pelukannya.
Kini Barra pun turut membalas pelukan keduanya seraya ia tersenyum lebar. “Awas aja kalau Cuma pada omdo. Gue anti penjilat soalnya,” ucapnya dengan gayanya yang sungguh terdengar menyebalkan. Mereka semua saling bicara juga berpelukan seakan sedang tak ada siapapun dikelas itu. Yang kenyataannya, kini ketiganya tengah menjadi pusat perhatian para teman sekelasnya, juga guru agama yang masih berada disana.
Kini mereka masih saja saling berpelukan satu sama lain. Pak Ahsan, guru agama mereka itu mulai mendekat kearah mereka seraya turut memeluk mereka dengan hangat. “Seru sekali ya sepertinya obrolan kalian. Sampai-sampai kalian lupa sedang berada dimana kalian saat ini. Kalian juga sepertinya tidak menganggap keberadaan saya ya? Kalian pikir kelas ini tempat tongkrongan?” ucapnya yang kini melepaskan pelukannya itu dengan kasar. Yang karenanya kini ketiganya tengah merasa begitu malu juga takut. “Apa tugas yang saya berikan sudah kalian selesaikan?” lanjutnya lagi yang kali ini dengan nada yang sedikit lebih tinggi.
Dan ketiganya yang memang masih merasa begitu malu pun hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan juga senyuman. Hingga kini para teman sekelas mereka pun tergelak mellihat ekspresi ketiganya yang memang begitu absurd. Terutama ekspresi seorang Barra yang biasanya selalu saja terlihat dingin, angkuh namun sealu memesona juga tampan. Mendengar gelak tawa mereka semua tentunya membuat Barra semakin kesal. Karena sebelumnya memang tak ada yang berani menertawainya selain Darren dan kawan-kawannya. Hingga kini Barra edarkan pandangan kesekelilingnya secara cepat seraya mulai ia pasang kembali wajah dinginnya.
“Ss-sudah, Pak,” jawab ketiganya bersamaan. Yang mebuat gelak tawa semakin terdengar riuh disana. Beruntungnya memang Bima dan Bayu sudah saling bekerjasama mengerjakan setiap tugas yang telah diberikan. Hingga kini Pak Ahsan tak akan memberikan hukuman kepada mereka.
“Hey.. hey.. sudah.. sudah.. cukup.. cukup.. yang lain juga ayo segera dikumpulkan ke saya tugasnya,” titah Pak Ahsan yang dengan segera mereka semua pun menurutinya.
Setelah pengumpulan tugas selesai, kini Barra segera mengajak keduanya untuk pergi ke kantin. Karena memang ia yang tak sempat sarapan kali ini merasa begitu kelaparan.
“Gue pinjem uang lo dulu ya, Bay. Sorry banget nih, gue bener-bener lupa dompet karena terlalu keburu-buru pagi tadi. Jam lima lewat lima belas gue udah on the way. Malah keapesan beruntun yang gue dapet,” ucapnya yang dibalas dengan gelak tawa oleh kedua sahabatnya itu.
“Emangnya lo mau ngapain sih, Bar, berangkat sepagi itu? lo gak sengaja nyegat si cewek introvert itu kan?” ledek Bayu yang sontak membuat Barra kembali naik darah.
“Eh anying. bisa gak sih nanti aja kita bahas hal ininya. Gue, butuh utangan dari lo karena gue ini lagi kelaparan. Lo pesenin gue makanan sekarang atau lo yang gue makan!” makinya dengan tatapan tajamnya yang sekan menusuk. Hingg kini dengan segera keduanya pun mengangguk setuju.
“Selow-selow, Bar. Iya iya gue paham. Okay, gue pesenin sekalian ya buat lo pada,” ucap Bima seraya ia beranjak bgitu saj dari posisi duduknya.
Dan benar saja, Barra yang memang sedang kelaparan kini melahap makan siangnya itu dengan begitu cepat dan hingga tak tersisa. Tak seperti biasanya yang selalu saja tetap terlihat cool. Hingga hal ini cukup membuat Bima dan Bayu cukup ternganga. Namun keduanya memilih utuk tak berkomentar karena tak ingin lagi mendapat omelah dari Barra. Bukan hanya semangkuk bakso yang Barra pesan kali ini, namun juga sepiring spaghetti. Mengayuh sepeda dengan jarak yang cukup jauh memang membuatnya begitu kelaparan. Bahkan ia melahap kedua menu itu jauh lebih cepat ketimbang Bayu dan Bima. Kini ia tengah meneguk sisa setengah botol air mineralnya lalu melemparkannya ke tong sampah. Setelahnya ia seka bibirnya dengan tisu.
