BAB 13

1076 Words
Xue Mei pov           Kedua kakiku pun keluar dari mobil dan menginjak tanah yang telah bercampur dengan krikil kecil. Menatap lurus kedepan dengan wajah kesal pada bagunan yang aku datangi saat ini. Awalnya kemarin aku tak ingin datang, tapi dia selalu saja mengangguku dengan menelpon berkali-kali. Alhasil di sinilah aku.. Berada di sebuah restoran tempat keluargaku mengadakan makan malam bersama. Sebuah restoran ternama dan bebintang lima yang ada di China.           Setelah menatap restoran itu beberapa menit barulah ku langkahkan kakiku untuk masuk ke restoran tersebut. Tak lupa aku memakai masker karena aku tak ingin ada yang menyadari kehadiranku. Apa jadinya jika aku terntangkap kamera.           “Sangat sepi,” batinku saat tubuhku ku berada di pintu. Bahkan tak ada satu pun pengunjung. Segera ku buka maskerku kasar. Mungkin keluargaku sudah menyewa semalaman restoran ini.           Seorang wanita berjalan ke arahku sambil tersenyum. “Tuan Xue dan yang lainnya sudah menunggu anda, Tuan,” ujar wanita itu ramah.           “Mari aku antar ke tempat mereka,” ujar wanita itu sekali lagi dan mulai menuntunku menuju tempat keluargaku melangsungkan acara makan malam bersama.           “Di sini,Tuan.” Wanita itu membungku sejenak sebelum berjalan mundur meninggalkanku.           Aku masih mematung di depan pintu. Tanganku terasa berat untuk membuka pintu itu. Apa lagi saat mendengar pembicaraan mereka yang membuatku semakin kesal.           “Yu, kapan kau menikah, Nak? Apa kau sudah punya pacar?” kudengar suara berat bertanya. Yang kuyakini suara ayahku yang kini berbicara dengan seorang lelaki yang hampir seumuran denganku.           “ He he he ... sebenarnya Yu sudah punya wanita yang aku cintai, Yah.”           “Wahh. Siapakah gadis itu? ayah tak sabar melihatnya.”           “Ayah tenang saja. Aku lagi dalam pendekatan dengannya. Nanti juga akan aku kenalakan pada kalian.”           “Wahhh, aku sudah tak sabat melihat siapakah wanita beruntung itu.” kali ini suara wanita yang aku dengar. Mungkin dia adalah wanita sihir itu.           Aku hanya diam mendengar percakapan yang berlangsung di antar mereka yang ada dalam ruangan itu, seakan mereka melupakanku. Hingga pintu itu tiba-tiba terbuka. Aku sempat kaget namun segera ku pasang wajah dinginku menatap wanita paruh bayah si pelaku pembuka pintu itu.           “Xue Mei? Kau sudah datang, Nak? Ayo masuklah. Kita makan bersama,” ujar wanita paru baya itu. Aku tak memperdulikan ucapannya atau pun membalas. Aku hanya berjalan melewatinya dan sedikit menyenggolnya. Tubuh wanita itu limbung ke belakan. Untungnya seorang lelaki yang seumuran denganku dengan cepat menangkap tubuh wanita itu.           Dari ujung mataku kulihat dia tengah mengepalkan tangannya. Aku yakin dia pasti marah karena ibunya sudah aku senggol tadi dan hampir membuatnya terjatuh.           “Ma, apa kau tidak apa-apa?”           “Aku tidak apa-apa, Nak.”           “Apa-apaan kamu! Aku tahu kau membenci ibuku tapi tidak segitunya juga!” ujar lelaki itu dengan meninggikan sedikit suaranya. Lelaki itu ingin memukulku tapi ibunya segera menghentikannya.           “Sudah, Nak. Ibu tidak apa-apa.”           “Kenapa kalian tak pernah akur sih. Xue, ayah sudah bilang jaga prilakumu di depan ibumu.” Kali ini ayahkulah yang memarahiku dengan suara yang tinggi.           “Sudah, Sayang. Aku tidak apa-apa. Tadi Xue tidak sengaja. Aku yang menghalangi jalan tadi,” ujar wanita itu. Mendengar pengakuan wanita itu malah semakin membuatku emosi. Dia sedang berpura-pura baik di hadapanku dan ayah.           Masih dengan wajah dingin kulangkah kakiku dan duduk di sebuah kursi. “Bahkan ibumu membelamu dan kau masih bertingkah seperti ini.”           Segera ku kepalkan kedua tanganku. Aku sudah tidak tahan dengan perkataan ayahku yang terus membela wanita sihir itu. “Sudah aku bilang dia bukan ibuku dan selamanya dia tak akan pernah menjadi ibuku!” pekik ku keras.           Plak           Sebuah tamparan keras mendarat di wajahku. Rasanya sangat panas. Tapi aku mencoba untuk menahan diri untuk tidak marah. Bagaimanapun juga dia adalah ayah kandungku.           Masih dengan kedua tangan mengepal. Segera ku ambil kado yang aku sembunyikan dalam jas hitamku. “Selama ulang tahun, ayah. Dan semoga kalian bahagia,” ujarku pelan sambil meletakkan kado itu di hadapan ayahku dan setelah itu segera kutinggalkan ruangan itu dengan langkah cepat. *****               Aku terus berlari hingga akhirnya tiba di depan restoran. Segera ku perhatikan sekitar untuk mencari mobil yang mengantarku tadi. Segera ku lambaikan tanganku pada supir dan saat ujung kakiku ingin melangkah masuk ke mobil tiba-tiba saja sebuah tangan menarikku.           “Apa yang kau lakukan!” bentakku pada sang penarik tersebut sambil menepis tangannya kasar.           “Aku tahu kau sangat membenci ibuku. Tapi, setidaknya berprilaku baiklah pada ayah.”           “What? Ayah? Ha ha ah a...! Sejak kapan dia jadi ayahmu? Dengar! kau dan wanita jalangg itu hanya orang asing bagiku. Kalian hanyalah perusak rumah tangga orang. Jadi kau tidak berhak menganggapnya sebagai ayahmu!” ujarku cukup dingin lalu mulai masuk ke dalam mobil. Namun, aku kembali menatapnya. “Dan juga berhenti menyuruh seorang wanita untuk mengikutiku. Kau pikir aku tidak akan tahu dengan rencana licikmu.” Tanpa menunggu jawabannya segera ku dudukkan tubuhku pada kursi mobil dan menutup pintunya tepat di hadapan lelaki itu. “Jalan,” ujarku singkap pada sang supir. ****           Kini aku duduk termenung di sebuah kursi. Menatap bunga-bunga indah yang tumbuh cantik di samping hotel. Kejadian beberapa jam lalu membuatku stress dan sedikit sedih saat mengingat ayahku tega menamparku demi wanita jalangg itu.           “Lagi-lagi dadaku terasa sesak. Seakan ada tali yang mengikat. Aku tak bisa berkata jangan pergi dan hanya bisa menatap bayanganmu menghilang.” Sebuah alunan musik menyapa indara pendengaranku. Sebuah lagu yang sering aku nyanyikan saat tampil di acara tv. Lagu ini adalah lagu yang aku rilis satu tahun yang lalu. Aku sedikit tersenyum mendengar laguku di putar oleh seseorang. Segera ku balikkan tubuhku, dan kulihat dari arah belakan seorang wanita tengah duduk diam di sebuah kursi sambil mendengarkan lagu. Cahaya yang sangat minim membuatku tak bisa melihat jelas wajah wanita itu. “Mungkinkah dia salah satu pengemarku,” batinku cukup senang. Kembali ku perbaiki posisiku dan tak melihatnya lagi. Hanya saja telingaku fokus mendengar lagu yang ia putar. Kadang aku tertawa mendengar dia bernayanyi. Suaranya yang cempreng dan falsh sangat lucu di dengar. Hampir semua laguku dia putar olehnya malam ini dan masalah yang aku hadapi seketika lenyap. Kesedihanku tergantikan oleh gelak tawa dibuatnya. Hingga tak terasa jam telah menunjukkan pukul sebelas malam. Angin malam menyapaku dan membuat bulu kudungku meremang. “Sudah saatnya kembali ke kamar,” batinku. Saat aku berdiri. Sejenak ku tatap wanita yang tak aku kenal itu. “Mungkin aku harus menyapanya besok,” batinku. Lalu melangkah pergi meninggalkannya yang masih betah dengan lagu-laguku yang ia nyanyikan dengan suara yang falesh. TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD