I

1627 Words
Ini adalah hukuman terberat bagi Atreya. Ia tidak pernah mendapat hukuman seberat ini, sejauh rekornya yang terus dihukum. Atreya mengucek pelan matanya. Alarm s**l itu sudah berbunyi sebelas kali, membuat telinga Atreya bergema tidak karauan di tambah lagi, pekikan teman satu kamarnya yang terus marah, karena alarm yang mengganggu tidur mereka. "s**l! " decaknya. Alarm pukul tiga dini hari. Inilah hukuman Atreya. Ia harus melaksanakan salat tahajud pukul tiga dini hari, jika tidak ia akan mendapatkan double hukuman. Tapi Atreya tidak peduli. Ia mengantuk dan ingin tidur. Atreya kembali merebahkan tubuhnya di kasur super kecil dan tidak empuk sama sekali. "Atreya..." Suara ketukan pintu terdengar, disusul suara decitan gagang pintu dan pintu kayu itu terbuka. "Atreya.... " suara itu makin kentara di telinga Atreya. Atreya mengabaikannya dan masih kekeh untuk tidak membuka matanya. "Woy, Tirek! " Mata Atreya langsung terbuka lebar. Itu panggilan kerennya di pasar. Atreya menoleh ke kanan ranjangnya, dan benar dugaannya terlihat Abidan dan Abimata di sebelah ranjangnya, mereka berdua berhasil membobol pintu kamar. Abidan dan Abimata adalah preman di sekitar daerah pondok. Yang kebetulan merupakan sahabat karib Atreya, sejak satu tahun yang lalu saat mereka berjumpa di pasar. Abidan dan Abimata berusia sebaya dengan Atreya, keduanya tidak lagi bersekolah karena kurangnya biaya dan tentunya minat. Mereka berdua lebih suka berkeling-keliling pasar memintai duit dari para pedagang ketimbang duduk di kelas mendengarkan para guru menyampaikan curhatnya yang membosankan. Atreya iri dengan mereka, ia ingin hidup seperti mereka, bebas ke mana pun seperti burung liar. "Ngapai kalian ke sini? " bisik Atreya sepelan mungkin, dia tidak ingin ada teman kamarnya yang mendengar atau terbangun karena suaranya. Di kamarnya ini sama sekali tidak ada yang dekat dengan Atreya. Mereka semua adalah anak pintar di pondok, samikna wa atokna, pada para ustadz dan kiyai. Mereka hampir tidak pernah mendapatkan hukuman, terutama Afkar, santri emas. Atreya mengubah posisinya menjadi duduk. "Lo bilang mau minggat hari ini, Lo lupa? " tanya Abimata. "Astaga! Gue lupa!" "Ck." Abidan berdecak. "Terus gimana Tirek!" "Gimana dong. Gue belum siap-siap. Baju gue masih basah semua." "Ah, OON LO! " sugut Abimata. "Ststsstt! Lo gilanya, suara Lo bisa bangunin anak kamar sini! Lo mau di arak satu pondok karena ketahuan masuk ke sini!" emosi Atreya. Abimata memutar bola matanya, menyadari hal bodoh yang tadi ia lakukan. "Lo seharusnya gak seceroboh gini. Lo gak tahukan kita datang ke sini dengan susah payah!" "Iya gue tahu. Gue minta maaf." "Ck. Terus Lo gak jadi minggat hari ini? " tanya Abidan. Atreya menggeleng pelan. Ia ingin minggat dari tempat bernama pesantren ini, tapi ia tidak mau meninggalkan semua baju mahalnya di sini. "Ck, ya udah, pekan depan kita bakal jemput Lo lagi kalo bisa." "Thank." "Hem. Sekarang kita cabut dulu dari sini. Takut ada uang liat kita kalo kelamaan di sini." Abimata dan Abidan hendak beranjak dari sana, tapi Atreya ingat ia memiliki sekotak rokok yang ia sembunyikan di bawah kasurnya. "Eh, kaliankan udah capek-capek datang ke sini. Mending kita ngadem dulu di atap genteng sambil ngudut. Gue punya satu bungkus rokok penuh nih." "Lo yakin, gak bakal ada yang mergokin kita? "tanya Abidan. "Tenang, di sana aman kok. Gak ada sejarahnya gue ke tangkap di situ. Itu tempat rahasia gue." "Oke kalo gitu, ayolah. Mulut gue rasanya asem banget gak ngerokok dari tadi." Ketiganya lalu berjalan, mengendap-endap ke loteng. Loteng itu memang jarang di jamak oleh penghuni pondok dan jarang mendapatkan perhatian penuh dari para ustadz pengawas. Secara letak sebenarnya loteng itu berada di tengah lingkungan pondok, hanya saja karena batang pohon beringin yang tubuh subur, menjulang ke atas hingga menutupi sekitar, termasuk Atreya, Abidan, dan Abimata yang sekarang sedang asik ngerokok di sana. "Ustadz, saya yakin Reya dan dua preman itu, ada di sana." Suara itu membuat Atreya terlonjak kaget. Itu suara milik Afkar, teman satu kamarnya yang sangat Atreya benci. "Guys, ada orang yang datang ke sini," kata Atreya cemas. "Terus kita berdua harus kabur ke mana? " Abidan bangkit, di susul Abimata yang langsung rokoknya. Atreya bingung. Dia tidak melihat celah untuk dua sahabatnya itu melarikan diri. Jika lompat ke bawah itu sangat beresiko terlebih lagi tempatnya terlalu tinggi, mereka bisa patah kaki. Atreya kebingungan, ia berjalan ke arah masuk loteng bermaksud untuk menahan ustadz dan Afkar melihat kedua sahabatnya itu. "Itu Ustadz, benarkan ada Atreya di sana," kata Afkar. "Reya, kamu ngapain di atas loteng? " "S-saya cuman..." s**l, gue jadi gugup karena hal ini—Atreya mengumpat dalam hati. "Ustadz, saya yakin Reya gak sendirian di sini. Saya liat dua pereman itu." Atreya mendelik pada Afkar. Ingin sekali ia meninju wajah si anak emas. "T-tidak, Ustadz. Saya hanya sendiri," Atreya berkelih. "Tapi kenapa kamu gugup? "selidik ustadz. "Saya gugup, karena—" "Ayo kita periksa aja langsung Ustadz. Reya gak akan berkata jujur." Ustadz setuju. Atreya gugup. Ia takut jika kedua temannya tertangkap. Atreya mencoba menghalangi ustadz dan Afrak tapi mereka berdua memaksa naik. Atreya memalingkan wajahnya. Mereka tertangkap. "Tidak, ada siapa pun di sini," suara Afrak terdengar kecewa. Atreya mengembalikan pandangannya. Atreya sama kagetnya tidak melihat siapa pun di sana. Ia tersenyum menang. "Apa-apaan ini Reya. Kamu merokok lagi? Jadi kamu sering ngerokok di sini?! " Suara ustadz menggema di malam hening. Atreya tersenyum. "Seperti yang Ustadz Ismail liat. Jadi apa hukuman yang akan saya dapat, Uss?" Ismail mendesah kesal. "Turun ke bawa. Kamu harus salat tahajud sepuluh rakaat plus tadarus sampai 30 juz. Ustadz tunggu di bawah." "Siap, Ustadz. Ustadz Ismail turun, meninggalkan Atreya dan Afkar di sana. "Lo kalah anak emas! "ejek Atreya. "Saya tidak kalah. Saya tahu semua rencana kamu. Saya akan menggagalkan semua rencana kamu." "Lo ngancam sahabat kita? " Terlihat Abimata dan Abidan keluar dari persembunyiannya. Afkar kaget bukan main, ia ingin berteriak memanggil ustadz kembali, tapi suaranya terhenti karena Abimata sudah mengalungkan tangannya di leher Afkar. "Masih berani teriak? " tantang Abimata. Afkar mendengus, menatap tajam ketiganya. "Kamu pikir saya takut!! " "Gue gak berpikir begitu. Tapi gue tahu Lo cukup pintar buat gak teriak." Afkar melepas kasar lengan Abimata dari lehernya. "Kali ini kalian menang, tapi lain kali saya yang akan menang. Ingat itu. Kebenaran tetap berjaya." "Masa bodoh!" sahut mereka bertiga, membuat Afkar makin dongkol saat meninggalkan ketiganya. "Dasar si anak emas!" umpat Atreya, geram atas apa yang sudah Afkar lakukan. Sejak dulu, mereka memang saling membenci. Afkar yang selalu ingin unggul dan Atreya yang selalu membuat onar membuat Afkar sangat kesal. Reputasinya sebagai ketua kelas, benar-benar dipertaruhkan karena ulah Atreya. *** Atreya menyelesaikan tadarusnya. Ia langsung telentang seolah tidak berdaya di ubin yang berlapis karpet merah. Atreya menarik nafas sebanyak yang dia ingin. Rasanya sejak tadi ia tidak bernafas dengan benar, karena ingin cepat-cepat menyelesaikan tadarusnya. "Gimana hukumannya? " Afkar tersenyum mengejek. " Alhamdulillah. Saya sudah banyak dapat pahala hari ini. Si anak emas pasti tahu, satu huruf Al-Qur'an mendapat 10x pahala, coba bayangi tiga puluh juz berapa huruf? " Senyum Afkar seketika menghilang. Atreya kembali memejamkan matanya, menikmati udara sepoy-sepoy dari luar masjid. "Di kamar ada paket buat kamu, dari orang tuamu," kata Afkar. Seperti biasa, respon Atreya tidak bahagia sama sekali mendapat kiriman dari orang tuanya seperti yang lain. "Kasih saja dengan yang lain." "Kenapa kamu jadi nyuruh saya! Kamu tuh seharusnya bahagia, orang tua kamu udah susah payah buat kirim paket ke sini, tapi kamu gak menghargai sedikit pun. Orang tuanya baik. Heran deh kenapa bisa punya anak kayak kamu." "Shut up! " teriak Atreya. Ia langsung bangkit, mengubah posisinya menjadi berdiri, menantang Afkar. "Kenapa? Bukannya yang saya katakan benar? " Afkar balas menatap tajam Atreya. "Kamu tidak tahu apapun tentang saya! Jangan sok tahu! " "Kamu pikir saya takut sama kamu? Selama ini saya selalu menahan diri. Kamu selalu berbuat ulah dan membuat kerusuhan. Kamu pikir, kamu hebat?!" "Kamu pikir kamu hebat?! Kamu yang selalu ngurusin urusan saya!" "Saya ngurusin kamu, karena tingkah kamu bisa berdampak ke image angkatan kita." "Image angkatan atau image kamu sebagi ketua angkatan? " Atreya tertawa mengejek. "APA MAKSUD KAMU! " Afkar tersulut emosi. "Eh, biasa aja ya, gak usah nge-gas!" "Jadi begini sikap seorang santri? " suara itu bersamaan dengan tepuk tangan gemuruh. Membuat Atreya dan Afkar menoleh ke sisi kanan masjid, menunggu siapa pemilik suara itu. Terlihat sosok pria muda berusia sekitar dua puluh lima tahun, berjalan ke arah keduanya. Pria itu menggunakan peci dan gamis putih. Raut wajahnya terlihat sangat bersahaja. Afkar dan Atreya menduga itu ustadz baru di pondok, karena sebelumnya mereka tidak pernah bertemu dengan sosok itu. Saat sudah berada di hadapan Afkar dan Atreya, pria itu tersenyum. Senyumnya seperti menghipnotis. Afkar dan Atreya menunduk, merasa bersalah. "Apa kalian tidak tahu kalo ini rumah Allah SWT? Kenapa kalian malah bertengkar di sini ?" "Maaf, Ustadz. Saya sebenarnya tidak bermaksud bertengkar di sini. Saya hanya menanyakan soal kenapa Atreya tidak mau menerima paket dari orang tuanya. Saya hanya bertanya itu, dan Atreya malah marah." "Eh hayuannas! Enak aja Lo salahin gue! Wajarlah gue marah, Lo duluan yang mancing! " Pertahan Atreya runtuh. Mulutnya tidak kuasa untuk menahan kalimat 'bar-bar'. Kata 'gue-lo' adalah kata terlarang di pondok. Kata itu terdengar sangat kasar menurut sebagian mayoritas santri di pondok. Biasanya Atreya hanya menggunakan kata-kata itu saat bersama Abidan dan Abimata. "Tuh liat, Ustadz. Dia aja pakai bahasa gitu." Afkar kembali mencari kesalahan Atreya. "Kalian jangan bertengkar terus. Coba biasa diri kalian untuk berbaikan, mungkin hal itu akan berguna di kemudian hari." "Maksud ustadz? “ "Saya bukan ustadz." "Terus antum ini siapa? " tanya Atreya. Meow. Suara kucing mengalihkan perhatian keduanya. Keduanya menoleh. Ada kucing kecil yang lucu. Afkar jadi tergoda untuk mengajaknya main. Atreya masih penasaran dengan pertanyaan yang ia ajukan tadi, Atreya mengalihkan pandangannya. Ia kaget melihat cahaya putih tiba-tiba memenuhi matanya, Atreya reflek menjadikan tangannya sebagai tameng agar tidak silau. Perlahan cahaya itu hilang dan semua seolah tidak terjadi apa pun. Bahkan pria muda yang mereka kira ustadz baru juga tidak ada di sana. "Ustadz tadi cepat banget jalannya," gumam Atreya, bingung. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD