Tempat penyimpanan rahasia

1089 Words
Hari ini aku izin tidak menjaga toko. Stok kue masih ada. Dan Indah sudah bisa aku lepas untuk membuat kue sendiri. Aku berada di rumah, tidak ke mana-mana. Aku sedang melakukan tutorial bagaimana caranya membuka layar ponsel yang kita lupa passwordnya. Kalau aku bisa, aku akan praktekan pada ponsel Abi. Aku harus tahu isinya. Dan hal ini tidak perlu memiliki keahlian khusus. Setelah berjam-jam duduk di depan laptop, akhirnya aku berhasil membuka ponsel mbok Darmi sebagai contoh percobaan. Senyum mengembang, tercetak di wajahku. Aku tahu, kalau ada niat semuanya pasti akan berjalan dengan lancar. Tinggal nanti malam aku akan melakukan aksi ini. Semuanya demi kelangsungan masa depan pernikahanku. Mumpung ada di rumah, dan melihat cucian menumpuk, aku cuci pakaian saja. Kebetulan Rey juga bersama dengan tante Farida. Pasti mereka akan pulang sore atau malam. Satu per satu aku memasukan baju kotor ke dalam mesin, cuci. Dan saat memasukan celana milik Abi, aku menemukan satu lembar kertas dari bukti pembayaran sebuah kalung emas. Tanggalnya tiga hari yang lalu. Kemudian aku memutar otak, mengulang kembali kejadian tiga hari yang lalu. Semuanya berputar mundur bagaikan kaset rusak. Lalu gulungan ingatan itu, berhenti di saat Abi mengatakan akan bertemu dengan Arsen. Aku menarik napas. Kemudian memegang kepalaku yang rasanya mau pecah. Lalu tanpa terasa aku duduk bersimpuh di lantai, dan menangis tanpa suara. Jika kalung emas itu tidak ada di leherku, maka melingkar di mana benda itu sekarang. *** Bukti pembayaran tersebut aku simpan di sebuah kotak, bersama dengan tiket parkir. Akan aku kumpulkan semua bukti-bukti itu dalam satu wadah. Selanjutnya adalah, aku akan mengajak Abi untuk makan siang bersama. Tapi aku tidak akan ke kantor, aku akan menunggu langsung di tempat makan. Tapi, jawabannya tidak. Dia menolak dengan alasan ada meeting dadakan. Aku tidak langsung percaya. Ya, yang benar saja. Berkali-kali dia berbohong padaku, lantas aku masih akan menarug kepercayaan padanya? Tentu tidak. Jadi aku menunggunya di tempat parkir gedung perkantoran ini. Dia pasti akan keluar dan mobilnya telah di parkir di sini. Setelah tiga puluh menit menunggu, pria itu belum muncul juga. Sesaat aku merasa kalau apa yang aku lakukan sekarang adalah hal konyol. Tapi, aku sudah setengah jalan. Tidak mungkin mundur lagi. Dalam belenggu kebingungan, akhirnya Abi muncul. Aku menegakkan tubuhku untuk bersiap, lalu grasak-grusuk emasang safety belt. Mobilku bergerak maju, mengikuti mobil Abi yang sudah melaju terlebih dahulu. Aku mengambil jarak, tidak terlalu dekat dan tidak terlalu jauh. Untunglah dia tidak menyetir terlalu cepat, jadi aku bisa mengimbanginya. Dia bergerak lumayan jauh dari kantor, kemudian memasuki perumahan elit di ujung Jakarta. Aku meneguk ludah. Rumah siapa yang akan dia sambangi. Saat mobilnya berbelok ke kiri, tiba-tiba ponselku berbunyi. Itu dari Vivi. s**t! aku kehilangan keberadaannya. Aku menepi sebentar untuk mengangkat telepon dari Vivi. Rupanya dia mengabari kalau ada orderan kue pie yang banyak untuk besok. Karena aku tidak tahu ke mana perginya Abi, jadi aku memutuskan untuk berhenti membuntuti nya, lalu pergi ke toko kue. "Sorry, An. Pesanannya terlalu banyak, Indah tidak sanggup kalau harus membuat sendiri." Kata Vivi penuh rasa bersalah. "It's okay, Vi. Ini juga bagian dari tugasku." Timpalku, sambil memakai apron. Kemudian mengikat rambut. Walau sudah pendek sebahu, tapi masih tidak nyaman saja kalau harus menggerai rambut saat membuat kue. Selain takut ada rambut terjatuh, jadi merusak konsentrasi. Akhirnya selesai juga pesanan 100 kue pie mini. Astaga! memang benar, kesuksesan itu harus dibayar sangat mahal. Aku merebahkan diri di sofa toko, merasa luar biasa lelah. "Vi, bisakah kau ambilkan aku satu gelas es jeruk? haus." Kataku berlebihan, pada Vivi yang ada di sampingku. Walau tidak banyak yang datang ke toko, tapi orderan secara online menumpuk, dan pesanan juga selalu banyak. Di era digital ini orang-orang lebih suka pesan online daripada datang langsung ke toko. Lebih praktis dan tidak menguras energi. "Okeee." Seru Vivi bersemangat. Kalau banjir orderan anak itu memang suka baik hati. "Mbak, ini bukti pembayaran untuk pesanan kue pie mini itu." Lidia memberikanku satu lembar struk. Aku menyimpannya di sebelah laptop Vivi, menumpuknya dengan yang lain. Tapi mataku menangkap satu lembar bukti pembayaran yang ada di tumpukan tersebut. Nama yang tertera di sini adalah Sophie. Dan mendadak, dadaku seperti dihantam batu besar. Apakah ini adalah nama yang sama. Aku segera mengambil kertas itu. Kemudian memeriksanya. Lalu beranjak dari sofa menuju meja kasir. "Lid, coba cek orderan ini. Atas nama siapa, dan dia beli secara online atau datang ke toko?" "Iya, Mbak," Lidia mengambil kertas pembayaran itu, lalu memeriksanya. "Ini dua hari yang lalu, dan order secara offline. Datang ke sini, Mbak." Jelas Lidia. Aku menggigit bibir bawah. "Apa orang ini meninggalkan no ponsel, atau alamat rumah?" tanyaku cepat. "Tidak, Mbak," terang Lidia setelah dia memeriksa kembali. Bagaimana aku mengetahui kalau orang ini adalah orang yang sama. "An, kenapa?" Vivi tiba-tiba muncul. "Ah, tidak. Tidak apa-apa." Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin aku bertanya pada Vivi perihal ini. *** Aku minum kopi banyak-banyak. Abi akan tidur lewat dari jam dua belas malam. Dan aku akan eksekusi lewat dari jam itu. Setelah Abi sudah terlelap dalam tidurnya. Dan aku tetap terjaga. Aku tidak mungkin tidur duluan, karena tidak ingin mengambil risiko kalau nanti aku kebablasan, dan melewatkan malam ini. "Kau belum ngantuk?" tanya Abi. "Belum, aku masih ingin menonton televisi." "Tumben sekali, biasanya kau sudah tidur jam segini." Aku melirik mataku padanya. "Kau sendiri, tidak tidur?" Dia menyeringai, kemudian menggeserkan tubuhnya lalu memeluk pinggang ku. "Kalau kau belum ngantuk, bagaimana kalau kita mengantuk bersama?" "Hah? caranya?" Dia menegakkan tubuhnya, lalu dalam gerakan cepat menarik tubuhku dan di dudukan di pangkuannya. Sementara dia bersandar di sandaran tempat tidur. "Kau masih terlihat sama," bisiknya sambil menyingkap rambutku ke belakang telinga. "Memabukkan." Dia menyunggingkan senyumnya. Lalu menekan leherku, dan memiringkan wajahnya. Detik berikutnya, bibir kami saling bertaut. Aku mengalungkan kedua tanganku ke lehernya. Walau banyak sekali kecurigaan ku padanya, tapi sentuhannya masih membuat kupu-kupu dalam perutku menari-nari. Dia selalu pintar membuatku melayang, hingga tanpa bisa aku sadari kini aku sudah ada di bawahnya. "Aku punya cara baru untuk kita." Katanya. Dan aku mengerti arti dari kalimatnya itu. Tahu-tahu dia sudah mengubah posisi, memimpin permainan ini. Ada sesuatu yang berbeda darinya malam ini. Dia begitu bersemangat, b*******h, dan bukannya aku bahagia, aku justru merasa cemas. Dari mana dia belajar 'cara' baru ini. Cara yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya. Tidak seperti biasanya, kami melakukannya lebih lama. Aku sampai kewalahan. Akhirnya pelepasannya selesai juga. Dia langsung membersihkan diri, begitu pun dengan aku. "Sekarang, aku mengantuk." Suara serak, tapi terdengar seksi di telingaku. "I love you." Abi mengecup keningku. Ritual yang telah lama tidak dia lakukan. Tapi hal itu justru membuatku semakin bertanya-tanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD