“Kenapa kamu berangkat kerja dengan Gavin?”
Suara Romeo pecah di udara seperti kilat di tengah malam yang gelap, menggema di sudut-sudut ruangannya yang beraroma maskulin, harum kayu manis dan kulit tua. Dia berdiri di balik mejanya, kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuhnya. Di matanya, tergurat kemarahan dan rasa cemburu yang tak mampu lagi ia sembunyikan, seperti badai yang mengamuk di dalam d**a.
Maudy, yang dipanggil ke dalam ruangan itu tanpa aba-aba, hanya menatapnya dengan pandangan tenang, seolah pertanyaan Romeo hanyalah angin sepoi-sepoi yang takkan menggoyahkan hati yang kokoh. Seulas senyum tipis terbentuk di bibirnya yang merah, matanya sedikit mengecil saat ia menghela napas pelan. "Oh, karena apartemen kami memang bersebelahan," jawabnya dengan nada enteng, bagai tak ada beban di balik jawabannya.
Namun, bagi Romeo, kata-kata Maudy laksana percikan api yang membakar setiap serat kesabarannya. Perasaan cemburu merambat dalam dirinya, menyalakan api yang seolah siap melahap segalanya. Hatinya berteriak, marah, terluka. Gavin—adiknya yang polos dan tak tahu menahu soal hubungannya dengan Maudy. Bagaimana bisa Maudy—wanitanya—menghabiskan waktu bersama Gavin seolah semua itu hal biasa?
"Apa maksud kamu!" teriak Romeo, suaranya meninggi, nadanya terdengar pecah, seperti kaca yang retak karena pukulan emosi yang tak terbendung. **Ini** adalah wanitanya, pikirnya penuh amarah. Mata hitamnya bersinar tajam, seolah menuntut penjelasan yang lebih dari sekadar alasan sederhana.
Namun, Maudy tetap berdiri tenang, tak tergoyahkan. Ia hanya menatap Romeo dengan tatapan datar, tak ingin terlibat dalam badai emosi yang berkecamuk di hadapannya. “Kenapa tuan bertanya pada saya?” balas Maudy dengan dingin, tangannya meletakkan map yang ia bawa di atas meja kayu jati itu, suaranya sedingin es yang menusuk relung hati. Suatu sikap sinis yang tak biasa darinya, menyiratkan bahwa ia tidak lagi ingin menari di atas panggung yang disulut oleh api cemburu Romeo.
"Akan lebih baik kalau tuan tanyakan semuanya pada adiknya tuan."
Maudy melontarkan kata-katanya dengan nada tenang namun tegas, seolah menutup celah bagi Romeo untuk melanjutkan interogasinya. Namun, bagi Romeo, panggilan formal itu seperti tembok dingin yang membatasi mereka, yang ia benci dengan segenap hatinya.
"Oh, ayolah!" seru Romeo, frustrasi. Matanya yang biasanya teduh kini menyala, seperti api yang berkobar di malam gelap. "Kita hanya berdua di sini, Maudy. Biasakan kamu memanggilku dengan sebutan biasa?" Suaranya melembut pada bagian akhir, nyaris terdengar seperti permohonan, meskipun diliputi amarah yang masih tersisa.
Maudy menatapnya. Untuk beberapa detik, dunia seolah berhenti berputar, dan ia terdiam, terjebak dalam tatapan Romeo yang dulu pernah membuatnya merasa aman, meski kini hanya mengingatkannya pada ikatan yang telah putus. Wajah pria itu masih setampan yang ia ingat—alis tebal yang mengerut saat kesal, mata yang dalam dan tajam seperti malam tak berujung, bibir yang dulu menyebut namanya dengan lembut. Beberapa minggu lalu, mereka masih terikat dalam status yang rumit, sebagai suami istri kontrak, namun kini...
"Kita sudah bercerai, dan ini adalah kantor," ucap Maudy akhirnya, suaranya terdengar seperti angin dingin yang menusuk hati Romeo. Ia berbicara dengan keheningan yang dingin, bukan lagi penuh kasih sayang atau kedekatan. "Saya masih membutuhkan uang. Jika bapak enggak keberatan, mohon jangan panggil saya ke ruangan bapak jika memang tidak ada yang penting."
Tatapan Maudy kini kosong, sedingin laut di musim dingin, tak beriak dan tak memberi isyarat bahwa hatinya masih memiliki tempat untuk Romeo. Tapi Romeo tidak siap menyerah. Cengkeraman emosinya semakin erat pada sosok wanita di hadapannya, meskipun ia tahu bahwa mereka sudah terpisah secara hukum. Baginya, Maudy bukan sekadar mantan istri kontrak—dia adalah miliknya, entah hubungan mereka berstatus apa.
"Ini sangat penting, Maudy!" Suara Romeo menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa semakin sempit. Di balik nada marahnya, ada rasa putus asa yang ia sembunyikan. Romeo tidak pernah benar-benar bisa melepaskan, apalagi pada wanita yang di dalam hati dan pikirannya masih ia anggap miliknya—sebuah kepemilikan yang ia tak mau lepaskan. Bagi Romeo, perceraian bukan akhir. Meski semua hukum di dunia memisahkan mereka, bagi Romeo, Maudy tetaplah miliknya. Dan akan terus menjadi miliknya sampai kapan pun.
“Tolong pelankan suara Anda...”
Maudy menoleh ke arah pintu, matanya berkilau dengan ketakutan. Ia merasakan denyut jantungnya berdetak kencang, takut jika ada orang lain yang mendengar perdebatan mereka yang semakin memanas. Keheningan kantor yang biasanya hening kini dipenuhi aura tegang, membuatnya merasa terjebak dalam labirin emosional yang tak berujung.
Melihat kepanikan di wajah Maudy, Romeo segera melangkah cepat menuju pintu. Dengan gerakan yang mantap, ia menutupnya rapat-rapat, bahkan menguncinya dari dalam, seolah ingin membungkam dunia luar dan melindungi rahasia mereka. Di antara keduanya, ketegangan seperti aliran listrik yang menggetarkan udara.
“Kamu harus pindah dari sana!” tegas Romeo, suaranya bergema, menyuarakan perintah yang tak bisa ditawar. Di balik ketegasan itu, ada benih kekhawatiran yang tumbuh subur di hatinya.
“Apa maksud Anda?” Maudy menjawab dengan nada tegas, menantang dengan tatapan yang berapi-api. Ia ingin mempertahankan kendali atas hidupnya, meski di dalam hatinya berperang dengan keraguan.
Romeo mendekat, mengulurkan tangannya dan meletakkannya di atas bahu Maudy. Sentuhannya hangat, namun ada ketegangan yang mengalir di antara mereka, seolah waktu berhenti dan dunia menyusut menjadi hanya mereka berdua. “Kamu pindah dari sana. Aku akan membelikan kamu apartemen yang lebih bagus lagi,” pinta Romeo, suaranya melunak, dipenuhi kasih sayang yang mendalam, menggugah harapan yang tersembunyi dalam hati Maudy.
Namun, Maudy menggelengkan kepalanya, wajahnya menampakkan penolakan yang tegas. “Tidak...” jawabnya dengan pelan, suaranya seperti bisikan angin yang berusaha menghalau badai.
“Kenapa?” Romeo bertanya, nada suaranya semakin menuntut. Ia memperkuat cengkeramannya di kedua bahu Maudy, tatapannya dalam dan tajam, seolah ingin menembus jiwanya. Dalam matanya, terdapat kerinduan dan kegigihan yang mencolok, seolah dia tak rela kehilangan pegangan yang masih tersisa.
“Sepertinya Tuan Romeo tidak tahu diri. Aku bukan lagi istrimu, dan stop ikut campur dalam kehidupanku!”