"Aku dengar kabar dari Vivi, kalau kau bertemu dengan Sera. Bahkan kau mau mempertemukan Sera dengan Rey. Apa sih yang ada di otak cerdasmu, An?"
Dessert box rasa tiramissu yang ada di hadapan Fay
tinggal setengah. Padahal yang aku tahu, dia sedang menjalani diet. Tapi, pagi ini dia bertandang ke toko dan langsung memesan dessert box.
"Apa salahnya kalau seorang ibu ingin bertemu dengan anaknya?"
Fay memalingkan wajah, merasa jengah. "An, jangan jadi naif. Kalau hubungan mereka baik, aku juga tidak akan heran. Apa kau lupa ingatan, apa yang terjadi pada mereka? bagaimana hubungan ibu dan anak itu."
"Sera hanya perlu rangkulan, Fay. Dia tidak sejahat itu."
Aku kembali menatap heran pada Fay yang nyaris menghabiskan satu box dessert itu.
"Kau bosan jadi ibunya Rey?"
Mataku terpejam seiring tarikan napasku yang dalam. "Ini tidak ada hubungannya dengan aku bosan atau aku mau pensiun." Kataku. "Rey juga berhak mengenal siapa ibu kandungnya. Sera juga berhak dekat dengan anak kandungnya." Aku menatap Fay tajam. "Bagaimana jika aku tidak akan selamanya ada di sisi Rey? bukannya lebih baik dia bersama dengan ibu kandungnya?"
"Sera sakit," ucapnya seolah memberi keterangan paling valid.
"Dia sembuh, Fay. Dia sudah menerima dirinya sendiri. Dan telah menjalani pengobatan. Dia juga menjadi seorang ibu asuh. Itu artinya dia dinyatakan sehat."
"Abi setuju?" Fay menjatuhkan tatapannya padaku, sambil menyuapkan satu sendokan terakhir ke dalam mulutnya.
"Justru dia orang pertama yang mendukungku."
Fay menghela napas. Kemudian melirikkan matanya ke dessert box yang telah kosong. Dan detik berikutnya dia berteriak membuat aku terkejut.
"Kenapa ini bisa habis?" katanya cemas. Aku jadi ikutan bingung.
"Ya, karena kau menghabiskannya." Jawabku tak kalah heboh.
"Astaga, An. Kenapa aku bisa khilaf? kenapa kau tidak menahanku? bagaimana ini? bagaimana dengan timbangan ku?" Fay melotot padaku.
"Tenang, oke. Ini hanya satu box. Bukan sepuluh." Tandasku.
"Ini gawat, An. Aku tidak pernah menghabiskan makanan manis banyak-banyak." Fay memegangi kepalanya. "Tapi ini enak, An." Fay meringis nyaris menangis. Aku antara ingin tertawa dan kasihan melihatnya.
***
Sepertinya obat dari klinik itu tidak berefek apa-apa padaku. Kepalaku tetap terasa nyeri. Bahkan sampai-sampai rasanya mau pecah. Aku bertumpu pada dinding dapur karena khawatir akan terjatuh. Saat adonan kue pie akan dibuat, Vivi masuk ke dalam dapur.
Dia mencari sesuatu.
"Ada apa, Vi?" tanyaku.
"Kau lihat kertas kecil yang- oh ini." Dia menjerit. Lalu mengambil kertas yang dia maksud di meja.
"Kau sakit? wajahmu pucat, An." Vivi memeriksa wajahku. "Kau jarang makan? aku perhatikan badanmu semakin kurus saja."
"Aku perlu ke dokter, Vi. Kepalaku sakit sekali."
"Aku antar, ya." Vivi menegakkan tubuhnya.
"Tidak, biar aku sendiri. Kalau kau mengantarku, siapa yang jaga toko?"
Hari ini Naya kembali Absen. Dia bilang, dia pergi ke Bekasi karena akan mendekor acara tunangan seorang selebgram. Katanya pekerjaannya kali, sangat penting. Dengan dia bekerjasama bersama orang terkenal otomatis pamornya sebagai jasa decoration akan naik. Namanya akan melambung tinggi, dan bisnisnya akan terus sukses. Dia juga membawa beberapa kue di toko kami, yang akan dia berikan secara cuma-cuma pada kliennya. Kemudian dia akan meminta si selebgram itu untuk mempromosikan toko kue kami. Ide yang cerdas.
"Kau yakin, bisa sendiri?" tanyanya terlihat ragu.
"Iya, Vi. Aku berangkat ya."
"Hati-hati."
***
Kebetulan sekali mobilku sedang di bengkel dan aku ke toko diantar oleh Abi. Jadi, sekarang aku pergi ke rumah sakit memakai taksi online. Tapi, syukurlah aku tidak perlu nyetir sendiri dalam keadaan pusing seperti ini.
Aku ikut mendaftar bersama pasien lain. Hari ini tidak begitu ramai, jadi aku dapat antrean kecil. Dan tidak lama setelahnya aku langsung masuk ke ruang pemeriksaan.
Aku menjabarkan apa yang aku rasakan akhir-akhir ini. Termasuk pusing yang teramat sangat di kepalaku. Lelah yang berlebihan, dan seperti kata Vivi, penurunan berat badan yang berlebih.
Banyak sekali tahapan pemeriksaan yang dilakukan ku hari ini, tapi hingga saat ini dokter belum bisa memberikan doagnosis apapun padaku. Dokter bilang, aku harus melakukan rontgen terlebih dahulu. Besok dokter akan menjadwalkan nya. Dan hari ini, aku hanya diberi resep obat pereda nyeri jika pusing di kepalaku kembali kambuh.
Karena kondisi tubuhku yang tidak mumpuni untuk kembali ke toko, aku meminta izin pada Vivi untuk istirahat di rumah. Vivi setuju. Dan aku ingin secepatnya pulang ke rumah.
***
Rey sudah sampai rumah. Pulang bersama Roger tetangga kami. Aku memang sering meminta orang tua Roger untuk pulang bersama kalau Rey tidak bisa dijemput. Kebetulan Ben sedang ada di luar kota. Dan kalaupun Ben bisa menjemput Rey, Abi pasti tidak akan setuju. Dia masih memiliki sisa dendam bekas kemarin terhadap Ben.
Seperti biasa, Abi izin untuk meeting di kantor cabang di Bogor. Aku tak terlalu peduli apakah dia berbohong atau tidak. Aku juga seperti tidak punya cela untuk menegurnya. Urusanku dengan Sera menyita waktuku untuk mengetahui tingkah aneh Abi.
Mbok Darmi aku izinkan pulang saat jam 5 sore. Sebenarnya, aku ingin mbok Darmi tetap tinggal di sini sampai Abi pulang. Tapi, kasihan kalau mbok Darmi harus pulang malam.
Sebelum pulang, mbok Darmi membereskan baju kotor terlebih dahulu untuk di cuci besok. Dan panggilan mbok Darmi yang nyaring membuatku terlonjak.
"Bu, ini ada di saku celana Bapak." mbok Darmi memberikan satu lembar kertas padaku. Beliau memang selalu memberikan sesuatu yang tertinggal di baju cucian kotor.
"Iya, Mbok. Terima kasih."
Awalnya kupikir hanya kertas tidak terpakai, saat aku akan membuangnya, aku memeriksa kembali kertas ini. Sebuah kwitansi p********n.
Aku terduduk lemah di kursi meja rias kamar. Menatap dengan keterkejutan pada satu lembar bukti p********n tersebut. Aku menutup mulutku tidak percaya. Aku tidak bodoh. Aku tahu kalau ini menandakan bahwa Abi baru saja membeli sebuah rumah. Kemudian dengan tergesa-gesa aku mencari sesuatu. Barangkali dia menyimpan sebuah brosur atau apa. Aku harus tahu di mana persisnya alamat rumah ini.
Aku berlari menuju tempat laundry, kembali mengacak-ngacak baju cucian kotor itu. Siapa tahu ada hal lain lagi yang tertinggal. Tapi aku tidak menemukan apa-apa di sana. Aku diam sebentar untuk berpikir. Dari mana dia bisa mendapatkan uang ratusan juta itu.
Aku merosot di dekat mesin cuci. Kenapa dia tidak mengatakan apapun padaku soal ini. Dia bukan sedang membeli jam tangan atau barang kecil lainnya, yang tidak perlu izin dariku. Tapi, ini rumah. Rumah.
Aku kembali berlari menuju kamar. Biasanya Abi menaruh hal-hal penting di sebuah laci parsiti. Dengan terburu-buru dan napas yang tersengal, aku mencari-cari bukti lain. Dan ketemu.
Sebuah berkas-berkas hasil dari pembelian rumah di kawasan Jakarta Utara secara cash. Aku tahu di mana letak rumah ini. Bukankah perumahan ini ada di daerah yang waktu itu aku melihat Abi pergi.
Atau jangan-jangan..
Aku segera mencari ponsel dan menelpon Nessa.
"Hallo, Nes."
Begitu Nessa menerima telepon, perasaanku mulai tidak tenang dan berkecamuk.