BAB 7

1618 Words
            “Ahhh ... akhirnya jadwal hari ini selesai juga,” ujar ku pelan sambil mereggangkan otot-otot ku yang pegal. Kini aku berada di van mobilku. Rasanya aku ingin mengistirahatkan tubuhku dengan tidur sebentar.             Sejanak kusandarkan tubuhku pada bangku kursi dan mengambil posisi senyaman mungkin. Kerja semalaman membuatku mengantuk apa lagi hari ini pekerjaanku selesai jam empat subuh. Sungguh melelahkan.             Saat ku tutup kedua mataku aku kembali teringat dengan gadis itu. Gadis yang masuk ke dalam kamar hotelku tanpa izin.  Aku harus menemuinya. Karena kemarin saat aku bermimpi tentangnya bahwa dialah yang telah menyelamatkanku dari beberapa preman yang ingin membunuhku beberapa minggu yang lalu.             “Kita langsung ke kantor polisi,” kataku pada Yang Zhan  menejerku.             “Bukankah kau sangat lelah? Kau tidak ingin istirahat sejenak? Masih ada waktu untuk menemuinya.”             “Aku memang sangat lelah. Tapi, aku harus bertemu dengannya secepatnya. Ada satu hal yang ingin aku cari tahu tentangnya.”             “Baiklah.  Kita akan ke kantor polisi.”             Kreeattttt             “Yakk! Apa yang kau lakukan?” bentakku pada Yang Zhan saat tiba-tiba saja di memutar setir mobil dan hampir membuatku terjatuh.             “Maafkan aku. Aku hanya memutar setir tadi ... he he he ...”             Dalam perjalanan menuju kantor polisi kusempatkan diriku untuk tidur sejenak. Hingga satu jam kemudian, Yang Zhan membangunkanku saat kami telah tiba di kantor polisi di mana gadis fanatikku bernama Kiana di kurung.             Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya. Kira-kira apakah dia jera telah memata-mataiku? Aku harap iya. Dengan begitu ia tak akan pernah mengangguku lagi.             Tapi bagaimana jika dia adalah gadis yang menolongku waktu itu? haruskah aku membebaskannya? Ahhh. Tidak usah dipikirkan dia belum tentu adalah gadis itu. Gadis penolongku itu tak mungkin melakukan hal jahat sepeti ini.              Memikirkan gadis penolongku itu rasanya membuat hatiku sedikit berbunga-bunga. Aku sedikit menyesal selalu meninggalkannya tiap kali ia menolongku. Tapi, jika aku tetap diam aku bisa tertangkap kamera dan karirku akan hancur.             “Aku tak mau itu terjadi ...” desahku.             “Ada apa?” tanya Yang Zhan saat mendengar gumaman kecilku.  Aku hanya tersenyum sejenak dan memberikan isyart bahawa itu bukanlah apa-apa.             Aku berjalan dengan percaya diri. Beberapa orang melihatku mungkin ia terpesona atau apalah. Yang jelas hari ini aku memakai masker jadi ia tak tahu siapa aku. Bisa-bisa seisi ruangan ini akan heboh jika melihatku.             Kami berdua kini berada di dalam kantor polisi. Menyusuri tiap lorong di mana kami bisa bertanya. “Aku ingin menemui gadis bernama Kiana.”             Aku hanya diam melihat menejerku bertanya pada salah satu polisi. Polisi itu melirik ke arahku segera ku perbaiki maskerku agar tak ada yang tahu siapa aku sebenarnya.             Tak lama kemudian menejerku pun berjalan mendekatiku dengan wajah yang buruk. “Dia sudah bebas. Dia di bebaskan dengan jaminan.”             “Apa!”             Segera aku melangkah menuju polisi tadi. “Apa-ap an dengan kantor ini. Kenapa kalian membebaskannya begitu saja? Bagaimana jika dia masuk ke kamarku lagi? atau bisa-bisa dia masuk ke kamar artis yang lain!” pekikku yang sedikit kesal.  Saking kesalnya tanpa sadar ku buka maskerku.             “Maafkan kami. Kami hanya menjalankan tugas.”             “Kalian ini tidak becuss menangkapnya ...”             Jeprett             “Wahhh. Ternyata benar dia Xue Mei artisterkenal itu ...” pekik salah satu wanita yang kebetulan ada di kantor itu.             Jeprett             Bunyi pengambilan foto itu memenuhi seisi kantor. Yang Zhan segera memegangku. “Ayo kita pergi dari sini. Kau telah ketahuan. Apa jadinya jika kejadian ini masuk berita?” bisik Yang Zhan padaku. ku tatap sekelilingku dan benar apa yang di katakan menejerku. Kami telah di kerumuni dan di foto sana sini.             “Aiisss ... sial aku tak bisa bertemu dengannya.”             Dengan pasrah aku mengikuti Yang Zahan membawaku keluar dari kantor polisi. Setibanya di mobil menejerku pun berceramah panjang lebar dan memarahiku karena telah berbuat yang tak seharusnya.             Aku hanya diam tak perduli dengan ocehannya. Yang aku pikirkan saat ini adalah di mana aku bisa menemui wanita itu?             Hampir satu jam Yang Zhan menceramahiku. Bahkan saat dalam perjalanan pulang dia masih saja mengoceh. Dia terlalu cerewat. Tapi aku mengerti mengapa dia cerewat. Itu semua karena dia memikirkan diriku. Dia sudah seperti saudara bagiku.             Saat tiba di hotel, seketika kubaringkan tubuhku begitu saja di ranjang. Aku sangat lelah sekaligus stress memikirkan gadis itu. Entah kenapa aku sangat ingin bertemu dengannya. Padahal aku tahu dan sangat yakin, dia bukan gadis penolongku. ****             Klik             “Auuu.” Aku memekik nyeri pada kedua mataku saat tiba-tiba saja lampu kamar hotelku menyala.  Ku tatap sekelilingku dan mendesah. Hari sudah malam. Aku tidur cukup lama.             Ku  tatap lelaki sang pelaku yang menghidupakan lampu dengan wajah kesal. Tapi, nyaliku tiba-tiba menciut saat wajahnya saat ini sangat menyeramkan seakan ingin membunuhku. Yang Zhan melempar tablet ke arahku. Dengan pelan ku ambil tblet itu dan melihat apa yang ingin dia tunjukkan padaku.             “Kau lihat! Ini semua karena ulah cerobohmu tadi! Sudah aku bilang jangan melakukan hal-hal yang dapat mengancam karirmu. Kau harus menjaga prilakumu di depan umum! Pekiknya marah.             k****a baik-baik apa yang tertulis di berita itu. “Xue Mei mengunjungi kantor polisi. Apakah dia telah mengonsumsi n*****a sehingga di panggil ke kantor polisi?”             “Apa-apaan dengan berita ini. Aku mengonsumsi n*****a? Ha haha ... lucu sekali para netizen ini.  Hanya karena aku mengunjungi kantor polisi aku dikira telah mengonsumsi nakoba.” Aku masih tertawa-tawa melihat tablet yang aku pegang. Tanggapan netizen membuatku tertawa. Tapi saat kualihkan pandanganku pada Yang Zhan, seketika tawaku terhenti dan menundukkan kepala.             “Maafkan aku ... aku tidak akan berulah lagi ...” ujarku menyesal.             Kulihat dia mendesah berat. Ini sudah kesekian kalinya aku berulah dan membuatnya repot dengan masalahku.  “Apa kau ingin minum-minum?” selalu seperti ini. Jika ia lagi stress ia akan mengajakku minum.  Aku sangat menyesal telah membuatnya stress lagi. padahal aku sudah pernah berjanji tidak akan berulah. “Baiklah. Ayo kita ke tempat biasa.” Kami berdua pun berangkan ke cafe tempat biasa kami berdua nongkrong. Friends’ Cafe LaoYouJiZhuTi. Sebuah kafe yang  baru beberapa tahun beroperasi. Tiap kali kami depresi dan butuh hiburan kami selalu mampir di kafe ini. Ku pandangai sekeliling kafe. “Wahh. Hari ini sangat sepi,” batinku. Aku sedikit lega. jika sepi aku tak perlu lagi memakai masker untuk  bersembunyi tak ada yang akan melihat kecuali para staf kafe. Hampir sepuluh menit kami hanya duduk diam sambil mendengarkan alunan musik di kafe ini. Tatapan kami hanya ada pada minuman keras yang telah kami pesan sebelumnya. Sesekali aku hanya menatap Yang Zhan meminum minuman keras itu satu persatu. “Tak lama lagi dia akan mengecoh panjang ...” batinku yang sangat hapal dengan kebiasaannya.  Dia mengajakku minum-minum artinya dia ingin sesorang mendengarkan keluh kesahnya. Dan saat lima belas menit berlalu. Wajahnya mulai sangat merah dan ia mulai mabuk. Dan tak lama kemudia, Yang Zhan pun mulai mengecoh panjang lebar. Aku hanya mengangguk-ngangguk mendengarkan. Ada sedikit perasaan bersalah merasuk hatiku melihatnya seperti ini. aku tahu dia pasti sterss karena harus memikirkan bagaimana caranya untuk menghilangkan scandal yang baru saja aku buat. Hampir tiga jam dia bercerita hingga akhirnya ia terkulai dan tertidur pulas. Kupandang wajahnya yang memerah. “Maafkan aku ... aku tak bermaksud menyulitkanmu ...” Tin Sebuah pesan tiba-tiba masuk di ponselku. “Aisss ... siapa sih yang kirim pesan malam-malam begini. Ganggu aja.” Kukerutkan dahiku saat melihat nomor baru tertera di layar ponselku. “Siapa yang mengirim pesan,” batinku. Masih dengan sedikit kesal kubuka pesan dari nomor tak di kenal itu. Dan saat itulah kedua mataku membulat tak percaya dengan apa yang aku lihat. “Dia lagi ....” tubuhku sedikit gemetar mendapat pesan darinya. Seseorang yang tiap hari menerorku. Dalam pesanya terlihat sebuah gambar diriku dan Yang Zhan yang saat ini berada di kafe. Kupandangi tiap-tiap inci ruanga kafe. Mencari siapa pelaku peneror itu. Aku harus menemukannya juga.  ku tatap satu persatu staf kafe mencari apakah ada di antara mereka yang sedang memegang ponsel. Lalu beralih ke arah yang lain. Aku hanya melihat satu lelaki yang sedang duduk di pojokan dan saat ini dia tidak memegang ponsel dia hanya duduk diam sambil membaca buku. Tapi, tak ada satu pun dari mereka. Para staf itu sibuk dengan perkerjaannya. Aku kembali membuka pesan sang peneror itu. Dari gambar tersebut di ambil dari luar. “Dia pasti masih ada di luar kafe,” batinku. Segera aku berlari keluar tak lupa aku memakai kembali maskerku. Menatap sekeliling. Beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitar kafe menatapku aneh. Tapi aku tak perduli. Aku hanya fokus mencari siapa peneror itu. Beberapa orang yang ada di sekitarku banyak yang memenggang ponsel. Lama aku mencari, pandanganku tiba-tiba saja mengabur dan dunia seakan berputar. Napasku saat ini sesak, seakan ada yang memukul dadaku. “Gawat! Aku tak boleh pingsan di sini. Aku harus pergi.”aku terus melangkah menjauhi kafe sambil perpegangan pada tiang dan dinding. Tak lama kemudian Ku tatap kembali kafe itu yang jauh beberapa meter dariku. “Yang Zhan, maafkan aku. Aku terpaksa meninggalkanmu ...” lirihku. Aku terus melangkah dengan gontai, beberapa orang melihatku dengan pandangan aneh. Aku harus kembali ke hotel sebelum terlambat. Aku tak boleh tumbang di jalanan. Orang-orang pasti mengenalku dan akan menimbulkan masalah. Ataukah setidaknya aku pingsan di tempat yang tak terlihat. Itu lebih aman ketimbang di tempat umum. Aku terus melangkah hingga masuk ke geng-gengg sempit. Tak lama kemudin kedua kakiku lemas dan akhirnya aku terjatuh. “Apa kau tidak apa-apa?” sebuah suara mengangetkanku. Siapa dia. Aku mencoba melihatnya. Tapi, pandanganku terlalu kabur dan tak bisa melihat jelas wajahnya. Yang aku tahu dia adalah seorang wanita dari suaranya.  Wanita itu berusaha membantuku berdiri. Wangi Dia wangi bagaikan bunga sakura di musim semi. Mungkinkah dia gadis pahlawanku? Apakah dia datang menolongku. Aku sedikit tersenyum membayangkan gadis pahlawanku. “Gadis pahlawan ku ...” lirihku sebelum kegelapan menjemputku. TBC                      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD