“Kamu mau minum sesuatu?” suara Kleo terdengar lembut, seperti belaian halus angin malam. Namun, bagi Romeo, itu seperti gema yang jauh, teredam oleh kerumitan pikiran yang melayang tanpa arah. Segala sesuatu tentang pertemuan ini terasa salah. Ayahnya yang memintanya untuk menemui Kleo, dan entah mengapa, malam ini ia merasa terperangkap dalam kewajiban yang berat, bukan cinta.
“Aku tidak mau minum apa-apa,” jawabnya dingin, nadanya jauh berbeda dari kehangatan biasanya. Kleo menatapnya, matanya penuh tanda tanya, tak terbiasa dengan jarak yang kini membentang di antara mereka. Di malam-malam sebelumnya, Romeo adalah pria yang selalu membuatnya merasa dihargai, bahkan dengan hal-hal sederhana. Namun, malam ini, ada sesuatu yang berubah.
Kleo mendekat, duduk di samping Romeo. Wajahnya berkerut, bibirnya sedikit bergetar saat bertanya dengan hati-hati, “Apa kamu sedang ada masalah, sayang?” Suaranya lembut, penuh perhatian, namun tidak mampu menembus kabut gelisah yang menyelimuti Romeo.
Sejenak, Romeo terdiam. Jari-jarinya yang kuat namun dingin meremas kursi di bawahnya, seolah mencari pegangan di tengah badai yang bergejolak dalam hatinya. Haruskah ia membuka diri? Tapi bagaimana ia bisa melakukannya, ketika sosok Maudy terus menghantui benaknya? Dan Kleo, tunangannya, adalah pilihan yang telah ditentukan ayahnya—sebuah keputusan yang tak bisa ia tentang tanpa risiko.
“Maaf, aku hanya sedikit lelah,” katanya akhirnya, suaranya terdengar hampa, seperti pantulan dari kedalaman yang tak terjangkau.
“Oh.” Kleo terdiam sejenak, tatapannya berpindah ke ponselnya, mungkin mencari pelarian dari kecanggungan yang tiba-tiba. Tiba-tiba, wajahnya berubah, penuh kejutan. “Gavin lagi di rumah sakit,” ujarnya, seperti membuang begitu saja fakta itu di udara.
“Hah? Di rumah sakit? Ngapain?” Romeo terperanjat, ketenangan yang ia coba pertahankan hancur dalam sekejap.
“Kayaknya temannya sedang berduka,” jawab Kleo, matanya menyusuri layar ponsel sebelum berhenti pada sebuah foto. Ia menatap lebih dekat. “Eh, ini Maudy, kan?” Kleo memperlihatkan ponselnya kepada Romeo.
Hati Romeo berdegup kencang saat ia melihat foto itu. “Maudy?” Nama itu meluncur dari bibirnya seperti doa yang terlupakan.
Kleo mengetik cepat di ponselnya. “Aku akan tanya Gavin.” Dalam beberapa detik, ponselnya berbunyi, dan Kleo segera membaca pesannya. “Oh, ternyata kakaknya Maudy meninggal. Gavin ada di sana buat nemenin dia.”
Romeo terdiam. Di dalam pikirannya, berbagai pertanyaan berdesakan. *Jadi, Maudy punya kakak? Mengapa selama ini aku tidak tahu? Mengapa Maudy tidak pernah memberitahuku?* pikirnya. Rasa frustrasi dan penasaran bergumul dalam hatinya. Maudy, gadis yang selama ini selalu tampak kuat di hadapannya, ternyata menyimpan duka yang begitu dalam tanpa ia ketahui.
"Ayo kita ke rumah sakit!" seru Kleo dengan nada yang tak dapat ditawar, seperti angin badai yang datang tiba-tiba, menyapu segala ragu. Matanya berbinar dengan tekad, sementara Romeo hanya bisa berdiri terdiam, seolah terperangkap di antara keinginannya untuk tidak peduli dan kenyataan yang semakin mendesak.
“Hah! Ngapain?” Romeo mencoba mempertahankan sikap dinginnya. Meski hatinya berdenyut setiap kali mendengar nama Maudy, ia tahu ia harus bermain peran di hadapan Kleo—peran seorang tunangan yang tak terguncang oleh kabar sekecil apapun dari sekretarisnya.
Kleo mendengus frustrasi, lalu menatap Romeo dengan sorot penuh cemooh. "Ya ampun, Meo. Dia ini sekretarismu! Mana bisa kamu membiarkan dia berduka sendirian? Di mana empati kamu?" Nada suaranya hampir seperti memerintah, namun dibalut kepedulian yang sulit ditolak.
Romeo menggigit bibirnya, merasa sedikit tersudut. “Kan seperti kata kamu, di sana ada Gavin. Jadi aku rasa, aku nggak perlu nemuin dia, kan?” jawabnya, berusaha terdengar meyakinkan, meskipun hatinya meronta. Bayangan Maudy yang mungkin menangis dalam diam, ditemani Gavin, membuat sesuatu di dalam dirinya terasa sesak.
Namun, Kleo tidak menyerah. “Kamu ini! Ayo lah!” Tanpa menunggu jawaban, Kleo sudah menarik tangannya.
Sampai di rumah sakit, Romeo melihat bagaimana perhatian Gavin pada Maudy. Gadis itu terlihat terus menunduk dengan matanya yang merah dan isakan pelan.
"Maudy ...." kleo mendekat dan memeluk gadis itu.
"Maaf, kami baru ke sini. Kalau bukan Gavin yang bilang. Mungkin aku enggak tahu." Kleo mengusap bahunya Maudy dengan pelan.
"terima kasih nona Kleo." ujar Maudy dengan penuh hormat.
"Jangan berterima kasih. Ini kewajiban ku sebagai tunangan atasan mu. Aku harus memberikan perhatian padamu. Kamu sudah membantu banyak sekali pekerjaan nya meo." ujar Kelo terlihat tulus.
Maudy mengangguk, tanpa sekali pun menatap ke arah Romeo. Padahal tanpa ia tahu Romeo terus saja menatap padanya dengan lekat.
"Jadi dia kakak mu?" tanya kleo.
"Iya, dia kakak saya, nona." ujar Maudy.
Gavin menatap interaksi antara Kleo dan Maudy. Ia menangkap bahwa saat ini Maudy sedang tidak bisa diajak komunikasi. Mungkin gadis itu ingin sendirian.
"Mmm ... kakak ipar. Biarkan Maudy sendirian. Aku rasa dia sedang ingin menangkan diri." ujar Gavin. "Dia juga belum makan. Mungkin aku akan mengajaknya ke kantin." ujar Gavin.
"Baiklah. Maaf, ya Maudy. Aku malah ngajak kamu ngobrol." ujar Kleo merasa besalah.
"Tidak apa apa nona. Saya permisi." Maudy berjalan melewati Romeo, hal itu tentu saja membuat Romeo mematung. Seolah waktu terhenti ketika gadis itu melewatinya.
Ingin sekali romeo menarik tangannya namun ...
"Lihat! Gavin begitu perhatian pada Maudy. Aku rasa. Gavin lebih serasi dengan maudy dari pada dengan Andini." ujar Kleo.
Romeo terdiam melihat punggung gadis itu menjauh dengan Gavin. Mulutnya terasa kelu.
"Romeo katakan lah sesuatu,." ujar kleo gemas.
"Apa Kleo ... aku harus bilang apa?" keluh Romeo. Ia sungguh frustrasi.
"Kamu ini bos nya Maudy. Kamu harus memberikan perhatian padanya." ujar Kleo.
"Apa yang harus aku berikan? perhatian seperti dia adalah istriku, begitu?" sinis Romeo.
Hal itu membuat Kleo terdecak kesal. "Menyebalkan!" Namun Kleo tersenyum dan bergelayut manja pada lengan kokohnya Romeo. Ia merasa senang kalau Romeo tidak perhatian pada gadis lain.
"Aku rasa, kamu harus membantu Gavin membatalkan perjodohannya dengan Andini." ujar Kleo.
"Itu bukan urusan ku." ketus Romeo.
"Ayolah sayang. Aku melihat cinta dari tatapannya Gavin untuk Maudy." uajrnya.
Tapi ROMEO JAUH LEBIH MENCINTAI MAUDY!
teriak Romeo di dalam hatinya.
"Bagaimana?" tanya Kleo.
Romeo menghela napas dalam. Laki laki itu harus bersikap seolah Maudy bukan lah perempuan yang diinginkannya. Namun ia juga tidak mau mengiyakan Keinginanya Kleo. Justru lebih berbahaya kalau Gavin sampai membatalkan perjodohannya dengan Andini.
"Ayah tidak akan setuju, dan aku enggak suka ikut campur!"
Tegas Romeo membuat Kleo menggeleng tidak habis pikir.