Semua mata tertuju pada kepergian Rey. Aku tertegun menatap punggungnya yang menghilang dari pintu kaca geser, masuk ke dalam kamarnya. Aku melihat Sera yang mematung di tempat, dengan wajah cemas sedang melihatku juga. Aku mengedipkan mata pada Sera, memberi tanda kalau semuanya bisa diatasi.
Aku mengejar Rey, berusaha untuk menjelaskan kepada Rey. Perlahan aku mengetuk pintu kamarnya yang tertutup.
"Rey," panggilku dari luar. "Boleh Mami masuk?" sayup-sayup aku mendengar suara ia akan kecil dari dalam kamar. "Rey," ketukku sekali lagi karena tidak ada jawaban. "Rey," sekali lagi, dan aku memutar kenop pintu.
Rey, sedang duduk di ranjangnya menghadap dinding. Aku menatap punggungnya, dan melihat kedua pundaknya bergetar. Aku tahu apa yang membuatnya seperti ini. Dia tidak memiliki kenangan indah bersama Sera. Dia mengalami hari-hari yang buruk dengan ibunya. Seharusnya aku tidak langsung mempertemukan Sera dengan Rey secara tiba-tiba. Walau bagaimanapun yang berhak menentukan ingin bertemu atau tidak dengan Sera adalah Rey. Ini memang salahku.
Aku menarik napas, menarik kedua ujung bibir, lalu mendekat pada Rey. Tapi hanya duduk di sisi ranjang, berusaha memberikan jarak.
"Maafkan Mami," ucapku pelan. "Mami tidak bermaksud apa-apa. Tante Sera, hanya ingin meminta maaf padamu."
Dia diam. Aku juga diam. Menatap dinding bercat biru, dan kemudian menyesal.
"Mami tidak memaksamu untuk harus memaafkan tante Sera." Ucapku lagi. "Mami hanya bilang, kita semua hanya seorang manusia yang selalu melakukan kesalahan. Bahkan orang dewasa pun melakukannya. Termasuk tante Sera. Mami tahu, tante Sera telah menyakitimu terlalu banyak. Tapi bukan berarti tante Sera tidak memiliki kesempatan untuk menjadi lebih baik."
Rey membersit hidungnya oleh tangan. "Aku benci tante Sera." Suara Rey tercekat. Aku menunduk dan mengambil nafas. "Rey tidak mau melihat tante Sera ada di sini."
"Ya, kalau kau merasa tidak nyaman dengan tante Sera, Mami akan menyuruhnya untuk pulang." Kataku. "Tapi Mami minta satu hal padamu. Rey, boleh lihat Mami sebentar?"
Aku menunggu reaksinya. Perlahan dia membalikan tubuhnya menghadapku. Peluhnya membasahi kening dan pelipisnya. Matanya memerah karena air mata. Aku tersenyum kecil, kemudian membentangkan tangan, dan seolah mengerti, Rey menghambur ke pelukanku.
"Rey harus tahu. Tante Sera orang yang baik. Dia tidak bermaksud menyakitimu. Dia sayang sama Rey, ingin dekat dengan Rey, ingin memeluk Rey seperti Mami memeluk Rey. Tapi mungkin tante Sera tidan tahu caranya bagaimana."
"Dia.. Jahat." Rengekan darinya masih terdengar.
"Tidak, Rey," aku mendorong pelan kedua pundak Rey. Kemudian mengusap sisa-sisa air mata yang membasahi wajahnya. "Tante Sera tidak jahat. Oke, tante Sera punya salah padamu. Dia menyesal dan ingin minta maaf. Mami ingin kau menjadi anak yang berjiwa satria. Mau memaafkan kesalahan orang lain yang diperbuat pada kita. Tapi, Mami tidak memaksamu untuk memaafkan tante Sera sekarang. Mami tahu, kau butuh waktu untuk itu."
Rey menatapku, mengerjapkan matanya beberapa kali. Lama tidak ada tanggapan darinya. Sampai akhirnya, dia memelukku lagi dan berkata pelan.
"Rey, mau tante Sera pergi."
Aku menghela napas. "Oke. Baiklah. Tante Sera akan pulang."
Sekali lagi semua tergantung Rey. Sekuat apapun aku, aku tidak punya hak apapun.
***
Aku menutup pintu kamar Rey, tepat saat Sera berjalan ke arahku. Dia mengangkat kedua alisnya, dan aku mengangkat kedua pundakku sambil menggelengkan kepala.
"Maaf, aku tidak berhasil membujuk Rey."
"Tidak masalah, An. Aku mengerti." Sera mengusap pundaku. Bibirnya tersenyum, tapi aku tahu dalam hatinya menangis. Aku bisa merasakan itu, karena sepasang mata tidak mungkin bisa berbohong.
"Dia.. dia juga belum bisa bertemu denganmu." Ucapku hati-hati.
Sera mengangguk paham. Lalu menggendong Sienna. "Ya, kalau begitu, aku pamit. Terima kasih sudah mau membantuku."
Sungguh aku tidak tega melihat kekecewaannya. Seburuk apapun kami di masa lalu, dia juga berhak untuk mendapatkan kata maaf, dan perlakuan baik. Tapi aku juga tidak bisa memaksa Rey. Dia masih kecil untuk menerima secara langsung perilaku buruk seseorang. Dia juga butuh waktu.
Sera menoleh ke belakang, dan aku mendapati Abi segera Ben di sana. Menatap Sera dalam diam. Kemudian Sera berlalu membawa serta Sienna. Setelah Sera sudah tak terlihat, pria-pria di hadapanku menatapku tajam. Oo.. mereka kenapa.
"Jadi, ini rencanamu? dan karena inilah kau mengundangku makan bersama?" Ben langsung mencecarku. Matanya nyalang marah.
"Ben, kau tidak berhak membentak istriku." Abi memperingati.
"Tapi ini ada sangkutpautnya dengan Rey. Bagaimana kalau mental Rey terganggu?"
"Ben, dia ibunya." Sanggah ku. Kepalaku kemudian berdenyut.
"Ya, aku tahu. Tapi tidak seperti ini caranya, Ana. Kau lupa, bagaimana traumanya Rey saat itu."
"Ana berusaha mempertemukan Rey dengan ibunya." Abi berkata.
"Tapi tidak seperti ini caranya. Kalian lihat, Rey langsung kabur begitu melihat Sera."
Ada apa ini. Kenapa kepalaku terus berdenyut. Dan sekarang malah berputar-putar. Aku butuh topangan. Diam-diam aku memegang gagang pintu kamar Rey.
"Ben, ini rumahku. Kau tidak berhak membuat keribugan di sini."
"Rey, juga anakku. Aku berhak atas hidupnya."
"Apa kau bilang?" samar-samar aku melihat Abi seakan ingin menyerang Ben. Dan Ben pun siap dengan gerakan Abi yang mendadak.
Tapi tiba-tiba, tubuhku lemas, dan rumah ini menjadi gelap.
***
Setahuku, bumi ini berputar. Tapi aku tidak pernah tahu kalau putarannya bisa aku rasakan secepat ini. Seisi rumah ini seolah bergerak. Dan aku ikut bergoyang-goyang. Mataku setengah terbuka, dan langsung mendapati wajah Abi tepat ada di depan wajahku.
"Kau baik-baik saja?" begitu yang keluar dari mulutnya saat mataku sudah membuka sempurna.
"Ya, aku tidak apa-apa. Hanya lemas saja. Ben, sudah pulang?" tanyaku.
"Sudah aku usir dari tadi." Jawabnya. Dan aku berdecak.
"Aku lapar." Ucapku seketika sambil memegangi perutku dan meringis.
"Ya ampun, Ana. Kau pingsan karena lapar?" Abi nyaris menjatuhkan kedua bola matanya. Dan aku tertawa melihatnya, sambil menangkup kedua pipinya.
"Aku belum malam sejak tadi pagi. Seharusnya aku sudah makan siang. Tapi karena kau dan bertengkar aku jadi pusing."
"Memangnya karena apa aku dan Ben bertengkar? hah?"
Aku hanya bisa tertawa melihatnya misuh-misuh. Mencak-mencak karena tidak terima, aku pingsan hanya karena belum makan. Bukannya semua itu wajar, ya? tubuh manusia kan butuh asupan.
Walau Abi menggerutu, tapi dia tetap mengambilkan satu piring nasi lengkap dengan lauk pauk, dan membawakannya padaku, yang masih belum ingin beranjak dari tempat tidur.
"Makan yang banyak. Aku tidak ingin kau ditemukan terkapar di jalan karena lapar. Mau ditaruh di mana mukaku sebagai suamimu. Nanti aku disangka tidak mampu menafkahimu."
Astaga kenapa dia lucu sekali. Dia bisa marah-marah sambil menyuapkan aku makan. Dia persis ibu-ibu yang sedang memaksa makan anaknya yang sedang melakukan gerakan tutup mulut, alias tidak mau makan.
"Aku bisa tersedak kalau kau terus mengoceh seperti itu."
Dia Mendelikkan matanya padaku. Lalu menyendokkan lagi satu suapan padaku.
"Aku akan membantumu membujuk Rey." Katanya. Dan aku tersenyum kecil. Aku tahu, hanya dia yang mampu memahamiku dan mengerti bagaimana aku.