"Kayaknya Mama sama Papa waktu bikin gue gak bismillah dulu, deh, makanya gue segoblok ini," keluh Ananta, menelungkupkan wajah di atas buku. "Kadang gue mikir, mau tukeran otak aja gitu sama Kak Jefri."
Arga yang sedang mengerjakan tugas Ananta mendongak, menatap Ananta sekilas. "Bukan nyokap bokap lo yang salah. Lo-nya aja yang waktu pembagian otak kagak nongol, makanya goblok."
Arga kalau ngomong suka bener. Bener-bener bikin krenyes sampai ada suara kretek-kretek gitu.
Untung saja Ananta sadar mereka sedang di perpustakaan. Akan berabe jadinya jika Ananta membuat kegaduhan. Cukup sudah Ananta terkenal pembuat onar jika di perpus bersama kawanannya. Sekarang ia bersama Arga, harus sedikit kalem. Tahu sendiri penjaga perpus, kan, Arga stan garis keras. Ananta tidak boleh gegabah kalau tidak mau kena bulan-bulanan para fansnya.
Sepuluh menit berlalu, dan Ananta masih berkutat dengan tugas. Hingga ketika ia melihat jam di layar ponsel, gadis itu kembali rusuh.
"Ga, tujuh menit lagi kelas gue mulai, Ga. Cepetan!" Ananta gregetan karena benar-benar ia bisa telat.
Tidak. Ananta tidak ingin telat. Minggu kemarin dia sudah terkena ultimatum karena tugas yang tidak dikerjakan. Kalau sekarang Ananta melakukan kesalahan lagi, tamatlah riwayatnya.
"Santai, nyet. Jangan rusuh." Arga juga jadi ikutan panik, kan, gara-gara Ananta panik? Dasar bocah. Udah ngerjain tugasnya kebanyakan dikerjain Arga, rusuh, bikin Arga ikutan rusuh juga.
"Makanya cepetan!" Ananta blingsatan sendiri layaknya cacing kepanasan.
"Habis ini bilang makasih lo sama gue," gerutu Arga yang benar-benar menambah kecepatan dalam mengerjakan tugas Ananta.
"Akhirnya... noh, udah selesai. Buruan!" titah Arga.
Ananta buru-buru merapikan buku-bukunya, kemudian menatap Arga sebentar. "Makasih, Arga ganteng. Ganteng dikiiiiit doang. Gue ke kelas!" Ananta lantas ngibrit begitu saja tanpa mendengar jawaban Arga terlebih dahulu.
Oke, Arga sudah biasa.
Arga ikut beranjak dari tempatnya duduk. Kemudian tersenyum begitu melihat penjaga perpus yang melambaikan tangan dengan senyuman lebar yang disisipi tatapan kagum.
Ya, begitulah Arga. Tebar pesona sudah menjadi bagian dari hidupnya. Menebar senyum hingga membuat anak gadis hamil online tapi tidak ingin tanggung jawab. Boro-boro tanggung jawab, ditembak cewek aja jawabnya pasti: lo cantik, tapi gak pantes buat gue. Gue gak baik buat lo.
Awalnya doang bikin nge-fly bilang cantik, ujung-ujungnya tetep nyesekkin. Arga bilang dia tidak baik, apa yang tidak baik dari seorang Arga Ravendra? Dia tampan, otak lumayan lah tidak sebego Ananta, badan pelukable, dari keluarga terpandang pula. Tapi entahlah, memang itu jawaban yang selalu terlontar setiap kali Arga menolak perempuan
Entah kata gak baik itu salah satu cara dia untuk merendah, atau memang Arga seperti itu. Tidak ada yang tahu.
***
"To, To... traktir gue, dong!" Ananta memasang muka melas di depan Seto, temannya. Kelas baru saja selesai, dan perut Ananta sudah keroncongan bukan main. Ya, maklum, namanya juga Ananta, asupan makan banyak tapi sayangnya tidak membantu dalam mengencerkan otak.
"Ogah. Noh, ke Yudha!" Seto berjalan lurus, meninggalkan Ananta yang sudah menatapnya dengan tatapan seperti kucing minta ikan asin ke majikan.
"k*****t. Gue do'ain gak tinggi-tinggi lo!" Ananta meneriakki Seto yang hari ini begitu mengesalkan. Memang tiap hari juga mengesalkan, sih, sebenarnya.
"Gak usah dido'ain juga emang udah bantet kali, Ta." Yudha ketawa. Ketawanya berhenti begitu Ananta menoleh dan siap merengek minta traktir. Berbeda dengan Seto yang berjalan tenang, Yudha justru ngacir, berlari cepat meninggalkan Ananta.
"Gue ada kelas!" teriak Yudha.
"s****n memang lu pada!" maki Ananta sebal pada dua teman sedari SMA-nya itu.
Ananta mengerucutkan bibir, berjalan sambil celingukan mencari satu temannya lagi yang mungkin bisa ia mintai traktir. Bukannya Ananta kere, tapi uang yang dikasih mamanya tempo hari sudah habis Ananta belikan kinder joy sama beli stick PSV. Padahal orang tuanya masih pulang sekitar semingguan lagi.
Kemudian netra Ananta menatap nyalang pada dua cowok tinggi yang berjalan bersisian. Kentara sekali perbedaan raut di antara keduanya. Yang satu kelihatan kalem, yang satu lagi pecicilan.
"KINO!" teriak Ananta, menghampiri keduanya. Tanpa tahu malu Ananta gelendotan di tangan Kino.
"Ki, makan yuk!" ujar Ananta, mendongak menatap Kino dengan cengiran lebar.
"Apaan lu kutil badak nemplok-nemplok di tangan gue?" semprot Kino sambil menoyor kepala Ananta. "Bau apaan lagi ini anjir? Gak mandi ya, lo?"
Sontak saja Ananta melepaskan pelukannya dari lengan Kino dan memukul keras cowok itu. "Gue... gue mandi lah, Nyet. s****n lo!" ketus Ananta, Nyet. Padahal bohong. Boro-boro mandi, gosok gigi aja baru sempet di toilet kampus tadi.
"Bohong, ya, lu? Bau gini anjir," ledek Kino.
"Kino b**o! Mau makan kagak?" sentak Ananta kesal.
"Paling lo minta traktiran ke gue."
Ananta nyengir. "Tahu aja, sih, lo. Ya udah, yuk, makan yuk!" dengan percaya dirinya Ananta sudah mau menggandeng tangan Kino, tapi Kino menghindar.
"Apaan anjir?" Kino ngakak. "Noh, sama Arga aja. Biasa juga jadi menelnya Arga lu!"
Ananta mengkerucutkan bibir dengan kesal. Ananta juga maunya begitu, minta traktir makannya sama Arga. Tapi rada kasihan gitu tiap hari Arga Ananta mintain traktir nggak di rumah nggak di kampus.
"Pelit mah pelit aja lo! k*****t, ah." Ananta pura-pura ngambek.
"Biar gue aja yang traktir."
"Eh?"
Ananta menoleh. Tiba-tiba jiwa jablaynya kumat. Yang nawarin itu Nizar, cowok di sebelah Kino. Salah satu maba terpopuler di kampus karena pindahan dari Singapura. Bukan cuma itu, memang wajahnya juga tidak bisa dikatakan tidak ganteng. Mana kalem, pinter juga katanya. Definisi sempurna, bukan?
"Eh, gak usah, Zar." Pura-pura nolak, padahal mah dalam hati udah blingsatan senang. Ya gimana nggak senang, mau ditraktir cowok famous, ganteng, dan boyfriendable kayak Nizar.
"Gak apa-apa, lagi pula hitung-hitung salam perkanalan dari gue. Kita, kan, udah tetanggan hampir sebulan tapi belum kenalan secara resmi."
Ananta mangut-mangut sambil nyengir bodoh. Habisnya senyum Nizar bikin meleleh. Pantes banyak yang naksir kalau senyum aja gantengnya nambah berkali-kali lipat.
Fyi, Nizar memang jadi tetangga Ananta karena dia tinggal di rumah Kino—yang tidak terlalu jauh dari rumah Ananta. Menurut gosip para penggosip, katanya mereka memang sepupuan.
"Gue kasih tahu, ya, Zar. Jangan mau neraktir si Ananta. Sekali lo kasih traktir, dia bakal minta traktir tiap ha—ANJ! Kenapa nendang p****t gue, setan!"
Ananta nyengir polos. "Gue bukan setan. Zar, yuk makan!" ujar Ananta, meninggalkan Kino yang masih meringis karena tendangan maut Ananta di pantatnya.
***
Bukan Ananta namanya kalau tidak bacot kapan pun dan di mana pun. Contohnya sekarang, mulut penuh bakso pun masih sempat-sempatnya ngocehin Kino yang kecentilan sama cewek-cewek. Habisnya, senior juga digodain. Memang dasar curut satu itu.
"Baksonya abisin dulu, Ta, baru omelin Kino." Nizar terkekeh kecil. Ananta cuma nyengir doang. Nizar lucu banget ketawanya.
"WOY, DI SINI LU PADA!"
Hadeuh, hampir saja Ananta keselek. Arga memang hobi membuat Ananta naik pitam.
Ananta meraih air minum dan segera menenggaknya hingga tandas. Kemudian menepuk-nepuk dadanya, dibantu oleh Nizar yang nepuk-nepuk punggungnya. Sumpah, keselek kuah bakso yang pedes, tuh, rasanya nano-nano. Berdenguuuung panas di tenggorokan.
"Kenapa lo, Ta?" tanya Arga polos, seraya duduk di sisi Kino.
Ananta masih menepuk-nepuk dadanya sambil mata melirik tajam ke arah Arga. Setelah dirasanya lebih baik, kaki Ananta dengan begitu kasarnya menendang tulang kering Arga hingga cowok itu meringis.
"Nanya kenapa. Lo ngagetin bikin gue keselek, Ga! b**o anjir." Ananta memasang wajah kesal sampai kedua alisnya bertaut.
"Gak usah nendang juga, dong, kampret."
"Bodo!" ketus Ananta sebal. "Ngapain juga lo ke sini? Gue gak ada waktu, lagi sibuk."
Arga yang baru saja menenggak teh hangat milik Kino tiba-tiba ngakak. "Apaan anjir? PD banget. Gue ke sini mau nyamperin Nizar. Ada urusan. BYE!"
"Eh?" Ananta memutar kepala, menatap Arga yang membawa Nizar begitu saja meninggalkan kantin.
"Ga, Nizar-nya jangan dibawa dulu!" teriak Ananta, yang hanya dibalas oleh leletan lidah cowok itu. "YANG BAYAR MAKANAN GUE INI SIAPA?" Ananta berteriak. Kemudian meringis begitu mendapatkan banyak tatapan aneh dari para penghuni kantin.
Bego! Kenapa kudu teriak, sih?
Lantas Ananta tersenyum canggung. Ditatapnya Kino dengan melas, karena hanya Kino yang tersisa di sini sekarang.
"Ki, bayar—“
"Gue lupa, belum masukkin gajah ke kulkas!"
"Woy, Ki!" Kino lurus berjalan, tak menghiraukan Ananta. "k*****t!" desisnya kesal.
Terpaksa harus bayar pakai uangnya yang udah tipiiiis banget. Setelah ini Ananta beneran bakal marah ke Arga. Ngeselin sih, datang cuma buat nyulik Nizar.
***