“Thanks ya, Bay. Lo tenang aja, kalau gue udah sampai rumah pokoknya gue bakalan langsung transfer uangnya,” ucap Barra setelahnya.
“Lo apaan sih, Bar. Udah, siang ini biar gue aja yang traktir kalian. Selama ini juga kan lo udah sering banget traktir kita. Ya, gantian aja lah kita, okay,” ucap Bayu dan Barra pun menganngguk setuju.
Bima yang mendengarnya pun kembali murung. Yang hal ini membuat Barra bertanya-tanya. “Lo ngapa Bim? Murung amat? Kurang kenyang? Pesan lagi sana,”
Bima pun tersenyum pahit. “Kayaknya disini cuma gue doang deh ya yang gak pernah traktir kalian. Sumpah ya, malu-maluin banget gue tuh. Udah kayak benalunya kalian,”
“Lo apaan sih, nyuk! Melow amat perasaan dari tadi.” ucap Barra seraya ia dorong bahu Bima. “Selama ini kita semua tuh simbiosis mutualisme. Gue sama Bayu, kan, selama ini pergunain otak lo. Udah pinter tapi pemikiran masih oon ae lo, ah,” lanjutnya yang berusaha untuk menegarkan seorang Bima yang memang tak jarang merasa minder dengan mereka.
“Tahu, lo! Kalau kagak ada lo diantara kita bisa mampus kita jadi bulan-bulanan omelan para orangtua kita, ya kan, Bar,” imbuh Bayu yang kini merangkul bahunya.
“Nah itu. Lo mikir sampe sana dong. Yaudah ah gak usah kita bahas hal itu lagi. Bye the way ini kita kan udah kenyang, mending kita balik kelas. Risih gue sama mereka semua,” ajak Barra yang sudah tak tahan sejak tadi terus saja dipandangi oleh para wanita yang juga makasn siang disana.
“Duh duh duh, idola mah beda, ya... lagian lo sih, bukannya cari pacar biar stop dikejar,” ucap Bayu.
“Lah iya. Kan banyak, Bar, diantara mereka tuh yang pada okray. Chose the one sabi kalee..” imbuh Bima seraya ia sikut bahu Barra. Namun Barra tak menjawab sama sekali perkataan mereka seraya kini ia bangkit begitu saja dari posisi duduknya dan mendahului keduanya.
“Waaah mulai songong nih manusia! Dasar magadir, SMK...” teriak Bayu namun Barra tak mengindahkannya sama sekali.
“Ahahahaha manusia gak tahu diri... sudah makan kabooor...” imbuh Bima seraya ia sikut bahu Bayu.
“Stop your laugh! Mending sekarang lo temenin gue bayar semuanya nih,” ajak Bayu dan Bima pun mengacungkan ibu jarinya sebagai jawaban.
Dikelas Bima kembali meminta penjelasan kepada Barra mengenai mengapa ia berangkat pagi, namun belum sempat Barra menjelaskannya, sudah lebih dulu seorang guru pelajaran selanjutnya yang memasuki kelas mereka. Yang karenanya, kembali Bima harus menahan rasa penasarannya itu. Kali ini pelajaran bahasa inggris yang tengah mereka pelajari. Barra yang memang tak jarang sempat diajak berkomunikasi dengan bahasa inggris dengan sang Nenek dari sang ibu yang memang asli London, maka merasa tak keberatan dengan pelajaran siang ini. Namun meski beitu tetap ia lebih fokus dengan layar ponselnya yang kini ia sedang menonton pertandingan sepak bola club kebanggaannya, yakni Manchester United. Meski hanya tanyangan ulang namun tetap Barra menyukainya. Hingga dikala bola masuk ke gawang hampir saja ia lepas kontrol dan hendak berteriak. Namun lebih dulu Bima yang memerhatikannya membekap mulutnya.
“Ssssst... jangan teriak lo. Hampir aja lo kena omel lagi, Bar,” ucap Bima dan Barra pun mengangguk setuju seraya ia lepaskan bungkaman Bima.
“Ehehehe, thanks, Bim,” jawabnya setengah berbisik. Yang kini dengan segera kembali Barra fokuskan matanya ke layar kaca.
Waktu terus berlalu hingga kini tiba saatnya mereka kembali pulang. Sesuai janjinya Barra akan bercerita di mobil. Bima yang kembali harus membantu sang Ibu pun segera kembali kerumah. Dan benar saja, baru saja Bayu mengemudikan mobilnya ia sudah mulai bertanya kembali kepada Barra, yang tanpa bisa ditunda lagi Barra pun menceritakan mengenai seperti apa kejadian semalam dikala ia sedang bersama dengan guru privatnya. Hingga kembali ia bertengkar dengan sang Papa dan memilih pergi kesekolah pagi buta agar mereka tak saling dipertemukan kembali. Mendengar penjelasan dari Barra membuat Bayu tak dapat menghentikan tawanya. Sehingga kini mulai Barra pasang grumpy facenya karena tanggapan Bayu yang memang sungguh menyebalkan.
“Ini nih, ini yang bikin malas cerita ke lo! Puas lo ngetawain gue!” omelnya seraya ia dorong kepala Bayu dengan cukup keras. Hingga ia oleng saat mengemudi
“Ahahaha... selow kali, Bre, selow... abisnya lo itu gak nyadar ya, Bar. Itu tuh tandanya si anak durhaka yang satu ini lagi kena azab. Makanya jangan galak-galak with your bokap. Udah gitu guru privat lo itu, orang gak bersalah pake lo songongin juga lagi, kan t*i lo, ahahahaha...” jawab Bayu yang masih saja meledek Barra dengan gaya tengilnya.
“Aduuuuuh, stop deh ya lo ceramahin gue. Banyak omong ya si belek ini!” omelnya dan Bayu masih saja menertawakan Barra. Hingga kini Bayu mulai merasakan sebuah keanehan pada mobilnya.
“Yah yah, Bar. Mobil gue ngapah nih, Bar, aduh. Bentar ya, Bar, gue periksa dulu,” ucap Bayu seraya ia menuruni mobilnya.
Bima buka bagian depannya, yang ternyata alternator atau dinamonya yang bermasalah. Akibatnya aki tak terisi hingga mesin mobil mati mendadak lantaran tidak ada pasokan listrik yang tersedia. Kini Bima kembali menghampiri Barra dengan wajah penuh kekesalannya. “Gimana, Bay. Mobil lo oke-oke aja, kan?“ tanya Barra penuh harap.
Namun sayang Bayu menggeleng denga ekspresi wajahnya yang murung. Membuat Barra mulai curiga jika memang kini sedang ada hal buruk yang menimpa mereka. Dinamo mobil gue bermasalah, Bar. Ini mobil gue matot. Gimana dong nih! My God, Bar! Kesialan lo itu kayaknya nular ke gue deh, Bar! Aduh, pusing gue!” umptanya seraya ia acak rambutnya frustrasi.
“Heh, kenapa lo malah nyalahin gue sih! Kalau emang tadi lo gak ikhlas kasih tumpangan ke gue ya mending gak usah!” Barra memaki Bayu balik dan kini ia hendak berlalu pergi.
Bayu yang mulai menyadari jika ucapannya itu sudah keterlaluan saat Barra yang kini sedang berada dalam sebuah kekacauan. Hingga kini dengan segera ia menyusulnya. “Bar, wait, Bar, wait... sorry kali, Bar. Gue emosi aja tadi. Soalnya emang mobil gue ini sebelumnya gak pernah sampe begini. Yaudah yok, Bar, kita balik. Gue mau nelpon montir langganan gue dulu,”
Barra tak mengatakan hal apapun dan kini hanya menyetujui ajakan Bayu. Sebab memang ia tak dapat melakukan hal apapun dalam kondisi seperti ini. Melihat ekspresi Barra yang hingga kini ia masih saja memasang wajah sendunya membuat Bayu semakin merasa tak enak hati.
“Bar, lo marah ya sama gue? Ya Sorry, Bar. Gue gak maksud kok. Sorry ya,” ucap Bayu hati-hati. Membuat Barra yang kini mendengarnya cukup merasa diperhatikan.
Kini Barra tersenyum manis kepadanya seraya ia rangkul bahu Bayu. “Lebay lo itu emang gak ada obat ya, Bay! Gue bukan perempuan manja yang gampang ngambek kelek! So, lo stop buat sok-sokan rayu-rayu gue kayak gitu! Understand!” jawab Barra yang sungguh terdengar melegakan dihati Bayu. Sebab baginya, Barra adalah sesosok sahabat yang teramat berarti dalam hidupnya.
“Alhamdulillaaaah...” ucap Bayu seraya ia mengelus dadanya. Hingga kini Barra dorong cukup keras tubuh Bayu hingga hampir saja ia terjugkal. “Eh, gila lo! Hampir aja gue nyungsep tadi!” ucapnya lagi yang karenanya kini Barra tergelak memandangi ekspresi takut Bayu.
Tak lama setelahnya seorang montir yang akan membetulkan mobil Bayu pun datang. Selama menunggu untuk mengusir rasa bosan mereka kini keduanya memilih untuk bermain game bersama. Benar saja dengan bermain game membuat otak keduanya semakin terasa fresh juga tak lagi terlalu memikirkan setiap masalah yang ada. Terutama seorang Barra. Hingga kini mobil itu telah selesai dibetulkan, maka kini dengan segera mereka kembali menaikinya. Karena ingin segera mereka tiba di lokasi dimana behenntinya mobil Barra, maka kini Bima mengemudikannya dengan kecepatan yang cukup tinggi. Dan tak butuh waktu lama mereka pun tiba disana.
“Tuh mobil gue didepan, Bay. Udah stop stop stop...” titah Barra seraya ia lepaskan sheat beltnya.
“Oh iya. Beneran udah beres belum tuh mobil lo? Kalau emang belum clear ya biar sekalian gue antar lo pulang aja, Bar. Gimana? Setuju gak lo?” tanyanya khawatir.
“Hadeuh... lebaynya kumat kan nih manusia. Ya jelas udah beres lah, Bay! Kan gue udah hubungin montirnya juga waktu jam istirahat. Lo gimana sih. Yaudah, thanks ya. See you,” ucapnya seraya ia salami Bayu. Dan Bayu pun menjabatnya erat.
“Ehehehe, oke oke. See you. Lo hati-hati, ya. Banyak sholawat lo, Bar, biar gak ketiban sial lagi hahaha,” ledeknya lagi dan Barra pu hanya menggelengs seraya ia ia cebikan bibirnya.
Barra pun segera memasuki mobilnya untuk segera kembali pulang. Hari ini Barra merasa cukup kelelahan. bukan hanya lelah otaknya namun juga fisiknya. Dikala ia harus mengayuh sepeda hingga tiba disekolah tepat waktu. Barra masuki mobilnya seraya kini mulai ia rentangkan otot-otot tubuhnya yang terasa begitu kaku. Lalu dengan segera ia ia kemudikan mobilnya dengan kecepatan yang sedang sebab tak ingin lagi ia terkena kesialan yang akan kembali menyusahkan hidupnya juga merugikan orang lain. Membuatnya kini ia merasa bersyukur setelah ia tiba dirumah. Hari ini benar-benar menjadi sebuah hari yang cukup panjang bagi Barra. ia merasa bagai seseorang yang baru saja menyelesaikan sebuah perjalanan panjang yang dipenuhi banyak rintangan. Bi Tina yang melihat Barra pun seperti biasa ia menyapanya. Namun dikala kini ia dapati seorang Barra yang terlihat begitu lusuh, Bi Tina pun cukup merasa heran.
“Den Barra, teh kenapa, Den? Kok meuni loyo pisan? Aden, teh kayak lelah sekali, kitu,” tanya Bi Tina keheranan. Dan kini Barra pun tersenyum manis padanya.
Jika menceritakan hal yang sebenarnya, tentunya Barra akan merasa malu. Hingga kini ia memilih untuk mencari-cari sebuan alasan. “Ehehehe. Kelihatan banget ya, Bi?” tanyanya dan Bi Tina pun mengangguk setuju. “Iya nih, Bi. Jadi tadi tuh ada kegiatan kalau Barra diminta untuk ikutan lomba balap sepeda Bi disekolah. Sampai-sampai, Barra, sulit bernapas dan hampir pingsan,” Barra berbohong dan Bi Tina pun percaya. Hingga kini kekehan renyah Bi Tina terdengar jelas ditelinga Barra.
“Ehehehe, terus, Den Barra, menang, gak?” tanyanya penasaran.
“Ya pasti menang dong, Bi. Walaupun kaki, Barra, rasanya kayak begkak-bengkak sekarang,” jelasnya lagi ang membuat Bi Tina kembali tergelak.
“Ya Allah, Den Barra, hehehe... ya wajar aja atuh, ya, Den. Kan, memang sudah lama, Aden, gak ikutan bersepeda,” , ledek Bi Tina dan Barra pun merasa tak enak hati karena Bi Tina begitu mempercayai setiap kebohongan itu.
“Ehehehe, iya ya, Bi. Yasudah, Bi, kalau gitu, Barra, langsung ke kamar aja ya, Bi. Rasanya udah gak sabar, Barra kepengin segera ngerebahin badan,” ijin Barra.
“Oh, iya-iya atuh, Den. Kalau gitu nanti makan malamnya biar Bibi antar ke kamar, Aden, aja ya, Den,” tawarnya dan Barra pun mengangguk setuju.
“Oh, iya bagus juga tuh ide, Bibi. Makasih banyak ya, Bi. Barra, permisi,” ucapnya lagi seraya ia hendak berlalu.
“Oh iya iya, Den, mari,” jawabnya lagi.
Dikamarnya, seperti biasa setelah Barra lemparkan ranselnya lebih dulu dan ia merebahkan tubuhnya diatas ranjangnya untuk melemaskan otot-otot ditubuhnya sebelum ia pergi mandi. Yang entah megapa, seketika ia kembali teringat soal kening Chafiya yang memerah. Ia masih mesara berlsalah atas kecerobohannya itu. Namun ia juga tak punya kesempatan untuk dapat mengobatinya. Hingga kini terus saja ia menyesali perbutannya itu.
“Aduuuh! Kenapa gue jadi kepikiran sama dia terus sih! Tapi semoga aja dia emang gak apa-apa deh. Kan takut gue kalau sampai ada luka fatal dan gue bakal dituntut sama keluarganya,” gumam Barra yang kembali merasa stress dan kini ia memilih untuk segera pergi mandi sebelum pemikirannya itu semakin melanglang buana entah kemana.
Barra yang memang tertidur di bathub ia tak menyadari jika ia terlelap cukup lama karena rasa lelah yang mendera dirinya. Kini waktu sudah menunjukan pukul tujuh malam. Sehingga kini setelah Barra keluar dari kamar mandi. Ternyata sudah ada makan siang yang tersaji diatas nakasnya. Hingga kini dengan wajah sumrigahnya Barra menghampiri makanan itu.
“Emang pali the best, Deh, Bi Tina tuh. Mana yang dimasakin malam ini juga salah satu menu favorit gue, lagi. Udah lama gak makan spaghetti, buatan Bi Tina,” gumamnya yang kini dengan lahap ia memakannya hingga tak tersisa. Dan setelah ia merasa kenyang, rasa kantuk pada dirinya itu semakin terasa. Hingga tak lama berselang kini Barra mulai terlelap di ranjangnya.
Barra terlelap hingga kini ia kembali terbangun tepat pada pukul sepuluh malam. Terdengar ada suara mobil yang datang. Yang ternyata itu kedatangan sang Papa. Barra cukup merasa aneh karena tak biasanya Papa tiba hingga selarut ini. Barra pun mulai berpikiran jika mungkin saja sang papa baru saja selesai menemui perempuan. Hingga ia yang penasaran pun ia hendak mencari tahu. Namun dikala pintu kamarnya baru terbuka sedikit Papanya lewat dan masih berbicara dengan seseorang di sambungan telepon.
“Pokoknya saya gak mau tahu ya. Besok kalian harus cari tahu lagi mengenai pendanaan itu. Hotel itu adalah milik putra tunggal saya. Satu-satunya calon masa depannya. Jadi saya minta kepada kalian untuk benar-benar memastikan semuanya atau kalian semua akan saya pecat!” makinya dengan nada yang dipelankan namun penuh penekanan disetiap katanya. Yang dikala mendengarnya, hal ini cukup membuat Barra merasa tersanjung dengan sikap sang papa yang terus saja berusaha memikirkan masa depannya.
‘Kenapa, Papa, gak pernah lelah untuk membuktikan jika, Papa, masih sayang sama, Barra? Kenapa Papa, gak kembali saja bersikap acuh tak acuh seperti yag sebelumnya kepada Barra? Entah, Pa. sekeras apapun usaha, Papa, membuktikanya sama sekali, Barra, gak bisa meresponnya dengan baik. Mungkin saja karena memang hati Barra sudah mati dan gak akan pernah hidup lagi! karena kebahagiaan pada hidup Barra yang juga telah lama pergi.’ Gumamnya dalam hati.
Kembali Barra tutup pintu kamarnya dan kini ia memilih untuk segera kembali pergi tidur. Ia tak ingin lagi memikirkan peliknya banyak hal yag ada. Ia hanya ingin istirahat dan kembali ia terbangun dengan keadaan yang lebih baik pagi nanti.
***
“Jangan membuat tuduhan sebelum adanya kepastian. Karena yang dituduhkan akan menjadi sebuah permusuhan.” -Tulisannisa-
To be continue