Detektif Conan

1005 Words
Ku kira dengan begini semua akan baik-baik saja. Tapi, tidak. Justru Ben, semakin tidak memerhatikan rencana pernikahan kami. Rencana pernikahan sempurna yang telah aku susun bahkan jauh sebelum aku bertemu Ben. Dia bahkan nyaris menghancurkan segalanya. Seperti yang aku katakan, ini bukan masalah aku cemburu pada Sera atau aku tidak bahagia atas bersatunya Rey dengan Ben. Tapi, bisakah dia tidak mengabaikanku seakan-akan kami tidak akan memiliki rencana indah dalam hidup? Asal kalian t**i, yang dia lakukan setiap hari adalah menanyakan Rey. Apalagi sekarang dia lebih aktif ikut denganku menjemput Rey ke rumah, menunggui Rey, di sekolah walau Ben sama sekali tidak mendapat senyuman dari Abi. Aku bukan orang yang tidak peka seperti Ben, aku cukup mengerti dengan ekspresi yang diberikan Abi pada Ben. Ekspresi tidak suka. Abi pasti merasa Ben sedang mengambil alih tugasnya sebagai ayah. Terlebih bocah itu sepertinya tidak terganggu dengan keberadaan Ben. Seperti hari ini. Ben, menyuruhku menemuinya di kafe sepulang Rey dari sekolah. Dia bilang dia ingin mengajak Rey jalan-jalan. Aku sih nurut saja, walaupun tidak ada tanggapan apa-apa dari Abi, dan malah mendapatkan tatapan membunuh darinya. Hey, posisiku saat ini serba salah. Namun saat langkahku baru mencapai pintu kafe, aku melihat Ben sedang duduk bersampingan bersama Viona. Membuat tensi darahku seketika naik drastis. Kenapa wanita itu bisa ada di mana-mana. Alih-alih menghampiri Ben terang-terangan, aku berjalan mengendap-ngendap masuk ke dalam kafe. Jariku ku taruh di depan mulut memberi tanda pada Rey untuk tidak berbicara. Kemudian, menarik tangannya mengitari ruangan kafe dan berakhir di kursi yang persis berada di belakang Ben dan Viona. Aku menyuruh Rey untuk menunduk dan jangan bicara apapaun. "Yang mulia ratu." Oke, ini bukan penganiayaan. Aku hanya membungkan mulutnya dengan telapak tanganku karena tiba-tiba dia bersuara. "Untuk kali ini bisakah kau bekerja sama dengan yang mulia ratu?" Aku bicara sepelan mungkin hingga hanya aku, Rey dan Tuhan yang mendengar. "Sebagai prajurit dan pemimpin?" Dia diam memandangiku yang masih membekap mulutnya. Posisi ku pasti akan langsung dicurigai jika ada yang melihat. Suaranya bergumam, seperi ingin bicara tapi tertutup oleh tangan. Aku tersentak lalu melepas bungkaman. "Permainan apa yang sedang kita mainkan?" Tanpa diperintah otakku berputar, memikirkan jawaban apa yang pantas untuk aku berikan. "Detektif Conan." Ujarku tiba-tiba. Rey tersenyum. "Aku suka Detektif Conan." Serunya dengan suara tertahan karena tidak ingin membuat keributan. "Jadi, apa yang kita lakukan pertama kali?" "Diam," kataku. "Diam dan jangan bicara apapun." Aku mengangkat jempol ke atas dan Rey mengangguk patuh. Dan aku mulai menjalankan aksi pengintaian terhadap pacar yang diduga melakukan hal mencurigakan. "Seandainya kau tidak bertemu Sera apakah kita akan kembali?" Aku yakin ini suara Viona. Aku tidak mendengar percakapan awalnya karena sibuk diskusi dengan Rey. "Kembali bagaimana?" "Kembali seperti saat kita masih saling menginginkan." Apa? Telingaku tidak salah dengar, kan. Saling menginginkan? Demi menajamkan pendengaran, aku menegakan tubuhku. Melihat aku bergerak, Rey pun mengikuti gerakanku. "Hubungan kita yang membuat aku tidak bisa menyatakan perasaanku pada Sera." "Jadi,semua yang terjadi padamu dan Sera adalah salahku? Bukankah kita sepakat kalau hubungan kita hanya sebatas saling memuaskan? Hubungan kita tidak akan merusak urusan pribadi masing-masing. Begitu, kan yang kita sepakati?" Kulihat Rey serius memerankan perannya. Kuharap dia tidak mengerti dengan apa yang mereka bicarakan. Atau semoga Rey, tidak dengar apa-apa. Sementara aku berharap tidak pernah melakukan pengintaian ini. "Tapi rasanya aku ingin melepas segalanya setelah aku bertemu Sera." "Sera memang sangat berpengaruh dalam kehidupanmu." Viona berdecak. "Yaa.. jika bukan karena aku membawa nama Sera, mungkin pagi itu kita sudah melakukannya lagi. Setelah sekian lama aku tidak merasakan dirimu." Reflek aku menutup telinga Rey hingga dia terkejut, dan aku langsung memperingatinya dengan menaruh jariku di mulut. Dan jantungku mulai berdebar seperti habis maraton 1000 kilo meter. Aku menelan ludah seraya pikiranku seakan ditarik mengingat saat pagi itu, aku menemukan Viona di rumah Ben. "Vi, cukup. Jangan pernah dibahas. Aku hampir saja hilang kendali." Ben menggeram tidak suka. "Ingat, aku akan menikah. Kali ini, aku tidak ingin kehilangan lagi." "Tidak ingin kehilangan kesempatan untuk menikah, atau tidak ingin kehilangan cintamu?" Untuk beberapa saat tidak ada yang bicara. Ben diam sampai Viona membuka lagi suaranya. "Dua hal tersebut berbeda, Ben. Mungkin kau harus lebih mengenal dirimu sendiri, siapa yang ada di hatimu. Karena dia yang bersamamu saat ini belum tentu dia yang ada di hatimu." Aku tersentak mendengar apa yang Viona lontarkan. Darahku berdesir membuat hawa panas menjalar di tubuhku. "Siapapun yang ada di hatiku saat ini, aku akan tetap menikahi Ana." "Yang mulia ratu!" "Eh?" Mataku mengerjap seperti ada yang menarikku kembali ke kenyataan. Kulihat, Rey berdiri di tempat, dan seorang pelayan wanita sudah berdiri di hadapanku entah sejak kapan. "Tante ini bertanya, apa yang mulia ratu pesan?" "Ana?" Semua kacau. Ben berdiri di hadapanku bersama Viona. Aku gelagapan memandangi sekitar. Memandang wajah Ben yang terkejut, wajah Viona yang tercengang, wajah Rey yang merengut, dan wajah pelayan wanita dengan seragam warna kuningnya tersenyum padaku. Aku bangkit berdiri merasa gugup. Hey, seharusnya aku marah. "Aku.. aku..." kataku terbata-bata tidak mampu berpikir. Wajahku sudah memanas. "Rey bersama dengan uncle Ben saja, ya. Yang mulia ratu mendadak tidak enak badan." Aku mengusap kepala Rey. Dia masih memandangiku bingung. "Ben, titip Rey. Jaga Rey, baik-baik." Sebelum aku bisa pergi dari hadapannya, Ben mencekal lenganku. "An," "Im fine," dan kalimat ini adalah kebohongan besar. "Tidak. Kau tidak baik-baik saja." Bagus kalau dia mengerti. Aku ingin sekali berteriak di depan wajahnya tapi tidak kulakukan. Aku masih berusaha baik-baik saja di hadapannya walau jauh di dalam diriku beringsut marah. Sehingga aku hanya berkata. "Rey, ingin alat menggambar yang baru." Dan ini bukan kebohongan. Kali ini aku bisa menggerakan kakiku, berjalan dari kerumunan orang-orang yang sudah memperhatikanku. "Ana." Ben mengejarku lagi, saat aku sudah berda di luar kafe. Aku menatapnya dengan wajah paling angkuh yang pernah aku perlihatkan. "Semakin hari aku semakin tidak mengenal siapa sebenarnya dirimu. Kita seakan memiliki jarak yang jauh sekali. Sampai aku juga tidak bisa menggapaimu." Ucapku, dan dia menahanku lagi saat aku akan pergi. "Kau bisa jelaskan, tapi tidak sekarang, oke?" Ben akan protes, tapi aku segera menahannya. "Rey sudah menunggu." Dan aku benar-benar pergi persis seperti pecundang hebat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD