Please don't go

1044 Words
"Ini, jangan sampai hilang. Aku tidak punya lagi untuk menggantinya." Setelah melewati berbagai penawaran dan cek sana sini akhirnya kami sepakat di angka 265juta rupiah. Rama memberikan satu lembar cek yang dia tanda tangani. Mengulas kembali senyumnya padaku. Aku menerima cek tersebut dan mengamatinya lekat-lekat. Semua surat-surat kendaraan telah diterima oleh Rama. Proses jual beli sudah selesai. Dan sampai di sini saja aku bisa memilikinya. Ternyata aku memamg sudah kehilangan segalanya. Cinta dan harta. Aku pamit pada Rama, dia sempat menawarkan tumpangan, tapi aku menolak. Masih ada urusan lagi yang harus aku selesaikan. Jadi aku menghubungi Naya untuk bertemu. Dia bersedia dan kami janjian makan siang di Grand Indonesia. Anak itu memang gila, membuat aku harus bayar taksi online lebih mahal karena jaraknya jauh. Ya, aku tidak begitu paham kalau naik kereta atau transjakarta. Dia tahu saja aku baru dapat uang ratusan juta, minta makan di tempat heboh seperti ini. Naya bilang kalau urusan perut jangan pelit. Tapi herannya badannya tetap kurus, entah ke mana dia melarikan makanannya. "Kau yakin mau pindah ke Bandung?" "Bukan pindah, tapi pulang kampung." "Jadi kau menyerah?" "Sudah tidak ada yang tersisa di sini Nay, aku bisa merencanakan kembali hidupku di Bandung." "Kau mau apa di sana?" "Menjadi pemetik daun teh tidak terlalu buruk, 'kan?" Kepala Naya mendongak, matanya membulat besar. Kemudian menyambar minumannya, menarik serbet dan mengusap pelan permukaan bibirnya. "Pemetik daun teh?" Tanya Naya agak kasar. "An, yang benar saja, hartamu disita KPK atau apa sih, sampai-sampai harus seperti ini?" "Apa salahnya menjadi pemetik daun teh? Tanpa mereka saat ini kau tidak bisa menikmati es teh milikmu." Mataku mendelik ke arah es teh manis yang ada di gelas Nanya. Dia mengembuskan napasnya, mencengkeram gelas berembun itu. "Kau bisa bekerja di pabrik teh kan, atau mengelola perkebunan teh tanpa harus memetik. Panas, An," "Cara mengelola perkebunan teh itu ya dengan memetik daun teh nya, Nay." "Terserah kau sajalah." Suara Naya sangat frustrasi. Dia kembali menyuapkan makanannya ke dalam mulut. Saat itu juga kunyahannya tiba-tiba berhenti lalu menyenggol lenganku. "Itu Abi, kan? Sama siapa tuh? Cantik banget." Kepalaku berputar mengikuti arah pandang Naya. Kenapa aku harus bertemu lagi dengan mereka di sini. Aku berniat untuk tidak menyapa dan bersembunyi tapi suara itu justru membuat aku ditatap oleh seluruh pengunjung mall. "Yang Mulia Ratu!" Itu suara Rey. Berlari lalu mendekap padaku. Aku merindukannya. "Rey, apa kabar?" "Yang mulia ratu ke mana saja? Katanya mau melihatku bernyanyi di acara wisuda, tapi aku tidak melihatmu di sana." Sudah berapa lama aku tidak bertemu anak ini. Sepertinya tingginya sudah bertambah banyak dari terakhir kali aku melihatnya. "Yang mulia ratu datang melihatmu, tapi sebentar setelah itu pulang lagi." "Aku sudah masuk sekolah dasar. Aku sudah besar. Ayah bilang, yang mulia ratu tidak perlu menjagaku lagi. Karena ada yang menggantikanmu sekarang, tante ini." Aku tidak menyadari keberadaan Abi dan Sera. Selera makanku mendadak hilang. Ya, aku bisa lihat kenapa Abi memilih Sera dan menggantikan posisiku. Tentu saja karena dia lebih berhak untuk menjaga Rey. Sebagai apa dia mengenalkan Sera pada Rey. Tante? Ibu? Calon ibu? Oh kenapa aku begitu peduli. Mereka serasi, apa urusanku. Hati ini berteriak nyaring. Ya, aku memang peduli pada kehidupan mereka. Kenapa Abi memilih Sera, kenapa Abi membisu, kenapa aku harus digantikan tanpa dia memberitahuku dulu, dan kenapa hari ini Sera begitu cantik sehingga menyedot perhatian kaum adam yang lewat disekitar kami. Abi pasti menyadari itu, dan sangat bangga kalau sekarang dia adalah pemiliknya dan menyingkirkan jutaan saingan di luar sana. "Yang mulia ratu, bisakah aku duduk bersama di si.." "Aku sudah mau pergi Rey, maaf." "Ana, mau ke mana? Kita sama-sama saja." Sera menyentuh tanganku, berusaha menahanku di sana. Tapi aku meyentaknya membuat dia terkejut. "Tidak, terima kasih. Lain kali, mungkin." Aku menyandang tas cepat-cepat ke bahu, lalu menarik tangan Naya. "Aku belum selesai." Naya melotot padaku dan menatap makanannya yang masih banyak. "Ayok, pergi." Ucapku tanpa suara pada Naya, memberi kode oleh mataku untuk segera lenyap dari mall ini. "Kami permisi," Ada kilatan yang menyilaukan dari mata Abi saat tatapan kami bertubrukan tanpa sengaja. Ah tidak, aku sengaja meliriknya sebentar sebelum pergi. Hanya ingin tahu apa reaksinya. Tapi dia tetap membatu di tempat. Tidak terasa sekarang kami sudah ada di luar mall Grand Indonesia. Naya menyibakkan tangannya hingga terlepas dariku. Aku mengatur napas, lalu memandang Naya yang kini sedang berkacak pinggang. Melotot. "Dasar pengecut!" katanya kasar, seolah tahu situasi saat ini. "Siapa sih perempuan itu?" "Sera." Jawabku sambil menendang kaki ke udara. "Ibunya Rey." Seketika telapak tangan Naya menempel di bibirnya. "Kau bilang sudah meninggal." "Itu yang Abi katakan padaku, tapi rupanya wanita itu bangkit dari kubur." "Mana mungkin ada yang seperti itu." Aku mengusap kening berusaha menyusupkan akal sehat ke dalam kepalaku. Semuanya memang sudah di luar nalar. Naya memandang lurus ke depan, matanya mengkerut akibat sorotan cahaya matahari. "Aku ke toilet dulu, perutku sakit." Aku hanya mengangguk, lalu memeriksa ke belakang. Siapa tahu mereka membuntuti, tapi ku rasa tidak. Apa urusan mereka mengikutiku. Ponselku berdering membuyarkan pikiran, lalu mengeluarkan ponsel itu, melirik nama si penelepon. Sebelum aku menekan tombol hijau ada yang menarik pinggangku lalu mengempaskan aku ke pilar besar, menyudutkanku di sana. Jantungku berdentam, mencengkeram ponsel yang masih bergetar. "Jangan dulu pergi ke mana-mana. Tunggu aku menyelesaikan semuanya." Badanku seketika lemas. Jantungku seakan turun ke perut begitu embusan napas Abi menerpa kulit wajahku. Napasku tersengal, mulut membuka menutup. Pipiku sudah merah padam. Cahaya matahari menyeruak ke sela-sela wajahku dan Abi. Sehingga membuat sorotan mata itu begitu memukau. Aku sekarang lemah. Merindukannya. Dulu, Ben menyuruhku untuk menunggu. Tapi akhirnya aku dan Ben berpisah juga. Sekarang Abi berkata demikian. Apakah ujungnya akan berakhir sama. Mereka berdua terlalu banyak birokrasi dan kompromi terhadap masa lalunya. Sehingga selalu memosisikan aku di peringkat kedua. Oh ayolah, perempuan mana yang ingin punya saingan. "Ana." Aku terkesiap melihat Naya di belakang Abi. Aku menggigit gigi geraham, menaikkan ke dua alisku, lalu mendorong d**a Abi untuk menyingkir, dan pergi tanpa bicara apa pun padanya. Aku nyaris membalikan badan kalau saja tanganku tidak mencengkeram lengan Naya kuat-kuat. Aku sedang berusaha baik-baik saja walau duka ini seakan menyilet kerongkongan. Menahan sejuta rindu di dalam sana. "Biarkan dia mati berdiri di sana, Ana." Desis Naya. "Dan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Kau menang atau kalian berdua yang akan menderita." Begitu kata Naya, dia berkata dengan yakin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD