"Bagaimana kalau giveaway yang pertama kali kita adakan, hadiahnya satu box kue pie?"
"Astaga, Vi. Jadi orang jangan kikir." Tandas Naya.
"Memangnya, mau berapa juta yang kau keluarkan? kita juga harus melihat laba kita di minggu ini, bahkan bulan ini."
Aku tidak terlalu memerhatikan mereka. Dari dulu konsep menarik perhatian pelanggan muncul dari idenya Vivi. Termasuk desain interior restoran, adalah idenya. Tugasku hanya bagaimana caranya memanjakan lidah pembeli. Jadi, aku tidak punya banyak ide untuk itu. Biarlah, jadi urusan Vivi dan Naya saja.
Di tengah-tengah perdebatan tentang hadiah apa yang akan diberikan kepada calon pembeli, lonceng toko kue ini berbunyi. Dan aku mendapati seseorang yang memang aku tunggu-tunggu.
Sera.
Dia masuk bersama dengan gadis cilik perempuannya, bernama Sienna. Kali ini rambutnya yang panjang di kuncir dua. Memakai rok tutu warna abu-abu, dan kaus singlet warna pink. Gayanya memang Sera sekali.
"An," Vivi menyentuh tanganku saat aku akan beranjak dari kursi yang ku duduki. Aku menoleh, dan tercengang dengan tampan bodoh Vivi dan Naya. "Tidak apa-apa. Aku yang mengundangnya ke sini."
"Hai," sapa Sera. Kemudian kami saling menempelkan pipi kanan dan kiri. Kemudian menyapa Sienna.
"Hallo, Sienna. Kau cantik sekali hari ini. Seperti bundamu." Sienna hanya senyum-senyum malu, sambil menempelkan tubuhnya pada Sera. "Duduk di sini, saja."
Aku memimpin Sera dan Sienna, duduk di barat kecil yang menghadap jendela tembus pandang. Melihat orang-orang berjalan hilir mudik di trotoar.
"Maaf, telat. Aku ada janji dengan temanku."
"Tidak apa-apa, aku juga sedang santai, kok."
Aku sengaja mengundang Sera ke sini. Setelah mendapat lampu hijau dari Abi soal keinginan Sera bertemu Rey, aku langsung akan mendiskusikannya dengan Sera. Entahlah, kenapa aku begitu antusias ingin menyatukan Rey dengan Sera. Tidak, bukannya aku tak ingin lagi menjadi ibu Rey. Justru karena aku sangat mencintai anak itu.
"Apa, Abi mengizinkan aku untuk bertemu dengan Rey?" tanya Sera hati-hati. Ekspresi wajahnya begitu jadi cemas.
"Asal Rey setuju, maka Abi akan mengizinkan. Walau bagaimanapun, pendapat Rey juga diutamakan. Kau mengerti, kan?"
Sera terdiam. Dia tercenung menatap ubin. Kemudian mengusap kepala Sienna. "Alasanku mengadopsi Sienna, adalah karena kupikir Sienna bisa menjadi pengganti Rey. Dan kami, bisa memulai hidup baru bersama. Tapi, ternyata, dugaan ku salah. Rey tidak bisa digantikan oleh siapapun. Tapi aku tidak menyesal telah menjadi ibu asuh Sienna. Karena saat ini, hanya dia yang menjadi penguat hidupku." Mata Sera berkaca-kaca. "Aku bertemu dengan dengan bapakku, satu bulan sebelum bapak meninggal."
"Mang Agus meninggal?" aku memotongnya. Begitu sangat terkejut dengan pemberitaan ini.
"Serangan jantung," katanya. "Sama seperti ibu." Air mata Sera terjatuh juga. "Aku merasa sangat buruk menjadi manusia. Aku mengecewakan orang tuaku, meninggalkan Abi dan Rey. Orang-orang yang sangat menyayangiku, lalu mencoba melampiaskan kemarahanku padamu. Menyalahkanmu, atas semua yang terjadi padaku." Aku menepuk pundaknya. "Sekarang, aku tidak punya siapa-siapa. Kecuali Sienna."
Aku tertegun memandang Sera. Di mataku, dia nampak begitu sempurna. Memiliki paras yang cantik, karir yang melejit, finansial yang berlimpah. Kupikir semua itu bisa membuatnya bisa berdiri tegak dari segala masa lalu buruk yang dia lalui. Kupikir dia akan menjadi orang yang kuat, yang bisa menyongsong dunia. Dunia yang dulu pernah menertawakannya.
