Goodbye, Red.

1025 Words
Saat ini matahari begitu terik. Awannya putih menggumpal, langitnya biru cerah. Hari yang cocok sekali untuk ke luar rumah mencari peruntungan. Wangi bunga lavender dalam pot yang menguar lewat jendela yang terbuka membuat aku sangat bersemangat. Setelah mulai berpikir bahwa hidup harus terus berjalan, aku selalu berusaha tetap sesuai dengan rencanaku. Aku sedang berusaha kuat untuk kembali mengumpulkan semua rencanaku yang telah berantakan. Diriku memang patah parah, tapi bukan berarti hidupku selesai begitu saja. Masih banyak yang belum terselesaikan. Terlebih aku belum menemukan Vivi sampai saat ini. Kalau wanita itu aku temukan, aku bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa yang ada di pikiran Vivi saat ini, dan apa yang sedang dia hadapai. Walau yang dia lakukan padaku sangat jahat, lantas aku tidak langsung membencinya. Aku mengenalnya sangat lama, dia orang paling tulus diantara semua sahabat-sahabatku. Jadi, pasti dia punya alasan kuat untuk ini. Aku mengunci pintu rumah. Lalu menaruh kuncinya di pot bunga mawar warna kuning yang sudah berbunga sangat banyak. Ku pikir semua orang melakukannya. Menaruh kunci rumah di tempat rahasia, yang hanya anggota keluargamu saja yang tahu. Mbak Silvi, ku lihat sedang menyiram taman kecilnya yang penuh dengan bunga dan jenis-jenis dedaunan. Dia tersenyum ramah padaku dan aku membalasnya sebagai bentuk hormat. Beliau baik, punya anak kembar 3 yang masih lucu-lucu. Ya, anak-anak itu lucunya hanya sampai usia 3 tahun saja. Aku melambaikan tangan padanya begitu mobilku mulai berjalan. Aku tinggal di komplek perumahan tanpa pagar. Dengan rumah-rumah yang berdekatan satu sama lain. Ukuran rumahnya tidak terlalu besar tapi mahal. Properti di ibu kota memang tidak ada yang murah. Satpam komplek berdiri lalu membukakan tiang penyangga. Keamanan perumahan ini termasuk ketat, demi membuat nyaman para penghuninya. Aku membelah jalanan kota Jakarta dengan segala hiruk pikuknya. Kemacetan bukan lagi masalah. Sebagai penduduk yang mengadukan nasibnya di sini harus berdamai dengan segala kondisi yang ada. Aku memutar stir ke kanan, memasuki jalanan sempit penuh pepohonan. Kemudian berhenti di depan sebuah show room. Aku sudah memantapkan hati. Tempat ini di rekomendasikan oleh bang Arsen. Dia bilang, pemiliknya akan memberi harga yang sepadan. "Mbak, Ana." Badanku terlonjak mundur nyaris masuk kembali ke dalam mobil, saat ada seseorang datang menghampiriku dengan tiba-tiba. "Ah, maaf aku mengagetkanmu." Dia cengar cengir sementara aku masih menaruh kedua tanganku di d**a. "Dari mana kau tahu namaku?" "Arsen sudah menghubungiku." Katanya sambil tersenyum lebar. Aku mengangguk lalu menyapu pandangan ke seluruh show room. Beberapa mobil bekas berjejer rapi. Sepertinya dibersihkan setiap hari jadi walau bekas nampak seperti baru. Mataku beralih ke sebelah kiri, bukan hanya show room penjualan mobil, di sana juga terdapat bengkel. Ternyata tempat ini luas sekali. "Iya, jadi aku mau menjual mobil ini." Aku merentangkan tangan menunjuk mobilku yang terparkir. "Rama." Alih-alih menaksir harga mobil, dia malah mengulurkan tangannya padaku. Aku tampak kikuk namun menyambut uluran tangannya. "Ana." Dia kembali tersenyum. Rambutnya yang gondrong diikat ke belakang. Dia memakai setelan wearpack safety, baju kebangsaan orang bengkel. Jumsuit kalau dipakai oleh para gadis modis. "Duduk dulu, Mbak." Rama, cowok gondrong dengan perawakan atletis ini memimpinku untuk duduk di salah satu kursi-kursi yang disediakan untuk pengunjung. Begitu aku dan Rama duduk, salah satu pekerja di sini mendatangi kami untuk memberikan dua botol minuman dingin. Dia mengangguk kecil sebelum akhirnya pergi. "Jadi, mau dijual berapa?" "Loh, memangnya bakal laku berapa? Aku ikut saja." Lagi-lagi dia tertawa kecil. Receh banget. "Biasanya kalau mau jual, buka harga dulu. Setelah itu aku tawar." Aku mengangkat ke dua alisku. Menggaruk kepala sambil memandang mobilku dari kejauhan. Berapa harga yang pantas untuk mobil ini. "Berapa sih pasarannya? Tahun 2018." "Sudah lunas?" Dia bertanya "Aku beli cash." Rama mengusap dagunya, berpikir dengan kedua alis yang nyaris bertautan. Dia memang memiliki alis tebal yang nyaris bersatu. Bulu matanya saja lentik, kalah aku. Dia berdiri lalu berkata. "Bisa dinyalakan mobilnya?" Dengan sigap aku ikut berdiri dan mengekor Rama di belakang. Aku menyalakan mesin mobil, sementara Rama mengecek mesinnya di depan. Selama ini mobilku belum pernah bermasalah. Tentu saja. Mobil ini baru saja berusia dua tahun. Semoga aku bisa dapat harga bagus. "260, mau?" Katanya, aku tidak langsung menjawab, hanya menatap mobilku penuh kekosongan. Dengan harga yang dia tawarkan aku bisa membayar gaji karyawan serta pesangon, itu saja masih ada sisa. Aku bisa beli motor bekas nanti di Bandung untuk kendaraan operasionalku. Ya Tuhan, apa aku benar-benar sudah bangkrut. "Bagaimana? Aku sudah kasih harga bagus untuk mobilmu." Ya, dia memang menawarkan harga yang tidak rendah. Tapi bukan itu masalahnya. "Kalau masih sayang dengan mobilnya, jangan dulu dijual." Aku tersenyum kaku. Seolah ekspresiku jelas tergambar di wajah. "Tidak, aku memang mau menjualnya." "Tes drive dulu deh, yuk!" Aku memberikan kunci mobil padanya. Begitu dia terima, kami langsung masuk dan Rama melajukan mobil ini. Ku pikir akan ke jalan yang dekat saja tapi Rama membawaku sedikit agak jauh dari show room. Dia berbalik arah di belokan putar arah, lalu memelankan gas dan menepi di sisi jalan. "Bang! 2." Rama mengacungkan telunjuk dan jari tengahnya. Kepalaku menoleh ke samping mengikuti gerakan Rama. Aku mendapati sebuah gerobak dorong bertuliskan es podeng. "Es nya enak, siapa tahu saja bisa mendinginkan kepalamu." Tidak lama kemudian Bapak-bapak penjual es podeng datang membawa 2 cup es. Es podeng seperti pada umumnya, es serut yang dicampur buah-buahan, yang lebih aku suka tumpukan es krim yang banyak serta kacang tanah yang bertaburan. Mungkin dia benar, es ini bakal mendinginkan kepalaku. Melihat cuaca sedang terik-teriknya. "Yang ini cakep Mas, jangan diganti lagi." Si bapak-bapak es podeng mengacungkan jempolnya ke atas, kumis tebalnya seolah melambai-lambai padaku. Dia memamerkan sederet giginya yang besar dan agak berantakan serta kepalanya dianggukan padaku seperti sedang mengamati objek di museum. "Mobilnya." Ucap Rama kikuk begitu si bapak es podeng kembali ke gerobaknya. Seperti rahasianya telah terbongkar. "Oh, ku kira dia sedang memujiku." Rama terpaku sekejap sambil menatapku. Lalu sedetik setelahnya kami tertawa bersama, saling memahami bahwa bukan mobilnya yang dimaksud oleh bapak es podeng. Ya, aku bukan gadis lugu yang baru ke luar rumah. Ledekan seperti itu memang sering terdengar jika seorang laki-laki membawa perempuan ke tempat tongkrongan. "Enak, kan?" "Enak, orang gratis." Tawa Rama kembali santer. Aku jadi ikut tertawa karena melihat dia tertawa. Es podengnya dia simpan dekat persneling, sebelum akhirnya dia menjalankan kembali mobil ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD