Sejak awal aku memang sudah menyadari bagaimana posisiku di keluarga ini. Kupikir aku tidak memiliki hak apapun atas Rey. Aku hanya seseorang yang menyayanginya, ingin memberikan kasih sayang yang tulus. Itu saja. Aku juga tidak ingin mengambil alih semuanya atas Rey. Aku cukup tahu diri. Dengan telah memberikan segala yang aku bisa, itu sudah lebih dari cukup. Apa aku salah, kalau aku ingin membuat Rey lebih bahagia, dengan memberikannya keluarga yang utuh. Seperti Ben, yang selama ini dia anggap sebagai seorang paman. Dan Sera, yang selama ini dia takuti. Tapi semuanya bisa berubah, kan?
Ada yang menyentuh pundakku. Mengusapnya dengan lembut. Aku membungkam bibirku, saat cairan asin itu jatuh di pipi.
"Aku hanya merasa, kau dan aku saja sudah cukup untuk Rey. Tidak ada orang lain." Aku mendengar Abi berkata lembut.
"Ben, dan Sera bukan orang lain. Dan kita akan menjadi orang egois untuk Rey, kalau kita terus menyembunyikan kebenarannya." Kataku di tengah suara isakan kecil.
"Rey masih terlalu kecil untuk tahu segalanya. Kita semua sudah sepakat."
"Aku tahu. Bukannya aku memihak Sera, dan bukan juga aku membenarkan perbuatannya di masa lalu. Tapi, Sera juga punya hak yang sama seperti Ben. Rey juga sudah sepantasnya mengenal Sera." Aku mengusap air mata oleh punggung tangan. "Aku tidak bermaksud ingin lepas tanggung jawab atas Rey. Aku hanya ingin hidupnya lebih bahagia. Itu saja."
"Rey sudah bahagia bersama kita."
Aku membalikan badanku. Wajahku dan Abi hanya berjarak satu jengkal saja. Dia mengusap pipiku dengan ibu jarinya. Dan satu tanganku terulur mengusap wajahnya. Dari jarak sedekat ini aku bisa menyelami matanya. Tatapannya memang mampu meneduhkan ku.
"Kau cinta padaku?"
Dahinya berkerut, membuat ujung alisnya nyaris bersatu. Mungkin merasa aneh dengan pertanyaanku. Tapi, itulah yang ingin aku tanyakan padanya.
"Kenapa kau mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas?"
"Apa menurutmu, semuanya sudah terlihat jelas?"
"Apa selama ini tidak sampai ke hatimu?"
Padahal tinggal katakan saja, dan semuanya selesai. Terkadang aku hanya ingin mendengar kesaksian dari bibirnya saja.
"Katakan saja."
Pertanyaan itu sebenarnya sering aku tanyakan. Aku selalu mendapat jawaban yang sama, yang membuat aku tenang. Tapi, aku hanya takut suatu hari nanti jawabannya akan berbeda. Seharusnya reaksinya tetap sama, seperti dulu. Tapi sekarang dia mulai nampak bosan. Atau aku yang memang kekanakan.
"Ya, kau tahu jawabannya, An." Dia mengacak rambutku. Kemudian bergerak mundur dan duduk tegak di atas ranjang. Kulihat, Ruby masih tertidur pulas. Aku tidur menyamping, masih menunggu jawabannya. "Soal Sera ingin bertemu Rey, aku ingin mendapat persetujuan dulu dari Rey. Pertama-tama, dia harus sembuh."
Apa permintaanku terlalu sulit. Atau pertanyaanku terlalu rumit, hingga dia tak mampu menjawab. Bagaimana kalau hatiku mengatakan dia tak lagi cinta?
***
Rey sudah menjalani fisioterapi selama satu minggu untuk memperbaiki posisi tulang tangannya. Perkembangannya lumayan bagus. Tangannya sudah tidak di gips, hanya dipakaikan perban. Rey juga sudah mulai masuk ke sekolah.
Awalnya Rey ngotot ingin pindah sekolah, karena tidak ingin satu sekolah bersama Brian. Tapi tidak disangka, ternyata Asti telah lebih dulu memindahkan Brian ke sekolah lain. Dan lebih mengagetkannya lagi, Asti sama sekali tidak membayar tagihan rumah sakit, walau aku sudah mengirimi Asti rincian biayanya. Asti benar-benar lari dari tanggung jawab. Dan Abi hanya mengatakan, sabar. Semua pasti ada balasannya.
Hari ini, aku yang mengantar Rey ke sekolah bersama dengan Abi. Rey sudah tidak takut untuk masuk sekolah, setelah mengetahui Brian sudah tak ada di sekolah yang sama.
"Mbak Ana, dan Pak Abi, tidak perlu khawatir. Aku akan menjaga Rey di sekolah. Dan, kami para guru-guru akan lebih ketat lagi mengawasi semua murid, agar insiden ini tidak terulang lagi." Jelas miss Shafiya. Aku tahu, sejak Rey masih di taman kanak-kanak, miss Shafiya memang sudah dekat dengan Rey.
"Terima kasih, Miss. Aku berharap Rey bisa bersekolah dengan tenang. Aku percaya kalau Miss mampu membantu menjaga Rey."
"Terima kasih, Miss." Abi mengangguk sopan.
Terkadang aku masih sering melihat, tatapan Shafiya pada Abi dan Ben, seperti ingin menyemburkan tawa kepada mereka. Dan itu pasti karena kejadian baku hantam mereka saat Rey di wisuda dulu. Tapi Shafiya menahan keinginan itu, semua profesionalnya dalam bekerja. Dia juga tidak pernah membahas hal itu lagi.
Tak berselang lama, saat kami akan pergi, Ben muncul. Aku melirik pada Abi, yang sudah memasang wajah tidak suka. Kemudian secara tiba-tiba dia menggandeng tanganku. Reflek, aku melihat pada tanganku yang bertautan dengan jemari Abi, seperti orang yang akan menyebrang jalan. Entah dia melakukannya atas dasar apa. Kalau untuk menunjukan kemesraan di depan Ben, kurasa Ben juga tidak peduli.
Terbukti, Ben sama sekali tida melirik pada tangan-tangan kami. Dia mengangguk kecil pada Shafiya, kemudian melihat ke arah kami.
"Rey, sudah masuk ke dalam kelas?"
"Sudah,"
Seketika aku terlonjak saat jawaban itu keluar dari mulutku dan Shafiya secara bersamaan. Kemudian kami saling tatap, dan kami tertawa bersama. Ben, juga ikut tertawa. Kecuali, Abi. Dia sariawan atau bagaimana sih.
"Oke, mungkin aku akan bertanya pada ibu guru saja." Ucap Ben, dan Shafiya kenapa jadi misuh-misuh begitu. Aku mengerutkan dahi. Mengingat kejadian canggung di acara pernikahan Vivi.
Kalau mereka sampai berjodoh, lucu juga.
***
Abi mengantarku ke toko kue. Di sana sudah ada Vivi dan Naya. Ya, Naya sepertinya sudah bertaubat. Dia sering bertandang ke toko, dan mulai aktif mengelola akun sosial media kami, dan melayani orderan lewat online.
"Aku punya ide menarik!" seru Naya. Aku dan Vivi menoleh, lalu saling pandang. Kemudian mendekat pada Naya yang sedang berada di meja pojok. Spot favorit Naya.
"Apa idenya?" Vivi menyeret bangku dan duduk dekat Naya. Menopang dagu di atas permukaan meja bundar.
"Bagaimana, kalau kita adakan giveaway?"
"Hadiahnya?" tanyaku.
"Uang dong," jawab Naya setengah sebal.
"Itu artinya, kita harus buat cashflow lagi, Nay. Memangnya tidak ribet?" Vivi bersungut-sungut. Selama ini memang dia yang mengatur cashflow keuangan toko kue ini. Dia memang berbakat. Dan ya, aku sudah kembali memercayainya.
"Ada penambahan jobdesk, apa susahnya, sih? ini juga demi kelangsungan toko kue kita. Ingat, Vi. Di luar sana, banyak sekali saingan kita. Dan kita harus buat inovasi, agar pembeli selalu ramai." Kata Naya berapi-api. "Ini yang aku pelajari dari Fay. Katanya, bisnis itu harus ada sesuatu yang beda. Yang menarik perhatian. Nah, giveaway itu, akan menarik perhatian calon pembeli."
"Aku setuju." Kataku. Dan Naya tersenyum penuh kemenangan.
"Oke, kita buat konsepnya. Berapa uang tunai yang harus kita keluarkan?"
Dengan semangatnya yang membara, Naya kembali fokus pada layar laptopnya. Tidak memedulikan Vivi yang garus-garuk kepalanya. Mulai terserang rasa penat. Aku hanya senyum-senyum melihatnya.