"Biasanya, demi menutupi kebohongannya, seseorang akan lebih dulu marah pada kita. Tujuannya, agar kita merasa bersalah telah membuatnya marah. Ya, orang yang merasa bersalah dan takut kebohongannya terbongkar, dia akan mengubah persepsi lawan bicaranya."
Aku mendengar Naya berbicara lewat telepon dengan temannya. Tapi apa yang dikatakan wanita itu sama persis seperti yang aku alami pagi tadi bersama Abi. Seharusnya dalam dialog tadi pagi, aku yang marah padanya karena melihatnya bersama dengan wanita lain. Tapi pria itu justru marah-marah padaku, dan menuduhku melakukan hal yang tidak-tidak dengan Ben. Astaga! Ben. Dia tahu, Ben siapa.
Apa yang dikatakan Naya pasti benar. Dia sudah belajar lebih dari lima tahun tentang kepribadian manusia. Pasti sedikit banyaknya dia tahu.
"Kau ingat, pria berkaca mata yang tiba-tiba meminta no ponselku?" Vivi bertanya. Aku nyaris lupa kalau dia ada di hadapanku.
"Ya," jawabku tidak begitu bersemangat. "Aku ingat pria berkaca mata itu."
"Ternyata dia sepupunya Christian." Jawab Vivi dengan membulatkan matanya. "Dia tahu sandiwaraku bersama dengan Christian."
Aku menegakkan tubuhku. Sudah lebih dari dua tahun, Vivi dan Christian menjalani pernikahan palsu. Demi Christian yang tidak mau dijodohkan dengan wanita pilihan ibunya. Dan Vivi, demi melunasi utang piutangnya. Sekarang Vivi bebas merdeka tanpa utang. Dan Christian pun sudah tidak dipaksa menikah oleh orang tuanya. Namun sekarang mereka seolah terjebak dengan permainan yang mereka buat.
"Kau tidak ada niat untuk mengakhiri semuanya?"
"Apa?" Vivi memiringkan kepalanya. "Aku dan Christian tidak punya alasan untuk mengakhiri pernikahan ini."
"Maksudku, bukan diakhiri pernikahannya. Tapi, sandiwaranya. Kalian tidak ingin benar-benar saling mencintai dan menyayangi selayaknya sepasang suami istri? Ya, kalian kan menikah resmi, jadi apa salahnya perasaan kalian juga diresmikan."
Vivi memusatkan seluruh perhatiannya padaku. Kemudian mengerjapkan mata berkali-kali. Dan detik berikutnya dia tertawa. Yang awalnya cuma kekehan kecil, berubah menjadi ledakan tawa.
"Apa kau bilang? saling mencintai?" Vivi menyemburkan tawa meremehkan. "An, Christian itu bukan tipe pria yang mau menjalin hubungan dengan wanita pada umumnya. Apalagi wanitanya adalah aku. Aku ini bukan tipenya. Sudah, sudah jangan mengkhayal." Vivi mengibaskan tangan padaku, seperti aku seekor lalat pengganggu.
"Naya bilang-"
"Jangan percaya apa kata Naya. Dia itu psikiater gadungan." Vivi memotong kalimatku.
"Tapi apa yang dia katakan itu memang benar, Vi. Ketika kita jatuh cinta, semua yang ada dalam daftar pasangan idaman tidak lagi berfungsi."
Vivi mengedikkan bahunya. Seolah tidak peduli, tapi raut wajahnya memperlihatkan kalau dia kepikiran juga dengan apa yang aku katakan.
Pintu toko terbuka. Dan yang masuk adalah driver ojek online yang akan mengantar pesanan. Pria ini sering sekali bolak-balik ke toko untuk mengantar pesanan.
"Silakan, di sini, Kak." Ucap Lidia. Ya, aku kembali menghubungi Lidia untuk bekerja lagi denganku. Dan beruntung, dia sedang tidak ada pekerjaan, jadi dia menerima dengan sangat bahagia.
"Mbak, ada yang komplain." Celetuk si driver.
"Komplain apa?" tanya Vivi.
"Katanya kuenya kecil."
"Yee.. Namanya juga mini pie. Pasti ukurannya kecil. Kalau mau yang besar order yang jumbo pie." Ucap Naya yang tiba-tiba nimbrung.
Si driver terkikik. "Oke, nanti saya sampaikan."
"Gitu dong." Naya menepuk pundak si driver.
Komplainan seperti ini memang ada-ada saja. Bahkan ada yang komplain lebih tidak masuk akal. Katanya dia langsung naik berat badan setelah makan kue pie dari toko ini. Jelas lah, dia makan pie 10 box sekaligus. Bagaimana tidak bisa naik berat badan kalau begitu.
Tapi yang seperti itu, tidak pernah aku ambil pusing. Kritikan, komplain, masukan baik dan buruk kami tampung semua.
"Hai!"
Duh si heboh datang. Fay muncul bersama dengan Nessa. Membawa tentengan belanjaan yang banyak. Habis dapat bonus sepertinya.
"Wah, abis gajian, nih?" tanya Vivi antusias.
"Tuh, Nessa dapat bonus besar. Bisa buat modal kawin." Celetuk Fay. Menunjuk Nessa dengan dagunya. Tapi wanita Solo itu tampak tidak bersemangat.
"Wih, traktir doong." Naya menggelayuti Nessa.
"Tuh, minta traktir sama Ibu bos saja, suaminya dapat bonus lebih besar." Tunjuk Nessa padaku.
"Masa, sih?" aku menyipit. Aku serius dengan pertanyaanku. Tapi mereka menanggapinya seolah aku sedang bercanda. "Aku belum tahu soal bonus."
"Kebutuhan Ana tuh sekarang banyak. Jadi, dia tidak akan buka-bukaan soal pendapatan." Ucap Vivi.
Sedangkan aku tersenyum getir. Jujur, aku sama sekali tidak diberi informasi apa-apa soal bonus oleh Abi. Jadi, bukannya aku tidak mau buka-bukaan. Aku hanya ingin berpikir, kenapa Abi tidak jujur soal keuangan. Selama ini aku tidak pernah menuntut apa-apa darinya soal uang. Aku menerima berapapun yang Abi berikan padaku. Lagipula aku bersyukur, dia sudah mencukupi semua kebutuhanku. Tapi, kenapa dia tidak jujur saja.
Dia semakin aneh. Dan bukan seperti dirinya. Atau mungkin aku yang tidak terlalu mengenalnya selama ini. Aku melipir dari kerumunan para sahabatku menuju dapur. Dapur memang selalu menjadi tempat pelarian yang pas.
***
Aku bersandar di dinding dekat jendela, di dapur. Merenungi semua keanehan Abi sejak kemarin. Aku baru menyadari, kalau akhir-akhir ini, suamiku agak sedikit berubah.
"Ada masalah?" aku menoleh ke sumber suara. Fay berdiri di sampingku.
Dari semua sahabatku, dia memang yang paling sensitif. Dia tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Aku hanya tersenyum sebagai tanggapan.
"Urusan finansial itu privasi. Kalau kau tidak mau bicara, tidak masalah."
"Oh, tidak. Bukan itu maksudku." Sergahku cepat. "Aku hanya... ada sedikit yang tidak beres."
"Dengan?"
Aku tidak tahu, apakah aku harus bertukar cerita tentang masalah ini pada Fay atau tidak. Karena sekarang, Abi adalah suamiku. Sudah sepantasnya baik dan buruknya ku simpan rapat, jangan sampai orang lain mengetahuinya. Aku juga sudah memberikan ultimatum pada Ben, untuk tidak menceritakannya pada siapapun. Sekarang malah aku ingin cerita pada Fay.
"Apa ada hubungannya dengan makan siangmu dengan Ben, kemarin?" tanya Fay penuh selidik.
"Emm.. ya, tapi ini tidak ada hubungannya dengan Ben."
"LaLu?" Fay menegaskan pandangannya padaku. Lalu aku mengusap wajahku. "It's okay, An. Aku tidak masalah kalau kau merasa tidak nyaman untuk bertukar cerita."
Aku memandang Fay, sambil menggigit bibir bawah ku. Mempertimbangkan sesuatu. Tapi ini Fay. Dia bisa jaga rahasia.
"Aku melihat Abi bersama dengan seorang wanita," ucapku pelan. Merasa tidak yakin kalau harus memberitahu tahu Fay. "Aku juga menemukan tiket parkir di sebuah mall di jam kerja. Dan dia akhir-akhir ini agak aneh." Aku merasa was-was. "Tadi pagi aku bertengkar dengannya karena masalah Ben mengantar Rey ke sekolah."
"Kau sudah tanyakan semua itu pada Abi?"
"Belum," jawabku. "Aku.. takut."
Fay menghadapkan tubuhnya padaku. Memandangku intens. Biasanya reaksi dia biasa saja, atau menanggapinya dengan candaan. Tapi kali ini lain. Dia lebih serius. Dan reaksinya membuat aku takut.
"Tanya," katanya. "Dia suamimu. Kau berhak tahu dengan siapa suamimu berteman."
Lanjutnya dengan nada bicara yang kudengar menyeramkan.
"Aku hanya takut, kalau kenyataannya yang aku cemaskan semuanya benar." Aku mengernyit. Menyecap rasa ludah yang berubah pahit. "Bagiku, dalam rumah tangga ku dengan Abi, perselingkuhan menjadi urutan paling akhir dalam daftar rusaknya pernikahan. Aku yakin, Abi bukan pria seperti itu." Kembali aku menatap sorot mata Fay. "Tapi kurasa semua orang bisa saja berubah. Dan mungkin... Aku juga sudah tidak menarik lagi di matanya."
"Semua akan terlihat tetap sama. Kalau kita hanya memandang dan fokus pada satu nama." Ucap Fay. "Seharusnya itu yang kau pastikan. Apakah hati suamimu masih milikmu?"
Aku tertegun menatap Fay. Kalimatnya membuatku kemudian berpikir keras. Aku hanya takut saja, bagaimana kalau seiring berjalannya waktu, cintanya padaku telah sirna. Dan yang dia lakukan padaku hanyalah sebuah tanggung jawab. Bukan cinta.