BAB 9

1081 Words
           “Apa maksudnya? Kenapa dia memanggilku gadis pahlawan?”            Kutatap wajah biasku yang tak sadarkan diri dengan wajah bingung. Aku tak tahu mengapa dia menanggilku gadis pahlawa?            Kreat            Kudengar suara langkah kaki mendekat ke arah kami. Segera ku perbaiki posisiku dan bersembunyi agar tak ada yang melihat kami. Jika seseorang melihat biasku karirnya bisa hancur dalam semalam. Keadaan kami sekarang sangatlah kurang baik. Orang-orang pasti akan beranggapan jika kami melakukan hal-hal mesumm di gangg sempit.            Suasana saat ini sangat gelap hanya ada cahaya rmbulan yang menjadi penerang walau hanya sedikit. Ku tatapa baik-baik wajahnya yang tak sadarkan diri di pelukanku. Mulai dari ujung rambut hinggga turun ke bibirnya sangatlah rupawan dan mempesona. Dia sangat tampan dan rupawan, hanya saja sikapnya yang kurang baik.            Semakin ku tatap bibirnya membutaku semakin membuatku terpikat sekakan bibir itu tengah tersenyum padaku dan mengiginkanku untuk mengecupnya. Terus ku gelengkan kepalaku untuk menyingkirkan pikiran-pikiran kotor itu. Aku tidak boleh melakukannya. Jika aku melakukannya sama saja jika aku melecehkannya. Aku tak bisa melecehkan biasku.            Hampir satu jam kami berpelukan di tempat yang sempit dan gelap. Tak ada tanda-tanda jika dia akan sadar. “Aku harus membawanya kembali ke hotel,” gumamku pelan. Ku tatap jam tangan yang ada di pergelangan tangaku.            “Masih jam sebelas malam. Kalau jam segini jalanan masih ramai. Aku mesti menunggu jalanan sepi baru bertindak agar tak ada yang menyadari kami.”            Aku kembali menatap terdiam sambil memeluk biasku. Sesekali meniup niup kedua tangannya agar dia tak kedinginan. Tak sampai di situ, kulepas jaketku dan memberikannya. Aku tak ingin dia sakit. Dia punya banyak perkerjaan yang harus ia tangani. Jika ia sakit akan berakibat fatal dan akan membuat perusahaan rugi. Aku tak ingin di terkena masalah lagi.            Hampir dua jam kami berada di posisi yang sama yaitu saling berpelukan. Dan saat jam dua subuh barulah aku mengangkatnya dengan susah payah menuju jalanan yang sepi. Aku berharap ada mobil yang lewat.            “Ahhh. Dia berat sekali ...” keluhku. Walau berat aku  tetap berjuang untuk membawanya.            Lama aku menggendongnya di tengah jalan akhirnya sebuah mobil taxi pun lewat. segera kututupi wajah biasku agar sang supir tak mengenalinya. “Ada apa dengannya?” tanya sang supir menyadari biasku tak sadarkan diri.            “Dia mabuk, Pak. He he he ... kami baru saja minum bersama tadi,” jawabku berbohong.            Setelah itu suasana kembali hening pak supir taxsi tak bertanya lagi dan fokus menyetir dan membawa kami ke hotel tempat di mana biasku tinggal.            “Apa kamu perlu bantuan?” tanya sang supir saat melihatku kesulitan membawa Xue Mei.            “Ahh. Tidak perlu, Pak. Aku bisa sendiri. He he he ... kau boleh pergi, Pak.”            “Baiklah.”  Aku sedikit membungkuk saat sang supir akan pergi. Kembali ku tatap Xue Mei yang masih saja betah dengan tidur. “Ku harap kau bersyukur punya fans sepertiku,” ujarku pelan padanya. Walau aku tahu dia tak mungkin mendengarku.            Tak lama kemudian akhirnya kami tiba di pintu hotelnya. Segera ku geledah pakaian yang ia kenakan untuk mencari kartu kunci pintu. Aku seikit mendesah saat tak menemukan sesuatu seperti kunci atau apalah itu.            “Baiklah aku akan menggunakan keahlianku sendiri.” Segera ku ambil peniti yang selalu aku bawa ke mana-mana. Dan meletakkan biasku di lantai begitu saja.            Saat kedua tangaku sibuk membuka pintu hotelnya. Tiba-tiba saja sebuah tangan menggenggam tangaku cukup kuat. kulihat pemilik tangan tersebut dan seketika kedua mataku membulat melihat siapa yang memegang tanganku            “Apa begini caramu membuka pintuku selama ini? kau memang hebat melakukannya,” ujar lelaki itu yang tak lain adalah Xue Mei. Dia telah sadar dari tidur panjangnya.             Jantungku berdetak kencang menyadari aku ketahuan. Gawat! Apa yang harus aku lakukan? Dia melihatku. Apakah dia menyadari siapa aku!            Tak habis akal. Seketika ku tarik tangannya sedikit mendekat ke arahku lalu membalik tubuhnya dengan salah satu tanganya ku pelintir ke belakan punggungnya lalu dalam hitungan detik kupukul tengkuknya cukup kuat hingga membuatnya kembali tertidur.            “Tidurlah lebih lama dan maafkan aku ...” lirihku sedikit merasa bersalah.            Setelah pintu kamarnya kubuka. Segera ku tarik tubuhnya masuk ke hotel. Membawanya dan membaringkannya di kasur miliknya. Tak hanya itu aku juga melepas jaketnya dan sepatu dan kaos kakinya. Sehingga dia bisa tidur dengan nyenyak.            Tak lupa aku juga mengelap sedikit tubuhnya dengan air hangat. Membersihkan tubuhnya yang sedikit kotor mungkin karena aku menyeret tubuhnya saat berada di gangg itu.            Tak lupa aku mengobati bekas pukulanku di tengkuknya. Memberinya koyok berharap pukulanku tak membuatnya kesakitan besok.            “Maafkan aku ... aku terpaksa memukulmu tadi. Aku tak ingin kau mengetahui dan melihatku.”            Saat aku bangkit baskom yang berisi air hangat yang aku pegang terjatuh dan semua airnya tumpah di lantai. Aku sedikit merutuki kecerobohanku. “Aisss ... padahal aku harus cepat-cepat meninggalkan hotelnya ...” rutukku dalam hati.            Aku menghela napas sebelum akhirnya menyimpan bakom yang terjatuh tadi dan mengambil alat pel. Saat kembali ke ranjang biasku tiba-tiba saja aku terjatuh akibat air yang aku injak sangat licin. Aku terjatuh dan menimpa tubuhnya. Wajah kami sangat dekat hanya berjarak beberapa senti. Untuknya kedua tanganku dengan singgap menahan tubuhku jika tidak aku pasti sudah menimpa wajahnya.            Lama aku terdiam memerhatikan wajahnya dan turun ke bibir renumnya yang sangat menggoda. Jantungku berdetak sangat kencang. “Maafkan aku ... kali ini saja ...” batinku lalu menutup kedua mataku dan akhirnya ku kecup bibirnya sejenak.            Semburan merah menghiasi wajahku saat itu juga setelah ku lepas kecupanku. Walau hanya beberapa detik hal ini membuatku sangat senang. Aku juga harus mendapatkan imbalan setelah menolongnya beberapa kali.            Setelah itu aku bangkit dari posisiku. Lalu membersihkan lantai kamarnya. Saat aku ingin keluar kamarnya, kutatap sekali lagi kamarnya. Sangat berantakan. Lalu kembali melihat jam tanganku. Masih ada beberapa jam sebelum pagi tiba.            “Tak ada salahnya aku membantunya membersihkan kamar. Lagian dia tidak akan pernah menyadarinya,” batinku. Aku mengangguk-ngangguk cukup yakin lalu kembali bekerja keras merapikan semua barang-barangnya dan membuat semua sampah yang berserakan di lantai.            Tak terasa jam telah menunjukkan pukul lima subuh. Kurentangkan kedua tanganku ke atas lagit untuk merenggangkan otot-otot ku yang pegal akibat bekerja terlalu keras. Menatap hasil kerjaku dengan penuh percaya diri.            “Ahhh. Aku harus pergi secepatnya sebelum dia bangun,” batinku. Saat akan pergi, kulihat ponselku tergelatak di sebuah ruangan. “Itu kan ponselku?”            Segera ku ambil ponselku dan mengeceknya. Saat itu juga aku menatapnya dengan wajah kesal. “Kau menghapus semua file-fileku! Dasar bias tak punya perasaan!” rutukku dalam hati.            Sekali lagi ku tatap wajah damainya yang tertidur dengan wajah kesal sebelum keluar dari kamarnya. TBC               
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD