"Saya melihat tuan Gavin, akhir akhir ini lebih sering bertemu dengan nona Maudy!"
Kalimat yang diucapkan oleh pelayan setianya Adira telah membuat sisir yang dipegang Adira jatuh ke atas lantai begitu saja. Gadis cantik itu menatap sang pelayan kepercayaannya dengan kedua matanya yang melebar.
"Gavin sering bertemu dengan sekertarisnya Romeo?"
tentu saja Adira sangat tidak menyukai ini. Ia sudah menjadi tunangannya Gavin selama tiga tahun ini, namun laki laki itu masih saja cuek padanya. Lalu bagaimana bisa seorang sekertaris biasa itu dengan mudahnya mendapatkan perhatiannya Gavin.
"Di mana Gavin sekarang?"
Gadis itu memberikan isyarat pada sang pelayan untuk mengambilkan sisirnya yang terjatuh.
"Saya tidak tahu, Nona." jawabnya.
"Tidak tahu?" Nandini menatap sang pelayan dengan emosi.
"Maafkan saya nona. Saya akan segera mencari tahu." gadis itu segera undur diri. Jantungnya hampir copot ketika ia melihat tatapan kemarahan dari Adira. Dia sudah kerja menjadi orang kepercayaannya Adira selama lima tahun.
Dia selalu melayani gadis egois dan keras kepala itu. Ia juga tahu bahwa Adira sangat menyukai Gavin, sehingga ia meminta ke pada kedua orang tuanya untuk menjodohkan Nandini dengan Gavin.
Adira yang sebagai anak dari seorang jendral, tentu saja dengan sangat mudah mendapatkan keinginannya tersebut.
Meski sampai saat ini Gavin tidak pernah mau bertemu dengannya. Kecuali ketika ada acara resmi dan pertemuan kedua keluarga. Itu pun Gavin akan menyikapi Adira dengan tatapan dingin. Namun sayangnya Nandini tidak pernah mau menyerah.
Sementara itu saat ini maudy sedang berada di deoan rumah mewah yang kata orang lain adalah rumah ibunya bersama suami barunya. Kata pamannya bahwa ibunya itu telah menikah dengan seorang jendral. Sehingga rumah itu memang di jaga dengan sangat ketat.
"Tolong saya ingin bertemu dengan ibu Elsa." ujar Maudy, pada seorang satpam rumah megah itu.
"Maaf, kalau boleh tahu ini dengan siapa ya?' satpam itu bertanya, karena ia baru pertama kali melihat gadis itu datang ke rumahnya.
sebelum menjawab, Maudy berpikir terlebih dahulu. Jangan sampai kedatangannya membuat kebahagiaan ibunya menghilang. Beliau sudah berjuang dengan meninggalkannya, demi bisa mendapatkan kehidupan yang leboh baik dengan laki laki pilihannya. Maka ia tidak akan pernah membuat sebuah kesalahan.
"Saya .... saya adalah teman lamanya. Katakan nama saya Maudy."
Pelayan itu menatap Maudy agak lama. Sepertinya ia melhat sesuatu dari wajah jelitanya gadis itu. "Baiklah." kemudian satpam itu pun masuk meninggalkan Maudy, tanpa mau mempersilakannya masuk.
"Bu ...."
Maudy berbisik di dalam hatinya. Ia sudah merindukannya selama 18 tahun. Maudy merindukan pelukan sang Ibu. Masakan sang ibu dan senyumannya.
"Aku di sini bu ...."
maudy menahan air mata yang sudah mengnenang. Ia tidak marah dan tidak akan menuntut apapun. Ia bahagia melihat ibunya bahagia. Namun ... ibunya harus tahu bahwa Antonio kakaknya sudah meninggal.
Bu .... kakak meninggal.
"Permisi! dengan siapa ya?"
Maudy segera mengusap kedua matanya dengan cepat. Menemukan seorang perempuan yang begitu ia rindukan. Maudy tersenyum dengan kedua matanya yang memerah dan dadanya yang sesak luar biasa.
"B-bu, apa kabar?"
Maudy mendekat, namun perempuan yang maudy rinfukan itu malah menjauh dengan tatapan curiga.
"Maaf, saya tidak mengenal anda!"
Maudy mematung di tempatnya. Seharusnya ia sadar bahwa waktu telah membuatnya berubah. Begitu juga dengan Elsa, Ibunya. Beliau sudah berubah namun tetap saja Maudy masih mengenalinya.
Maudy menelan ludahnya. "Bu .... saya maudy. Maudy anak ibu." ujar maudy dengan hati hati.
Untuk selama beberapa saat, Elsa terdiam meneliti wajahnya maudy. "Maudy ...." Perempuan itu hampir mendekat, dan maudy hampir saja memeluknya. Namun
Elsa terdiam di tempatnya. Ia melihat ke arah CCTV. Ia terlihat menghela napas dalam.
"Katakan ada apa?"
Sikapnya yang berubah menjadi dingin membuat Maudy menunduk dengan menggigit bibirnya. Sepertinya kehadirannya memang sama sekali enggak diharapkan oleh ibunya itu.
Maudy tersenyum dengan air matanya yang hampir saja menetes. "Bu ... kak antonio sakit dan meninggal." ujarnya.
Maudy pikir Ibunya akan sedih seperti dirinya. Namun ...
"Oh," hanya itu. Beliau mungkin terlihat tertegun selama beberapa saat. Namun kemudian ia kembali datar. "Saya sangat sibuk. Kalau tidak ada yang harus dikatakan lagi, maka saya akan masuk."
Bu ... aku merindukan mu ...
Namun Maudy hanya bisa mengatakannya di dalam hati. Menelannya kuat kuat dengan tubuhnya yang gemetar nyaris sekarat.
"Saya permisi!" perempuan itu masuk, dan Maudy hanya mematung melihat punggung ibunya yang telah masuk ke dalam rumah megah itu.
___________________
"Mungkin ibumu sedang sibuk. Percayalah ibumu juga pasti sangat merindukan mu."
Gavin sudah menghiburnya selama satu jam, namun Maudy masih saja terdiam tanpa mau bicara.
"Tidak ada ibu yang tidak merindukan anaknya, maudy ..." kembali Gavin berkata.
Maudy mengangguk dan tersenyum menatap Gavin. Kedua mata indahnya terlihat merah. Di sana terlihat banyak sekali duka yang di simpannya. Dan Gavin merasakan itu. Perlahan ia mengusap pipi gadis itu.
"Aku akan selalu menemanimu .... kapan pun ...." bisiknya.
Maudy tersenyum. Untuk selama beberapa saat mereka saling bertatapan di dalam mobil itu. Ketika sebuah ketukan terdengar. Yang ternyata adalah Adira, tunangannya Gavin. Yang tentu saja membuat maudy segera menjauhkan wajahnya dari tangannya Gavin.
Terlihat Gavin sangat malas menghadapi Adira. Namun ia segera membuka jendela. "Ada apa?" tanya Gavin dingin.
"Ada apa, katamu? kenapa sekertarisnya Gavin ada di sini?" sinisnya.
"Oh, karena kami ada urusan kantor. Memangnya kenapa?" tanya balik Gavin dengan nada yang semakin dingin.
"Urusan kantor di jam segini?" sinis Adira.
"Aku sudah bilang, kamu jangan ikut campur dengan urusan ku. Aku ti---"
"Semua perusahaan ayah mu bisa di sita negara, kalau kamu sampai mengabaikan ku. Kamu harus ingat! uaha batu bara ayahmu tidak akan bisa berjalan tanpa campur tangan ayahku!"
Gavin terdiam mengepal eratkan kedua tangannya. Ia memang tidak berdaya jika urusannya dengan ayahnya Adira.
"Tunggu apa lagi! kamu keluar dari sini!" usir Adira, membuat Maudy mengangguk pelan. Ia hendak pergi, namun Gavin menahan tangannya.
"Ini mobilku! siapa yang mau masuk ke mobil ini harus dengan ijinku!" tegas Gavin. Mmebuat Maudy menunduk bingung dan Adira tersenyum sinis.
" Baiklah. AKu hanya perlu menelpon ayah ku saja. Maka---"
"Maudy turun! aku ingin bicara dengan mu!"
Ternyata Romeo juga berada di sana. Hal itu tentu saja membuat ketiganya kaget,
"Kak romeo ..." Gavin perlahan melepaskan tangannya.
Romeo membuka pintu mobil dan menarik tangannya Maudy perlahan. "Jangan memarahi sekertarisku!" Romeo menatap Adira dengan sengit, sekilas. Tangannya menarik tangan Maudy dengan begitu lembut. Lalu jangan lupakan tatapan dalam dan begitu memuja.
"Dia milikku!"