"Aku tidak bisa banyak melakukan apa-apa untukmu. Aku akan lakukan semampuku. Tapi, aku tidak bisa berjanji padamu."
"Dengan kau mau bicara denganku saja, itu sudah lebih dari cukup."
Aku menarik nafas, lalu menjatuhkan tatapanku pada Sienna. Dia tersenyum malu-malu padaku. "Tante punya kue pie untukmu. Sebentar, ya."
Lalu aku berjalan menuju dapur, membawa satu kota kue pie mini isi buah-buahan, dan dessert box coklat. Kemudian membawanya ke hadapan Sienna. Saat aku akan memberikan dessert pada Sienna, tangan Sera menahanku, membuat aku cepat-cepat menoleh padanya.
*Maaf, An. Sienna alergi coklat. Dia tidak bisa makan makanan yang mengandung coklat." Terangnya.
"Oh, begitu." Aku mengangguk. Lalu melihat Sienna yang memasang wajah kecewa. "Kau tenang saja, tante punya puding untukmu." Kataku. "Kalau puding rasa buah, boleh?" tanyaku pada Serra.
"Ya, boleh, kok."
Lalu aku mengambil silky puding rasa mangga di kulkas toko. Menu favorit orang-orang. Sienna makan dengan lahap. Dan aku selalu senang kalau orang suka dengan makanan buatanku.
"Aku dan Abi akan mencoba bicara pada Rey, pelan-pelan. Tapi, mungkin kami akan memperkenalkanmu seperti Rey mengenal Ben."
"Emm.. sebagai tantenya? atau.. "
"Temanku. Seperti Vivi." Aku tersenyum diakhir kalimat.
Sera menundukkan kepalanya, kemudian mendongak kembali sambil tersenyum padaku. Aku tahu dia setuju. Dan kurasa ini jalan satu-satunya. Mereka bisa saling mengenal dan menjadi dekat, tanpa perlu membuat Rey bingung.
"Aku hanya dua minggu di sini, kapan aku bisa bertemu Rey?" aku nampak berpikir. "Aku bukannya ingin buru-buru. Tapi hanya memastikan saja, aku butuh persiapan."
"Biasanya kalau weekend, Abi selalu mengajak kami jalan-jalan. Tapi karena Rey sedang sakit, bagaimana kalau aku undang kau untuk ke rumahku?"
"Kau.. yakin?" tanya Sera. Aku melihat keraguan di wajahnya.
"Aku akan memperkenalkanmu sebagai temanku kepada Rey." Jawabku meyakinkan.
"Bukan, maksudku, kau tidak merasa tidak nyaman kalau aku dan Abi harus bertemu."
"Kau masih berharap padanya?" mataku memicing.
"Tidak.. tidak, Ana. No!" Sera gelapan, dia sampai mengibas-ngibaskan kedua tangannya dengan matanya yang melebar. "Maksudku-"
"Aku tidak apa-apa," ucapku cepat dengan tawa kecil. "Aku juga akan mengundang Ben. Bagaimana?"
Dia menggigit bibirnya, berpikir sejenak dengan wajah yang tidak meyakinkan. Kemudian dia menganggukan kepalanya tanda setuju.
Aku yakin, aku tidak apa-apa. Justru aku senang kalau semuanya berkumpul bersama.
***
"Kau yakin?" tanya Abi berkali-kali. Dia menyendokan nasi ke atas piring.
"Kalau kau tidak setuju, aku bisa batalkan."
"Bukan itu masalahnya. Aku mengkhawatirkan dirimu."
"Aku tidak apa-apa, Bi. Serius."
Dia memandangku sejenak. Lama tidak ada jawaban sampai akhirnya dia berkata.
"Oke,"
Kemudian, aku bersorak riang. Abi memandangku keterangan. Tapi siapa yang peduli.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali aku ke pergi ke pasar untuk belanja bahan makanan. Aku berangkat setelah subuh. Karena biasanya sayuran malam masih segar. Baru turun dari petani.
Aku memasuki tempat jualan daging. Di pasar, apalagi masih subuh, kualitas daging sapi masih bagus. Jadi, aku memutuskan untuk membeli dua kilo daging. Untuk persediaan di rumah juga. Aku masuk ke tempat sayur, dan terpikir ingin membuat soto daging dan ayam saja.
Namun, saat aku berbelok ingin membeli ayam, kepalaku berdenyut. Dunia ini tiba-tiba berputar cepat, lalu gelap. Dan aku tidak sadarkan diri.