Dream pool

1109 Words
Ternyata setelah menikah, bahagia itu sederhana. Bisa makan bersama dengan suami dan anak-anak adalah hal paling berharga. Tapi Abi, masih terlihat fokus pada ponselnya. Sesekali bercengkrama dengan Rey dan Ruby, tapi kemudian kembali melihat ponsel. Apa yang sedang dia lihat di layar datar itu. Sore itu, saat Rey sedang menonton televisi, aku melihat sebuah sketsa di buku gambarnya. Sebuah rumah dengan kolam renang di dalam rumah tersebut. Aku mengusap gambar itu. Aku tahu, anak itu menginginkan sekali rumah besar dengan kolam renang di dalamnya. Itu juga mimpiku. Apalagi saat Abi tahu, kalau aku begitu mengagumi penthouse milik Vivi. Tapi, kenyataannya penghasilannya digabung dengan penghasilan ku dalam satu bulan tidak cukup untuk kapasitas rumah mewah dengan kolam renang. Apalagi penthouse itu. Sungguh sangat tidak memungkinkan. Jadi, mimpi itu hanya aku simpan dalam angan. Aku juga tidak pernah membahas ini lagi dengan Abi. Biarlah, mimpi itu hanya menjadi sebuah mimpi yang tak tahu apakah akan terealisasi. "Rey, sudah tidur?" tanya Abi saat dia keluar dari kamar mandi. Aku sedang di depan meja rias, menyisir rambut. Semakin hari rambutku mulai rontok. "Sudah," jawabku. "Rey sepertinya punya banyak energi untuk melakukan hal yang membuatnya penasaran." "Dia hanya belum mengerti, benar atau salah." "Ya, dia hanya perlu diarahkan. Dia tidak melawan saat aku menyuruhnya minta maaf pun, aku sudah senang." Setelah selesai menyisir rambut, aku naik ke atas tempat tidur. Diikuti oleh Abi. "Apa aku harus memotong rambutku?" Abi melihatku, membelai rambutku seperti sedang memeriksa sesuatu. "Kenapa?" "Rontok," jawabku sambil memberenggut. "Terserah," katanya. "Kau akan tetap terlihat cantik walau tanpa rambut." Aku memukul pahanya dengan bantal. Walau sebuah ejekan, tapi aku tidak merasa tersinggung. Sepertinya sudah lama sekali aku tidak mendengar celetukan aneh yang membuatku tertawa geli, bahkan sampai terbahak, dari mulutnya. Melihatnya menaruh ponselnya di atas nakas, dan tidak memainkannya aku merasa lega. Dia mulai menyalakan televisi kemudian menonton film di netflix. Film lama, dari Thailand. Tidak biasanya dia menonton film dengan genre horror comedy seperti ini. "Aku sudah mentrasfer uang ganti rugi jeng Karin ke rekeningmu. Coba di cek." Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi. Kalau soal uang, aku bergerak cepat. Kemudian memeriksa mobile banking, dan melihat nominal uang yang Abi kirimkan padaku. Lalu menatap Abi kembali. "Sengaja kirim uangnya lebih, atau kau salah kirim?" Dia menoleh padaku. "Aku lebihkan sayang, itu untukmu. Barangkali kau ingin menggunduli rambutmu." Abi menunjuk-nunjukan telunjuknya pada rambutku, kemudian menarik kepalaku untuk bersandar di pundaknya. Kemudian mengusap pelan kepalaku. Aku langsung punya ide, untuk memangkas rambutku hingga batas bahu, kemudian mewarnai nya dengan warna abu-abu yang sedang happening. Uang dari Abi kurasa cukup. Mengingat sudah lama sekali aku tidak memanjakan diri di salon. ** Tapi, kenyataannya aku hanya memotong rambutku tanpa mewarnai. Bukan karena tidak berani atau tidak diizinkan oleh Abi, tapi kupikir uangnya sayang kalau dihabiskan hanya untuk ke salon. Lebih baik aku simpan, barangkali akan ada kebutuhan yang mendesak di sekolah Rey. Sekarang, prioritasnya sudah berbeda. Keperluan anak menjadi yang utama. Bukankah semua ibu-ibu seperti itu. Hari ini aku pergi ke salon bersama dengan Fay. Aku membawa serta Ruby. Sedangkan Rey, dia pergi bersama dengan tante Farida. Ben, sedang tugas di Bandung. Jadi tante Farida ingin bermain dengan Rey. Sesuai kesepakatan, tidak ada batasan bagi keluarga Ben untuk bertemu dengan Rey. Aku tidak membantah. Ya, aku merasa tidak ada wewenang untuk terlibat dalam kesepakatan ini. "Kurasa, Nessa sudah mulai jatuh cinta pada Arsen." Ucap Fay tiba-tiba, saat kami sedang duduk di sebuah restoran cepat saji. Aku mendudukan Ruby di kursi bayi yang disediakan restoran ini. "Kenapa kau bisa berpikir seperti itu?" "Kau ingat kan, saat aku dan Nessa datang ke toko kue mu, dan kami membawa barang belanjaan. Itu aku yang mengajaknya, untuk menghibur dia karena terus murung, diitinggal Arsen ke Jerman." "Arsen ke Jerman? buat apa?" "Tentu saja melarikan diri, apalagi?" "Melarikan diri?" mataku menyipit tidak mengerti. "Setelah tahu kalau Nessa akan dijodohkan oleh pilihan orang tuanya, Arsen langsung patah hati parah dan pulang kampung ke Jerman." "Sejak kapan?" seorang pelayan datang membawa pesanan kami. "Sehari setelah dia menjadi MC di acara ulang tahun Ruby." Gerakan tanganku yang sedang mengupas jeruk untuk Ruby terhenti. Bang Arsen pergi setelah hari ulang tahun Ruby? bukankah itu sudah lama sekali. Itu artinya saat itu, Abi pergi meminta izin untuk bertemu dengan bang Arsen adalah bohong. "Terus? dia masih di Jerman atau sudah pulang?" "Dia masih di Jerman, dan tidak tahu kapan dia akan kembali." Kulit jeruk yang sedang aku kuliti, memancarkan air ke dalam mataku. Membuat bola mataku jadi perih. Dan hatiku juga ikut berdesir. Kalau bang Arsen ada di Jerman, lalu siapa yang Abi temui malam-malam saat itu? *** Malam itu, setelah anak-anak tidur dan aku punya sedikit waktu untuk berpikir, aku mengulang percakapanku dengan Fay siang tadi. Terutama tentang kepergian bang Arsen. Kalau begitu aku jadi tambah yakin kalau ada yang Abi lakukan di luar sana. Dan tiba-tiba ketakutan yang menjadi ketakutan wanita lain, kini justru menjadi ketakutanku. Aku tidak pernah berpikir kalau ini akan menimpaku. Dari sekian banyak ujian pernikahan dalam hidup, adanya orang ketiga di hidup Abi, adalah ujian di urutan paling akhir yang pernah aku pikirkan. Tapi sekarang, justru hal itu menjadi ujian di urutan pertama. Aku kembali menarik napas panjang. Aku tidak bisa hidup dalam ketakutan yang tidak mendasar. Aku tidak punya bukti apa-apa. Jadi perlu aku simpan kecurigaan itu terlebih dahulu. Sebelum aku menemukan bukti-buktinya, dan membeberkannya di depan wajah Abi. Tapi harapanku, semua itu tidak akan pernah terjadi. *** Keesokan paginya, Rey meminta izin padaku dan Abi agar diizinkan berenang bersama tante Farida. Katanya, mereka akan berangkat setelah Rey pulang sekolah. Karena hari ini tidak ada les, aku mengizinkan Rey untuk ikut. Awalnya Abi tidak setuju, tapi akhirnya dia mengizinkan juga. Saat Fay menelponku, tiba-tiba sebuah ide muncul begitu saja. Aku melirik Abi sebentar, kemudian mematikan tombol di ponsel. Sengaja, karena aku akan mulai bersandiwara. "Hai, Fay." "Oh, ada, mau berangkat sekolah. Kenapa? oya? Sedang di Jerman? oh boleh, sebentar." "Rey, uncle Arsenio sedang ada di Jerman. Kau mau oleh-oleh?" tanyaku pada Rey, sambil melirikan ekor mataku pada Abi. Melirik ku sekilas. "Aku mau pensil warna." Seru Rey. "Oke," aku mengusap rambutnya yang lembut sehabis keramas. "Fay, katanya, Rey ingin pensil warna. Iya, terima kasih. sampaikan itu pada bang Arsen." Aku menutup sambungan ponsel pura-pura. "Siapa?" "Fay, dia bilang bang Arsen ada di Jerman. Dan dia mengatakan apa Rey mau oleh-oleh setelah bang Arsen pulang." "Oh," katanya. Tapi, aku menyadari wajahnya berubah kaku. Tapi dia kembali diam, tidak bertanya lebih lanjut lagi. "Bukankah kemarin kau bertemu dengan bang Arsen? dia tidak memberitahumu kalau dia akan pulang ke Jerman?" "Tidak, dia tidak mengatakan apa-apa." Jelas. Karena bukan Arsen yang kau temui, Bi. Dan aku akan segera tahu. Siapa wanita itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD