Abi keluar dari ruang rawat inap Sera, kemudian menutup pintu dan terkejut melihatku. Aku menggosok telapak tanganku, menghilangkan rasa kebas yang tiba-tiba muncul. Pria itu menundukan kepalanya seraya berjalan ke arahku, kemudian duduk perlahan di sampingku.
Dia membungkuk sedikit, menumpukan kedua tangannya di dagu. Aku menatapnya dari samping. Merasa ragu hanya untuk sekadar bertanya. Abi tercenung memandang lantai keramik putih rumah sakit. Wajahnya jelas sangat kusut. Ekspresi tengil, seringaian jahilnya seolah sirna. Dia sedang menghadapi mendung. Atau bahkan lebih parahnya lagi, hujan badai. Aku berharap bisa jadi tempatnya berteduh.
Aku menoleh sebentar pintu ruang rawat Sera. Pintunya tertutup rapat. Dan wanita itu mungkin sedang terbaring sendiri di dalam. Aku menghela napas. Berusaha mengabaikan situasi yang canggung. Pria itu mengusap wajahnya.
"Rey belum sadarkan diri." Ucapnya pelan di tengah-tengah keheningan yang mencekam. "Dia kehilangan banyak darah." Dia kembali menundukan kepalanya, menguburkan wajahnya di kedua telapak tangan. Aku bisa melihat kedua pundaknya bergerak.
Seperti mengulang kembali ingatan beberapa tahun yang lalu. Aku juga duduk di bangku tunggu, berharap cemas tentang kesembuhan ayah. Dan saat secercah harapan itu masih ada, kemudian Tuhan merenggut segalanya. Setitik harapan itu. Tapi, aku bisa kembali bangkit. Saat ini, Abi pasti masih terguncang hebat. Aku tahu itu.
"Saat ini, kau satu-satunya orang yang Rey punya. Dan sekarang, dia sedang berusaha untuk kembali pada ayahnya. Aku tahu ini sulit, tapi aku harap kau bisa kuat, untuk menguatkan Rey." Aku tidak tahu apakah dia akan mendengar atau tidak.
Abi menarik napas sehingga dadanya membusung. Kemudian berpaling menatapku, berusaha memberikan senyumnya walau kaku. Sepertinya dia perlu pulang, mandi dan istirahat.
"Ya," dia mengangguk. Kemudian kaget, dia menyentuh tanganku lalu meremas nya. "Kau benar," Ucapnya. "Aku harus kuat untuk menguatkan Rey. Aku minta maaf karena sudah berpikir yang tidak-tidak padamu."
Senyum getirkupun mengembang. "Tidak apa-apa." Jawabku. "Sera.. Bagaimana keadaannya?"
"Dia harus dirawat beberapa hari di sini. Dia juga perlu mengonsultasikan diri pada psikiater secara rutin." Abi menggeleng. "Dia mau diobati, asal aku temani dia."
Kalimat terakhirnya sukses mengunci mulutku. Aku mendadak buta aksara, dan jadi gagu. Mataku terpaku menatapnya. Wanita itu pintar sekali memanfaatkan keadaan. Abi pasti setuju dengan permintaan Sera.
Abi balas menatapku. Dari sorotan matanya jelas sekali dia menanti aku untuk berbicara. Tapi aku cukup malas untuk menimpali. Memangnya aku harus bicara apa. Melarang dia untuk menemani Sera? Atau menyetujui dan mendukung gagasan itu? Pilihan kedua sama sekali bukan pilihan. Walau itu hanya satu-satunya. Tapi terang-terangan melarangnya juga tidak mungkin.
"Aku mau pulang." Ucapku pada akhirnya, setelah aku bergelut dengan pikiranku sendiri. Raut wajah Abi tergambar kecewa. Aku harap dia mengerti kalau aku agak sedikit tidak setuju. Mungkin tidak sedikit, tapi banyak. Seharusnya sih dia mengerti. Dia kan berbakat jadi cenayang.
Saat langkahku mulai menjauh, pria itu memblok jalanku.
"Please." Lirihnya.
"Apa?" Kataku agak kesal.
"Aku tidak punya pilihan, An."
Aku menatapnya dalam. Lalu memalingkan wajahku, merasa jengah. Apa yang dia katakan tidak masuk diakal. Kalau memang dia sudah tidak menaruh hati pada wanita itu, tidak akan sulit baginya untuk meninggalkan, apapun risiko yang dia dapat.
"Ya, kalau begitu jaga dia baik-baik." Tandasku tajam. Aku sengaja menekankan di setiap katanya. Memasang wajah angkuh di hadapannya. Tapi mataku pedih nyaris berair.
"Kalau kau begini, itu artinya kau membiarkanku kehilangan Rey."
"Kau tidak perlu kehilangan Rey." Rahangku mengeras. Aku merasakan air mataku sudah menganak. "Lebih baik aku yang pergi. Dan memang seharusnya aku tidak ada di sini. Seharusnya sudah sejak lama aku menghilang."
Berakhir. Lucu sekali. Apa yang perlu kami akhiri, bahkan kami belum memulai apa-apa. Aku sudah kalah telak oleh wanita itu. Dia memporak porandakan hidupku. Aku sudah rugi banyak.
Tidak ingin berdebat lagi karena terlalu lelah. Aku putuskan pergi dari hadapannya, dengan meninggalkan wajah yang amat kesal. Dia berhasil menorehkan luka di hatiku, tapi aku gagal membencinya. Dan mungkin tidak akan pernah bisa.
Aku mengatupkan bibir kuat-kuat, berencana untuk menahan air mata agar tidak rembes, sambil berjalan hampir berlari. Karena kepalaku menunduk tidak melihat jalan, aku menubruk seseorang. Dari sepatunya aku bisa tahu siapa orang itu.
"Aku diperintahkan oleh sepupumu untuk datang ke sini."
Katanya, sebelum aku bertanya untuk apa dia ada di sini. Aku tidak bisa berpikir apa-apa lagi saat kulihat Abi mendekat. Jadi, ku tarik tangan Rama dan membawanya keluar dari rumah sakit terkutuk ini. Kuharap dia tidak mengejar. Aku benar-benar tidak ingin bicara.
Aku melepas pegangan ku di tangan Rama saat kami sudah berada di luar rumah sakit. Kemudian menghela napas merasa sedikit lega.
"Ke sini naik apa?"
"Mobil." Jawabnya. "Tunggu di sini saja."
Lalu Rama berjalan ke arah tempat parkir mobil. Tak berselang lama sebuah jip hitam berhenti di depanku. Rama menganggukkan kepalanya memberi tanda padaku untuk masuk. Setelah mobil jip ini melaju, aku melihat pantulan bayangan Abi di kaca spion berdiri di sana melihatku pergi.
"Mau mampir makan atau.."
"Pulang saja." Potongku. Aku tidak ingin ke mana-mana. Aku hanya ingin pulang.
Dalam perjalanan dari rumah sakit, kami habiskan dalam diam. Aku tidak ada semangat hanya untuk bicara. Rama pun mengerti. Dia hanya nyetir tanpa bicara sampai mobil ini terparkir di pelataran rumah bi Endah.
"Thanks,"
Aku tersenyum kecil sebelum turun dari mobil.
***
Aku dikejutkan dengan kedatangan Naya dan Nessa. Jadi, semua sahabatku berkumpul di rumah bi Endah. Mereka tertawa sambil melempar kulit kacang yang sedang mereka makan. Ada Adit dan Jingga juga di sana. Mereka terlihat akrab walau mereka baru pertama kali bertemu.
"Ada pesta apa ini?" Mereka terinterupsi oleh kedatanganku. Tawa mereka seakan lenyap seketika.
"Bang, kuncinya." Rama masuk lalu meletakan kunci mobil di atas meja. "Saya pamit, Bang. Nanti saya kabari kelanjutannya."
"Oke, thanks, Ram. Nanti saya telepon." Tempat Adit.
Oh jadi itu mobil Adit. Mobil baru sepertinya, karena aku belum pernah melihatnya.
"An, aku pamit pulang." Ucap Rama. Dia sudah menggendong carrier nya yang berat.
"Ke Jakarta?"
"Ke penginapan dulu, nanti malam baru pulang ke Jakarta."
"Oke, hati-hati, Ram."
Lalu pria gondrong yang rambutnya diikat ke belakang itu pergi. Setelahnya aku bergabung dengan para sahabatku. Vivi juga masih ada di sana. Mengganti pakaiannya dengan kaus oblong dan celana pendek. Celana pendek bola lagi. Ah, anak itu. Penampilannya saja yang feminin, jiwanya masih tomboy.
"Sambil main uno seru kayanya."
Aku berseru memecah keheningan. Mereka saling tatap satu sama lain. Seolah sedang menimbang.
"Oke, boleh juga." Fay mengangguk setuju. Diikuti oleh semuanya.
Dan sisa hari ini kami habiskan dengan bermain uno sambil terbahak saat salah satu di antara kami berkelakar candaan. Seolah baru saja aku tidak mengalami patah hati.