"Jadi, pernikahannya akan dilaksanakan di Jakarta memakai adat Sunda?"
Kami berada di private zone setelah bertemu dengan miss Joana. Beruntung, perempuan paruh baya dengan dandanan nyetrik itu tidak marah karena aku molor dari waktu janjian.
"Ya,"
Aku berdecak saat melihat Abi kalap dengan makanannya, dan Rey dengan waffle pizza.
"Kenapa memakai adat Sunda? Ben, kan orang Jawa."
"Karena aku orang Sunda."
"Kenapa tidak di mix saja? Antara adat Sunda dan adat jawa?"
Abi menyodorkan nasi ayam bakar madu oleh tangannya ke depan wajahku. Aku diam sejenak tapi kemudian melahapnya.
"Itu akan lebih merepotkan. Aku hanya ingin yang simpel saja."
"Kalau menikah dengan satu suku akan lebih praktis dan tidak ribet."
"Terus bagaimana? Memangnya seseorang bisa pindah suku?"
"Kenapa tidak cari orang Sunda saja sekalian?"
Dia memberiku sup jamur ke depan mulutku. Tapi kali ini mulutku langsung terbuka menerima satu sendok berisi sup jamur seperti hal tersebut memang aktifitas sehari-hari.
"Bi, ya ampun. Memangnya bisa seperti itu. Menikah kan bukan hanya sekadar kau berasal dari adat mana. Beda suku bukan halangan seseorang untuk tidak bisa menikah."
"Tapi akan lebih mudah jika berasal dari adat yang sama. Sunda dengan sunda itu perpaduan yang sempurna." Kedua alisnya naik turun beberapa kali dan aku mencibir. "Aku orang Sunda asli." Lanjutnya penuh bangga dan seketika aku tersedak.
"Terus??? Aku harus bagaimana? Mempertimbangkanmu?"
Tanyaku kesal. Bisa-bisanya dia berbicara seperti itu.
"Ide yang bagus." Abi mengelus dagunya. "Mempertimbangkanku." Wajahnya berubah serius saat melihatku.
Kilasan bayangan yang terjadi antara aku dan Abi di kebun teh melintas begitu saja di otakku tanpa diperintah.
"Tidak, tidak!" Kepalaku menggeleng beberapa kali berusaha mengusir ingatan itu yang muncul dengan tidak tahu diri.
Abi mengernyit lalu dengan gerakan cepat memegang tanganku hingga perhatianku terpusat padanya.
"Apa kau masih belum sadar juga setelah semua yang kulakukan padamu?"
Seperti ada yang menghentikan waktu, aku terpaku pada sorot mata Abi yang seolah menyedot segala yang ada di diriku. Menguasai seluruh perhatian yang kupunya hingga diriku merasa hanya dia yang terlihat jelas, sedangkan hal-hal lain di sekitarku berubah jadi buram.
"Hah?"
Sepertinya benar, sel-sel sarafku terganggu hingga hanya kata 'Hah' yang bisa aku keluarkan setelah aku tersadar dari keterpanaan.
Abi menghela napas kemudian memasukan satu sendok sup jamur ke dalam mulutku seraya berkata, "Lupakan."
Tidak bisa! Hatiku berteriak tapi mulutku mau tidak mau menelan sup jamur ke dalam kerongkongan, tanpa benar-benar merasakan rasa dari sup tersebut.
Pintu private zone terbuka dan memperlihatkan sosok pria tinggi yang seharian ini membuat mood ku rusak. Dia berjalan masuk, lalu tersentak saat melihat Abi dan Rey. Ada yang berbeda dari cara dia menatap Rey, dan aku sadar itu merupakan tatapan penuh rindu.
Ben mendekati Rey yang bersedekap di karpet. Bocah itu tenggelam dalam dunianya bersama buku gambar dan crayon warna-warni. Kulihat piring yang tadinya berisi setengah lusin waffle pizza kini sudah lenyap.
Aku melirik Abi yang kini menatap Ben dengan tatapan yang sulit aku artikan.
"Ben,"
Ben mendongak lalu beralih ke sampingku.
"Dia, Reynand?" Tanyanya padaku. Tapi aku tidak langsung menjawab, melainkan kembali menatap Abi yang persis berada di sampingku.
"Bisakah, aku menyapanya?"
Ku kira Ben bicara padaku, tapi ternyata pandangannya ke arah Abi yang ekpresinya mendadak dingin. Apa dia memiliki kepribadian ganda. Mampu mengubah berbagai karakter dalam sekejap.
Tidak perlu menunggu jawaban Abi, aku langsung bertindak.
"Rey," aku menginterupsi bocah itu. Dia menghentikan aktifitasnya yang sedang mewarnai gambar -entah apa itu- lalu menatap padaku. "Rey, ini.... ini... uncle Ben. Ayok beri salam."
Rey terdiam melihat Ben. Seakan sedang meneliti wajahnya. Perlahan dia bergerak di tempat mengubah posisi tengkurapnya jadi duduk tegak.
"Apa uncle ini yang ada di rumah yang mulia ratu malam itu? Yang berpelukan dengan yang mulia ratu?"
Wah ingatannya kuat sekali.
"Iya." Jawabku singkat. Entah kenapa aku jadi gugup seperti sedang dalam kuis who want to be a millioner yang pertanyaannya tersisa satu untuk mendapat hadiah 1 milyar.
"Hai," terdengar suara Ben yang begitu canggung. Perlahan dia mengulurkan tangannya ke depan Rey. Dengan sangat pasti bocah itu menyambut uluran tangan Ben.
"Namaku, Rey."
Senyum terukir di wajah keduanya. Dan kusadari bahwa mereka begitu mirip. Dari ekor mataku bisa kulihat, Abi memalingkan wajahnya. Mungkin tidak ingin melihat pemandangan ini.
"Ayah, ayah kenal dengan uncle Ben?"
Tubuh Abi menegang, senyumnya begitu canggung. Aku tahu dia tak sanggup berkata-kata. Jadi, kuputuskan untuk mewakilinya.
"Uncle Ben, teman ayah. Sama seperti uncle Arsenio."
Rey tersenyum kembali. Aku menatap Rey dengan nanar. Dia sama sekali tidak tahu masalah pelik yang sedang dihadapi kedua ayahnya. Ya, dia memiliki dua ayah. Hal yang sulit diterima dalam waktu sekejap.
Secara tiba-tiba, Abi beranjak dari tempatnya kemudian keluar dari private zone tanpa satu patah kata pun. Dan sepertinya, Rey pun tidak melihat karena dia sibuk. Sibuk dengan gambar dan Ben. Aku memandang pintu dan Rey secara bergantian. Mendadak jadi gamang.
"Terima kasih, sudah mau berbicara pada Abi."
Ben berseru dan aku hanya menatapnya sambil tersenyum.
"Aku sudah bertemu miss Joana, dia bilang.."
"Bisakah nanti saja kita bicarakan? Aku ingin memanfaatkan waktuku bersama Rey."
Apa aku harus bahagia sekarang? Apa aku telah menjadi malaikat di kehidupan Ben?
Diam-diam aku merasakan ada rasa nyeri di sudut hatiku. Bukan, aku bukan tidak suka melihat Ben bersama Rey. Tapi.. entahlah. Mungkin pernikahan kami sudah tidak berfungsi lagi baginya.
***
"Apa aku harus melepas Rey?"
Setelah berbagai pertimbangan aku memutuskan menyusul Abi ke bawah membiarkan Rey dan Ben bercengkerama di dalam private zone. Lalu aku menemukan pria itu duduk sendiri di kursi paling pojok persis seperti pria yang habis diputuskan cintanya.
Ujung telunjuknya mengitari bibir cangkir kopi dengan gerakan memutar searah jarum jam yang aku yakini sudah mendingin. Tatapannya menerobos keluar etalase kaca restoran memandang penuh kekosongan.
"Kepada?"
"Ben." Katanya seraya mengalihkan pandangannya padaku.
"Kau ayahnya."
"Ben, juga ayahnya." Nada suaranya terdengar putus asa. "Ayah biologis." Dia menekan penuh kalimatnya seakan menyiratkan segala bentuk kesakitan. "Dan aku tahu dia lebih berhak."
"Kau ingin melepas Rey, bersama Ben?"
"Tidak pernah terlintas sedikit pun di benakku, kalau aku akan berpisah dengan Rey."
"Mungkin kalian bisa berbagi." Aku tidak yakin apakah ini saran yang baik atau bukan. Paling tidak, aku memberi gambaran apa yang bisa dia lakukan.
"Seperti layaknya anak dari kedua orang tua yang berpisah?"
Guratan kesedihan itu masih jelas terpancar di wajahnya, dan entah kenapa aku ingin mengubah ekspresi tersebut menjadi sebuah senyuman yang sering dia pamerkan padaku.
"Aku tidak mengerti bagaimana hukumnya. Tapi, kurasa itu akan lebih baik dibanding Rey harus memilih. Seorang anak tidak bisa memilih siapa ayahnya."
Walau senyum itu kini mulai tampak tapi sama sekali tidak memancarkan raut bahagia.
"Ya... setidaknya, Rey akan bersama dengan ayah kandungnya dan seorang ibu."
"Ibu?" Tanyaku tidak mengerti.
"Kau," katanya. Dia mengangkat cangkir kopinya ke depan bibir kemudian menyesapnya. "Setelah kau menikah dengan Ben, maka kau resmi menjadi ibunya. Kau tidak akan menjadi ibu tiri yang jahat, 'kan?"
Aku tertawa kecil. "Astaga Bi, apa aku ada tampang seperti ibu tiri Cinderella?"
Dia hanya menanggapi dengan tawa. Tawa yang sengaja dikeluarkan untuk menyamarkan keadaan yang tidak dia inginkan.
Kemudian dia berdiri. "Kau mau ke mana?"
"Masuk ke dalam." Dia menunjuk ke arah perpustakaan. "Kau bilang, Rey harus berbagi."
Walau masih tak mengerti, aku mengikutinya yang berjalan menuju private zone.
"Kau mau ke mana?" Tanyanya saat dia menyadari aku berada di belakangnya.
"Menyelamatkan ruang paling berharga dalam hidupku." Dia memiringkan kepala tanda tak mengerti. "Terakhir, kau bertemu Ben, kalian berakhir dengan saling memukul satu sama lain. Kali ini aku tidak akan membiarkan itu terjadi di dalam private zone ku."
"Kau kira aku akan melakukan hal bodoh di depan Rey?"
Ya apa salahnya berjaga-jaga.