Bandung, Lembang.
Seperti halnya pengantin pada umumnya, aku ingin sesuatu yang beda untuk acara pernikahanku. Tapi sebuah ide gila yang muncul di kepala Abi secara tiba-tiba membuat aku menyesal memberi dia saran dan dengan cepat aku menolaknya mentah-mentah. Aku tidak ingin ambil risiko dengan melakukan terjun payung bersama di acara resepsi pernikahanku. Walau dia belum pernah melakukannya, tapi bukan berarti sekarang adalah waktunya. Bagaimana jika pendaratannya tidak semulus yang dibayangkan. Bagaimana jika di atas udara sana talinya putus, atau hal buruk lainnya terjadi diluar dugaan.
Jadi, aku memutuskan untuk tidak melakukan hal-hal aneh di acara pernikahanku. Aku hanya ingin resepsiku diadakan di halaman rumah bi Endah yang cukup besar, yang menghadap langsung ke kebun teh dengan konsep kinfolk wedding. Aku tidak perlu mendesain pelaminan dengan buket bunga, cukup dengan raw material, pernikahanku lebih menyatu dengan alam.
Tenda-tenda makanan terbuat dari ranting-ranting pohon yang dihiasi oleh tanaman merambat tanpa bunga. Untuk tempat duduk para tamu, aku menggunakan bangku kayu warna cokelat.
Dan untuk busana pengantinnya hanya ada satu. Aku memakai kebaya warna gold dengan kain yang menjuntai panjang. Sementara Abi mengenakan setelan jas berwarna senada. Mungkin semua terlihat sederhana, tapi begitu sangat sakral.
Rey berlari ke sana kemari sambil membawa keranjang berisi buah stroberi yang dia petik kemarin di kebun bi Endah. Tapi tidak mau membaginya dengan siapa pun. Namun sifat pelitnya berubah saat dia bertemu dengan seorang gadis kecil bernama Jingga, anak pertama Adit.. Rey dengan sukarela memberikan satu keranjang berisi buah stroberi kepada Jingga lalu tersenyum malu-malu.
Saat acara potong kue pengantin tiba, Rey dan Jingga ikut bergabung bersama kami. Rey ingin bagian kue yang paling banyak. Dia sangat tidak mau melewatkan sedetik pun kalau urusan makanan. Setelah aku memotong kue dengan simbolis, pemandu acara besorak riang sambil memerintahkan kami untuk melakukan sesi ciuman ala pengantin. Dan dengan sangat tidak malu-malu Abi memberikan kecupan singkatnya di bibirku dan berakhir di dahiku yang dia lakukan agar sedikit lama.
Namun kekacauan sepertinya tidak bisa berhenti mengganggu hidupku. Tanpa bisa dicegah, tiba-tiba Rey mendekat ke arah Jingga, memegang kepala bocah kecil itu kemudian menciumnya tepat di bibir. Jingga yang tidak siap dengan serangan mendasak dari Rey, melempar keranjang berisi stroberi hingga isinya berjatuhan. Dengan tidak adanya keseimbangan tubuh, Rey dan Jingga terjatuh hingga keduanya masuk ke dalam kolam ikan yang untungnya berukuran kecil dan tidak dalam. Lalu sedetik kemudian terdengar suara tangisan yang memecahkan seluruh acara pernikahanku. Astaga!
Abi dan aku segera berlari menuju mereka, Abi mengangkat Rey yang tercebur ke kolam, dan Adit segera membawa Jingga yang menangis dari kolam. Sementara aku, meringis melihat keadaan mereka yang basah kuyup. Bukannya merasa bersalah, Rey justru melempar tawanya pada Jingga yang menangis di gendongan Adit.
Dan siapa yang bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi. Dan kurasa aku harus meniru tante Rina. Menyewa tabung oksigen ke mana-mana untuk menghabiskan sisa waktuku bersama Rey.
Kulihat tim dari miss Joana terpana menatap keributan yang terjadi di depan mata mereka. Rina, memegangi kepalanya sebelum dia berlari tunggang langgang dari tempatnya berdiri menuju pelaminan untuk menyelamatkan setumpuk kue pengantin yang mejanya nyaris terjungkal. Dan aku langsung nengagumi ketangkasan nya dalam menahan meja kue tersebut di waktu yang tepat.
Fay datang membantu, muncul dari semak-semak belakang pelaminan bersama dengan Rafael. Tidak perlu dipertanyakan apa yang baru saja mereka lakukan di kebun orang. Tentu saja bercocok tanam. Apalagi.
"Aku sudah menduga kalau hal ini akan terjadi." Ucap Fay setelah Rani pergi.
"Rambutmu-" Aku menunjuk rambutnya yang tergerai kotor oleh rerumputan kering. Fay segera menyeka kepalanya. Dan mengibaskan rerumputan serta daun-daun kering yang ada di kepalanya. "Aku tidak menyediakan bermain selancar di acara pernikahanku. Apalagi di kebun stroberi atau teh."
"Oh, bukan apa-apa." Katanya. Lalu mengusap gaunnya yang mempertontonkan punggungnya yang indah. "Rafael agak sedikit... Ya, begitulah. Jadi, agak susah mencari tempat persembunyian."
"Kau melakukannya dengan gaun seperti ini?"
"Ini memang dirancang secara khusus." Jawabnya.
"Untuk?"
"Untuk segala sesuatu yang mendesak."
***
"Rey sudah tidur?"
Aku merebahkan diri diatas kasur yang kamarnya di dekor sebagai kamar pengantin.
"Sudah, tidur dengan Jingga di kamar bi Endah."
"Sepertinya, Rey akan mengalami pubertas lebih dini dibanding usia normal."
Abi tertawa lalu naik ke atas tempat tidur dan merebahkan kepalanya di pahaku. Tanganku mengusap rambutnya yang setengah basah.
"Anak-anak jaman sekarang seakan tumbuh lebih cepat dari biasanya. Aku berani bertaruh, sebelum aku bisa menyadari perkembangan Rey, anak itu pasti sudah lebih tinggi dariku. Dan disaat itulah aku harus dihadapkan dengan sesuatu yang selalu jadi mimpi burukku. Membeberkan identitas Rey."
"Walau bagaimana pun, dia tetap menjadi anakmu." Aku mendaratkan kecupan di dahi Abi. "Anak kita."
"Aku tidak bisa membayangkan apa reaksinya nanti."
"Jangan dibayangkan sekarang. Kita pasti bisa melewatinya bersama-sama."
Untuk beberapa saat, Abi hanya menatap langit-langit kamar, sebelum akhirnya dia mengulurkan tangannya membelai rambutku hingga tengkuk dan menariknya sampai dia bisa menggapai bibirku. Tanpa diperintah, aku segera membalas ciumannya, mencengkeram kausnya demi menahan tubuhku yang membungkuk. Sadar bahwa posisi kami memang tidak nyaman, dia menarik pinggangku hingga sekarang akulah yang ada di pangkuannya.
"I love you." Suaranya begitu lirih menyapu permukaan bibirku.
Aku tersenyum. "Aku sudah tahu."
"Hanya mengingatkan, kalau-kalau kau lupa."
"Kalau begitu, aku juga."
"Apa?"
"I love you."
Kami tertawa bersama sebelum kami kembali melakukan aktifitas yang memang sudah seharusnya kami lakukan sebagai pasangan pengantin baru. Kali ini tidak ada teori Naya yang setengah badan. Tapi teori Fay yang mendominasi. Jangan setengah jalan, dan teruskanlah.
***
"Jadi anak baik, tidak boleh jahil pada temanmu."
Aku berjongkok di hadapan Rey sambil mengusap rambutnya yang lembut, menguarkan aroma sampo wangi di udara. Minggu kemarin gurunya melaporkan bahwa Rey mendorong temannya hingga hidungnya berdarah.
"Itu karena aku tidak suka Jordi. Dia bilang, kalau ibu tiri itu jahat, dan Jordi mengatakan kalau Mami jahat."
Memang sih temannya Rey yang bernama Jordi keterlaluan. Aku juga tidak habis pikir bagaimana bisa seorang anak kelas 1 SD berpikir tentang ibu tiri, kemudian menghasut temannya sendiri.
Tapi aku hanya bisa tersenyum menanggapi celotehannya. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Sayang, anggap Jordi tidak tahu apa-apa. Yang bersama Mami itu kau, bukan Jordi. Apa menurutmu Mami jahat?"
Setelah aku resmi menikah dengan Abi, Rey mengganti nama panggilan yang mulia ratu menjadi mami.
"Mami baik sekali, tidak jahat." Aku kembali membelai rambut Rey dan kali ini mendaratkan kecupan di pipi Rey. "Kalau begitu, jangan dengarkan apa kata Jordi. Kau hanya perlu fokus pada pelajaran. Oke?"
"Tapi,"
"Ingat apa kata ayah, seorang prajurit tidak pernah membantah dan tidak boleh lemah." Walau masih terlihat terpaksa akhirnya dia mengangguk juga. "Oke, pulang sekolah, Rey dijemput oleh uncle Ben, katanya dia mau mengajak Rey jalan-jalan."
Wajahnya yang tadinya muram kini berubah drastis. "Assiikk. Aku mau beli alat menggambar yang baru."
Aku kembali tersenyum. "Kalau begitu masuk kelas. Mami pulang."
"Mami." Rey menarik dressku. "Aku belum mencium adik kecil yang ada di perut Mami."
Aku kembali merendahkan tubuhku hingga posisiku sejajar dengan Rey. Tangan Rey mengusap perutku yang membesar.
"Aku belajar dulu, jaga Mami baik-baik." Ujar Rey serius. Seolah-olah dia memang sedang berbicara dengan seseorang dalam bentuk nyata.
"Kapan adik kecil lahir?"
Aku mulai menghitung. Menurut dokter kemungkinan satu minggu lagi aku akan melahirkan. Namun saat Rey menarik tangannya dari perut buncitku, tiba-tiba aku merasakan sesuatu yang bergejolak di dalam perutku. Aku meringis merasakan perutku yang mendadak sakit. Ini kenapa? Kenapa sakit sekali.
Aku harus sampai berpegangan pada bahu Rey, dan mencengkeramnya kuat. "Rey, perut Mami sakit sekali."
"Mami, apa adik kecilnya akan lahir?"
"Sepertinya." Aku tidak mampu lagi untuk bicara. "Ahh." Aku jatuh terduduk di tanah sambil menahan luar biasa rasa sakit di perutku.
"Mami! Tolong! Mami mau mengeluarkan adik kecil!"
***
Anakku lahir ke dunia jauh dari perkiraan. Sejak awal aku diperiksa ke dokter, dokter mengatakan bahwa jenis kelamin anakku adalah perempuan, namun yang lahir ke dunia adalah jenis kelamin laki-laki. Ya, tidak ada seorang pun yang mampu menguak rahasia Yang Maha Esa.
Seketika aku terperanjat saat pintu ruang inapku menjeblak terbuka lebar. Abi masuk dengan pakaian kerjanya yang sudah tidak beraturan bentuknya.
Tante Rina -ibu mertuaku- sampai berdiri dari sofa dan memaki kelakuan Abi yang tidak sopan. Om Toni hanya bisa tertawa melihat pemandangan ibu dan anak yang sedang berdebat.
"Katanya satu minggu lagi baru lahiran, kenapa jadi sekarang?"
"Siapa yang kau bantah? Kuasa Tuhan?"
Tante Rina sudah pasang badan di depan Abi. Namun Abi hanya bisa menghela napas, lalu dengan hati-hati menggendong bayi kecil kami.
"Ayah, adik kecilku belum punya nama." Rey yang berdiri disampingku lompat-lompat di tempat.
"Ayah sudah punya nama untuk adikmu."
"Assiik, namanya siapa?"
"Namanya Rubi Arlian Sasongko." Jawab Abi sambil mengecup pipi bayi kami. "Kau bisa memangilnya dengan Rubi."
"Atau Rub?" Ucap Rey antusias. "Atau Rob? Bukankah itu terdengar keren? Seperti nama seorang superhero. Robbin Hood."
Superhero lagi.
"Rob juga bagus." Aku ikut menimpali.
"Kalau Rob, nanti orang mengira namanya adalah Robi, bukan Rubi." Protes Abi.
"Tapi, Rob keren, Ayah." Ujar Rey.
"Ya, aku setuju. Rob terdengar lebih maskulin. Aku setuju dengan Rey."
"Tapi,"
"Kalau ada yang bertanya, tinggal katakan saja, namanya Rubi, tapi panggilannya Rob."
Kali ini tante Rina ikut di kubu Rey dan aku.
Kulihat Abi berdecak kesal karena merasa tidak ada yang mendukung. Tapi aku tahu dia tidak bisa membantah lebih. "Terserah sajalah. Asal kalian bahagia."
Ya, sepertinya kami akan bahagia. Walau kami tahu akan selalu ada hal buruk yang siap menghadang jalan kami di depan sana. Namun rasanya aku lebih siap karena ada Abi, pria yang membuat aku selalu jatuh cinta berkali-kali padanya dan selalu akan bersamaku. Hari ini, esok dan semoga selamanya.