Suasana meeting kali ini cukup menegangkan. Ruangan penuh dengan udara yang terasa berat, seolah setiap orang di dalamnya menahan napas, menunggu kata-kata pertama yang akan terucap. Cahaya lampu di atas meja konferensi memantulkan kilau halus pada permukaan kaca, menciptakan bayangan tajam yang seakan memperkuat ketegangan. Romeo duduk di kursinya dengan tubuh tegang, alisnya sedikit berkerut, menyadari betapa gentingnya situasi ini. Dua klien yang harus dia temui secara bersamaan telah menciptakan dilema besar dalam benaknya. Pandangannya sesekali melirik jam di pergelangan tangannya, seolah waktu adalah musuh terbesarnya saat ini.
Romeo hampir saja kehilangan kepercayaan dari salah satu klien, yang merasa diabaikan karena melihat perhatian Romeo seakan lebih condong kepada klien lain. Sikap profesionalitasnya diuji habis-habisan. Semua hal yang sudah ia bangun dengan susah payah bisa hancur dalam sekejap, hanya karena pertemuan ini berbentrokan. Namun, di tengah badai kecemasan itu, ada satu sosok yang dengan tenang mengatur ulang segalanya—Maudy, sekretarisnya yang begitu cerdas dan penuh perhitungan.
Maudy, dengan kecekatan dan ketenangan yang sudah menjadi ciri khasnya, telah berhasil mengatur ulang jadwal kedua klien tersebut tanpa menimbulkan kesan Romeo mengesampingkan satu pihak. Senyum tipisnya tidak pernah luntur, meski ia tahu betapa rumit situasinya. Di balik sikap tenangnya, Maudy bekerja dengan presisi seorang maestro, mengatur waktu dan situasi dengan sempurna, seolah kedua pertemuan ini hanyalah potongan puzzle yang mudah ia pasang.
"Maaf, saya terlambat," ujar Romeo saat akhirnya memasuki ruangan, senyumnya ramah namun sedikit tegang, berharap bisa mengurangi kecanggungan yang mungkin muncul. Klien di hadapannya, seorang pria berpenampilan rapi dengan mata tajam, menatap Romeo sejenak sebelum berdiri untuk menjabat tangannya.
"Saya mengerti. Anda pasti sangat sibuk. Terima kasih telah meluangkan waktu untuk saya," jawab sang klien dengan nada formal, meskipun tak sepenuhnya bebas dari kesan dingin. Romeo merasakan kekhawatiran menyelinap ke dalam pikirannya, namun Maudy yang berdiri di belakangnya memberikan isyarat halus—senyum tipis dan anggukan yang hampir tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Romeo tahu bahwa semuanya sudah terkendali.
Sebuah napas lega lolos dari bibir Romeo. Dia tahu, hari ini tidak akan menjadi bencana berkat Maudy. Pandangannya sesaat beralih ke arah Maudy yang berdiri tak jauh darinya, memberikan senyuman kecil penuh rasa terima kasih dan kekaguman. Betapa beruntungnya dia memiliki seseorang yang bisa menenangkan badai dan menyulap kekacauan menjadi harmoni.
"Tidak masalah. Mari kita mulai saja," ujar Romeo akhirnya, membuka kancing blazernya sebelum duduk. Gaya duduknya tetap tenang, berusaha memancarkan sikap percaya diri yang telah menjadi ciri khasnya sebagai seorang pengusaha sukses.
Maudy, dengan langkah ringan yang nyaris tanpa suara, mendekatkan buku menu kepada Romeo dan klien. Pergerakannya anggun dan penuh kehati-hatian, membuat setiap detail tampak sederhana, meskipun ia sedang mengendalikan banyak hal di belakang layar. Keberadaannya di ruangan itu tak hanya memberikan rasa nyaman bagi Romeo, tetapi juga menciptakan suasana yang lebih santai di tengah ketegangan.
"Saya tidak heran kenapa Syadiran Group tetap menjadi perusahaan nomor satu," ujar klien dengan nada kekaguman yang jelas. Ia menatap Maudy sejenak sebelum melanjutkan, "Anda punya sekretaris yang luar biasa cerdas."
Maudy menunduk sedikit, tersenyum lembut namun rendah hati. "Anda terlalu memuji. Terima kasih," jawabnya, suaranya tenang namun penuh kesopanan, seperti biasa.
Romeo berdeham pelan, senyum simpul menghiasi wajahnya. "Tentu saja, Pak. Saya sangat beruntung memiliki Maudy di tim saya," katanya, dengan nada penuh kebanggaan yang tak dapat disembunyikan.
Dan lebih beruntung lagi, pikirnya dalam hati, karena aku memiliki hatinya.
“Apa yang kamu inginkan?” Tanya Romeo dengan suara lembut, namun nada itu mengandung kedalaman yang tak terungkapkan. Di dalam mobil yang remang-remang, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan yang melewati kaca depan, suasana terasa begitu intim dan tegang di saat yang bersamaan.
Maudy duduk di sebelahnya, wajahnya tenang, namun matanya menyimpan rahasia yang tak pernah ia biarkan mengalir keluar. Mendengar pertanyaan dari atasan yang selama ini mengisi banyak ruang di hidupnya, Maudy hanya menggeleng pelan, seperti selalu. “Saya tidak mau apa-apa,” ucapnya lembut, suaranya nyaris tak terdengar di atas deru mesin mobil. Seolah tak ingin mengganggu keheningan yang nyaman, namun penuh ketidakpastian di antara mereka.
Dari kursi depan, Teddy, sopir mereka, jelas mendengar percakapan itu. Meski ia berusaha tetap tak terlihat, sesekali matanya mencuri pandang lewat kaca spion, memastikan semuanya baik-baik saja di antara dua orang yang selalu tampak begitu berjarak, namun secara aneh juga begitu dekat.
Romeo menghela napas, mencoba menenangkan gejolak di dalam dirinya. **Mengapa Maudy selalu menutup diri seperti ini?** pikirnya, frustrasi. “Kamu sudah membuat klien-ku senang hari ini,” lanjutnya, mencoba mengalihkan ketegangan dengan pujian. “Kamu pantas mendapatkan hadiah yang bagus.”
Tapi lagi-lagi, Maudy hanya menggeleng. Senyumnya yang tipis terlihat lembut namun berjarak, seperti selalu ada tembok yang dia bangun di antara mereka. “Itu sudah menjadi tugas saya, Pak Romeo. Saya memang harus melakukan yang terbaik untuk Anda,” ucapnya. Kata-kata itu terucap dengan nada profesional, namun di baliknya, Romeo bisa merasakan dinginnya. Ada sesuatu yang berbeda sejak beberapa waktu belakangan. Dan itu semua dimulai sejak kehadiran Kleo—sesuatu yang tak bisa dikesampingkan oleh Romeo.
Sejenak, suasana di dalam mobil itu berubah. Keheningan menyusup di antara mereka seperti kabut yang perlahan menyesakkan. Romeo diam, tatapannya lurus ke depan, namun pikirannya berputar. Ada rasa yang tak nyaman, sesuatu yang membuat darahnya mendidih pelan. Ia tak tahan melihat jarak yang semakin terbentang antara dirinya dan Maudy—jarak yang seharusnya tidak ada.
“Apakah… Gavin sudah memberikanmu sesuatu?” tanyanya akhirnya, suara itu penuh keraguan, namun ada nada tegas di baliknya. Nama Gavin terucap dengan berat di mulut Romeo, bagaikan beban yang ingin dia singkirkan.
Maudy menoleh perlahan, wajahnya tak menampilkan reaksi yang jelas. “Pak Gavin tidak memberikan apapun,” jawabnya, singkat namun jelas. Tapi jawaban itu tak cukup meredakan kegelisahan di hati Romeo.
Dan dalam satu detik yang seolah melambat, Romeo menatapnya dalam, matanya memancarkan emosi yang sulit diartikan. “Dan kamu tidak boleh menerima apapun darinya,” tegasnya, dengan suara yang lebih rendah, namun penuh penekanan.
Maudy menghela napas panjang, mencoba menyingkirkan rasa tak nyaman yang mulai menghimpit dadanya. Ia berusaha untuk tetap tenang, meski di dalam hatinya, gejolak yang sama berkecamuk. Namun sebelum ia sempat menarik tangannya menjauh, Romeo sudah meraih tangannya, menggenggamnya erat. Tenaga mereka tidak seimbang, dan Maudy tahu, tak ada gunanya melawan.
“Ingat!” Romeo berbisik rendah, suaranya lebih dari sekadar peringatan—ada keputusasaan yang terselip di baliknya. “Kamu milikku.”
Maudy menatapnya dengan sorot mata yang kini mulai dipenuhi oleh emosi yang tertahan. Bibirnya tergigit, seolah menahan segala perasaan yang membuncah. Ia tahu bahwa Romeo tak sekadar berbicara soal pekerjaan. Ia tahu, dan itulah yang membuat semua ini terasa semakin rumit. Di balik tatapan tajam laki-laki itu, ada rasa yang mendalam, namun juga menguasai. Dan itulah yang membuat Maudy menggigil, bukan karena takut, tetapi karena terjebak di antara perasaannya sendiri dan kenyataan yang ia coba hindari.
Dengan napas yang terputus-putus, Maudy akhirnya menggelengkan kepalanya pelan. "Pak, Anda tidak mengerti…" bisiknya nyaris tak terdengar, matanya tetap tak lepas dari milik Romeo, meskipun seluruh dirinya ingin menjauh. Aku bukan milik siapa pun—itu yang ingin ia katakan, namun kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya, terlalu berat untuk diucapkan.