Listen to me! do you love her

1143 Words
Aku begitu takut. Sangat takut hingga sekarang aku kehilangan rasa percaya diriku. Belum apa-apa aku sudah merasa kehilangan segalanya. Kedua tanganku memeluk pinggang Ben erat sekali. Tangisku pecah. Hatiku luluh lantak. Sudah begitu sangat lelah. Ben mengusap punggungku naik turun. "I love you, Ben." ucapku. Suaraku parau dan serak. Terbenam di d**a Ben. "Hey," Ben menarik kepalaku. Mengusap air mata yang banjir di pipi. "Aku juga." Katanya. "Tidak perlu kau ragukan lagi." Tapi hatiku menolak itu. Rasa cintanya justru tidak sampai di hatiku. "Ben," kataku. "Kalau Sera masih hidup. Apa kau akan tetap bersamaku?" Dia tidak langsung menjawab. Hanya memandangiku. Sedangkan aku menunggu jawabannya dengan cemas. Kedua matanya menatapku penuh tanya. Dahinya berkerut seolah pertanyaanku adalah pertanyaan paling sulit di dunia. Pada kenyataannya pertanyaan itu memang sangat sulit untuk dia jawab jika Ben masih berharap pada Sera. "Kau ini bicara apa?" Ben menyentil keningku. Dia menyunggingkan senyumnya. "Sepertinya kau butuh liburan An, persiapan pernikahan membuatmu stres rupanya." "Jawab saja." "Sayang, bagaimana kalau kita bertemu Rey bersama. Ini kan hari libur. Kita ajak Rey jalan-jalan. Siapa tahu suasana hatimu bisa kembali normal." Tidak ada yang bisa aku harapkan. Dengan dia tidak menjawab pertanyaanku, aku semakin yakin kalau separuh hatinya masih milik Sera. Atau mungkin seutuhnya. Aku? Ku rasa aku tidak memilikinya barang seperempatnya saja. *** Rahasia. Semua orang memilikinya, bukan? Seperti hal-hal kecil yang tersimpan rapi di suatu ruangan. Atau seperti baju-baju kesayangan yang sudah tak terpakai, tapi tidak ingin membuangnya. tersimpan di dalam lemari kayu. Bukan salah Abi untuk tidak berkata apa-apa padaku soal hidupnya. Dia berhak untuk diam pada siapapun. Termasuk padaku. Menyusuri rak buku dalam perpustakaan, bayangan Abi dan Sera berpelukan masih terus menggelayuti pikiranku. Seperti gerakan film yang diputar cepat. Sungguh sangat mengganggu otaku. Hari ini bukan weekend, tapi pagi tadi pesan dari Abi untuk tidak menjemput Rey masih saja menjadi keanehan. Siang ini pun dia tidak datang. Mendadak bumi ini seperti ruang hampa. Tidak begitu berarti. Satu pesan masuk. Aku mengusap layar ponsel, dan mendapati satu pesan w******p di sana dari Ben. Dia mengirim gambar surat undangan yang di forward dari seseorang. Dari teman ibunya mungkin. Karena beberapa waktu lalu, tante Farida menawarkan pemesanan surat undangan pernikahan di temannya. Aku menghela napas, lalu kembali menaruh ponsel di atas meja tidak ada gairah untuk membahas tentang pernikahan. Di tanganku sudah ada n****+ Kidung Sunyi yang sempat menjadi perdebatan antara aku dan Sera. Selama beberapa menit aku memandangi buku tersebut. Membolak balikan isinya tanpa aku baca. Kalimat Sera saat itu tentang arti buku ini sungguh sangat mengganggu. Aku mulai paham kenapa dia begitu sangat menginginkannya. n****+ Kidung Sunyi menceritakan tentang kisah romansa antara dua sejoli yang dimabuk cinta namun berakhir tragis. Aku tidak pernah suka dengan cerita sad ending, tapi n****+ karangan Sagala Agung menjadi pengecualian. Kisah pahit dalam n****+ ini justru membuatku menginginkan pria seperti Genta. Pria sejati yang dengan keberaniannya mampu berkorbam demi apapun untuk wanita yang dia cintai. Termasuk nyawanya sendiri. Entah siapa pria yang Sera rindukan selama ini dan dia sesalkan kepergiannya. Tapi dua pria itu pasti akan sama-sama membuat hatiku sakit jika tahu kenyataannya. Ada yang menaruh sepotong cake red velvet ke hadapanku. Fay. Dia menarik kursi lalu duduk di depanku. "Ben sudah tahu kalau mantan kekasihnya hidup kembali?" "Dia tidak pernah mati, Fay," ujarku. "Begitu yang aku asumsikan." Fay menopang dagunya dengan sebelah tangan. "Seberapa cantik sih? Sampai-sampai kau kehilangan kepercayaan diri." Aku menghela napas sambil membayangkan sosok Sera. Selama tinggal di bumi, aku belum pernah melihat wanita dengan paras sempurna seperti Sera. Sepertinya Tuhan sedang dalam kondisi hati yang baik ketika menciptakannya. Pantas, Abi sampai tergila gila. "Fay.. Aku hanya tinggal menunggu nasib saja. Mereka berdua akan segera lenyap dari kehidupanku. Apalagi Ben. Aku tidak yakin pernikahanku akan terus berlangsung begitu Ben tahu keberadaan Sera." "Bagaimana kalau culik saja dia." Tanganku yang bebas memukul tempurung kepalanya. Dia mengaduh kesakitan. "Bicara yang benar." Ide yang cemerlang kalau saja aku sudah tidak punya otak yang waras. Ada banyak hal yang tidak aku mengerti di dunia ini. Seperti halnya aljabar, panjang dan rumit. Mungkin memang tidak seharusnya aku mengerti. Cukup hanya perlu dibiarkan mengalir tanpa harus dibuat pusing. "Vivi masih belum bisa dihubungi?" Pertanyaan Fay mengembalikan kesadaranku dari lamunan. Anak itu memang tidak ada kabar sejak beberapa hari kemarin. Niatku untuk mengunjungi dia di tempat kos juga belum terlaksana. "Dia pasti punya masalah." "Pasti rumit. Sehingga dia tidak bisa mengatakan apa-apa padamu." Rumit. Semua memang serba rumit. Tidak ada yang mudah akhir-akhir ini. *** Sudah dua minggu terakhir aku belum membuat laporan keuangan. Masalah terkuaknya rahasia soal Ben, membuat tenaga ku terkuras habis. Jadi, mumpung hari ini sedikit longgar aku memutuskan untuk sedikit demi sedikit mengerjakan laporan keuangan. Penghasilan pegawai dengan pebisnis sepertiku tidak sama. Kalau dipikir-pikir lebih enak jadi pegawai. Hanya perlu mengerjakan pekerjaan sesuai jobdesk, lalu terima gaji tiap bulan. Kalau ada lembur dapat uang lebih. Tidak perlu memikirkan untung atau rugi perusahaan. Kalau sepertiku ini harus memikirkan untung dan rugi. Belum gaji karyawan. Penghasilan setiap bulan juga tidak menentu. Bulan kemarin aku bisa dapat untung lebih besar. Aku bisa memberikan bonus tambahan pada karyawan. Tapi kenapa bulan ini kerugian restauran lebih banyak. Bukannya tidak pernah rugi, setiap bulan pasti ada saja ruginya tapi tidak sebesar bulan ini. Bahkan ini bisa mencapai 50%. Kalau begini caranya, bagaimana bisa aku membeli stok bahan-bahan makanan dan membayar biaya operasional. Sudah satu jam otakku ngebul begini. Kenapa banyak minus di mana-mana. Pemasukan dan pengeluaran jadi tidak balance seperti ini. Gigiku menggertak mencari jawaban seperti sedang ujian nasional. Tapi aku tidak menemukan sedikit saja pencerahan dari semua ini. Pintu terbuka tanpa diketuk. Kepalaku reflek mendongak. Abi berdiri di ambang pintu, menyembulkan kepalanya. Dia diam sejenak tidak langsung masuk. Aku menganggukan kepala padanya tanda memberi izin dia untuk masuk. "Ada apa dengan rambutmu?" "Aku rugi besar." Aku menyandarkan tubuhku ke punggung kursi. Mengabaikan pertanyaan Abi soal rambutku yang berantakan mencuat ke mana-mana. "Bagaimana bisa pendapatan bulan ini lebih sedikit dibanding dengan pengeluaran. Ke mana perginya uang uang ini?" Tanpa menjawab apa-apa Abi menarik kursi lalu di dekatkan padaku. Abi mengambil alih laptopku kemudian memeriksa pekerjaanku di sana. Selama sepuluh menit dia tidak bicara apapun. Hanya klak klik saja. "Siapa yang pegang rekening restauran ini?" Tiba-tiba Abi bertanya. "Aku." "Tidak ada orang lain?" Abi memastikan. Dan aku kembali mengingat-ngingat. "Kalau yang pegang aku, tapi.. Memang kenapa?" "Kau tidak lihat, ada beberapa dana yang masuk ke rekening yang sama dengan catatan yang berbeda. Kau punya supplier dengan produk yang berbeda?" Abi mengskrol mouse memperlihatkan beberapa data di sana. Aku tidak cek satu per satu dana ke luar dan dana masuk. "Satu produk satu supplier. Tapi, aku tidak punya banyak supplier. Selain bahan makanan yang memang tidak bisa aku dapatkan di pasar." "Kau yakin, tidak ada orang lain yang bisa mengakses dana restauran ini?" Aku berpikir sejenak. Berusaha mengingat-ngingat sesuatu. Saat jari telunjukku mengetuk-ngetuk pelipisku, tiba-tiba aku teringat sesuatu. Tapi tidak mungkin- "Vivi?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD