The Last Kiss

1334 Words
Abi menjentikan jarinya seakan sudah menemukan jawaban. "Kau bisa tanyakan padanya." "Tapi, Vivi tidak mungkin berbuat curang. Dia sahabatku. Dia juga bekerja di sini dari awal restauran ini didirikan." "An, bisnis adalah bisnis. Jangan campur adukan bisnis dengan pertemanan. Dia bisa saja dipercaya sebagai teman, tapi soal bisnis,belum tentu. Masalah uang, semua orang bisa jadi Serigala." Aku terdiam menelan ludah mendengar apa yang dikatakan Abi. Tidak mungkin Vivi seperti itu. Aku percaya padanya. Dia teman yang baik. Selama ini aku dan Vivi tidak ada masalah apapun. Tapi, melihat beberapa hari ini Vivi tidak bisa aku hubungi, membuat aku jadi memiliki prasangka buruk padanya. "Aku bisa cek siapa pemilik rekening yang menerima dana dari rekening restauranmu." Aku menggigit bibirku. Memandangi Abi dengan khawatir. "It's okay, An, semua bisa saja terjadi. Tapi, kau juga harus tahu apa alasannya." Abi mengusap punggungku pelan. Setelah aku mengatakan 'Iya' dia menyalin laporan keuanganku ke flashdisk miliknya. Semoga apa yang Abi curigai atau apa yang sedang aku takutkan sekarang, tidak terjadi. Aku harap ini hanya kerugian biasa pada umumnya. Tidak ada hubungannya dengan Vivi. Menghilangnya Vivi bukan berarti dia berbuat curang padaku. Aku mengusap wajahku kasar. Berusaha mengumpulkan kembali otakku yang tercecer di mana-di mana. "Kau sudah makan?" Aku menggeleng lemah. "Aku tidak ada selera makan." "Jangan melewatkan makan, kau butuh tenaga untuk menghadapi kenyataan. " Dia tertawa, dan aku hanya menyunggingkan sudut bibirku. Sama sekali tidak tertarik dengan candaannya. Suasana hatiku sedang ada dalam fase paling buruk. Banyak sekali hal-hal yang ingin aku munculkan ke permukaan agar segalanya terlihat jelas. Tapi pada kenyataannya semua itu tersembunyi di dasar palung yang paling dalam. Pertanyaan yang sangat ingin aku tahu akhir-akhir ini adalah.. "Kalau kenyataan Sera masih hidup, apa kau tidak bisa mengatakan apa-apa padaku?" Dia pasti tahu kalau sorotan mataku penuh dengan keputusasaan. "Aku tidak tahu harus mulai dari mana." Aku mendengus dan menutup laptop yang masih menyala. Mendadak aku seperti terserang meriang. Ketakutan itu seolah merasuki ku kembali. Namun, aku tidak bisa mengatakan itu terang-terangan. "Pasti panjang dan rumit. Tapi aku punya banyak waktu untuk mendengarkan." Dia hanya menanggapinya dengan senyuman. Lalu bangkit berdiri seraya berkata, "Kita makan saja dulu. Perutmu tidak boleh kosong." Sebelum dia melangkah pergi, aku mencekal pergelangan tangannya. "Apa kau... Kau.. Bahagia karena Sera telah kembali?" Dia melihat tangannya yang masih aku genggam. Tercenung lama sekali sampai aku mengembuskan napas berkali kali. Mungkin benar. Dia bahagia. Ternyata cintanya yang pergi sudah kembali lagi. Dia tidak perlu repot-repot berbagi soal Rey. Mungkin mereka juga bisa kembali bersama seperti keluarga yang utuh. Abi menarik lengannya hingga terlepas dari tanganku. Lalu berlutut di hadapanku, menggengam kedua tanganku membuat aku menatap wajahnya di bawah sana. Dadaku bergemuruh cepat. Tubuhku jadi panas dingin. "Dia memang belum mati, dan aku tahu sejak awal ini akan terjadi. Sekali pun dia akan terus menetap, bahagiaku bukan lagi karena dia. Tapi, karena dirimu. Walau aku tahu kau tidak selamanya akan ada di sisiku." Ibu jarinya mengusap pipiku lembut. "Berapa hari waktu kita yang tersisa?" dia bertanya, tapi aku tidak bisa menghitung. Dalam situasi seperti ini apa masih bisa otakku digunakan. "Ku harap kau bisa berubah pikiran." Lanjutnya. "Bagaimana kalau aku beri tahu Ben, siapa tahu dia yang akan berubah pikiran." Abi menyeringai. Bisa-bisanya dia tersenyum di saat seperti ini. "Beri tahu soal apa?" "Soal Sera" "Jangan." Kataku cepat. "Kenapa? Takut kalau Ben berubah pikiran, lalu pergi?" Aku menggeleng. Tapi memang itu kenyataannya. Sejak awal aku tahu bahwa Ben masih menyimpan nama Sera di hatinya. Aku selalu takut disingkirkan. "Kau tenang saja, kalau dia mencintaimu, dia tidak akan pergi." "Kalau dia tidak cinta?" "Kalau dia tidak cinta, untuk apa dia menikahimu?" Ya, benar juga. Kenapa aku mempermasalahkan perasaannya. Kalau dia tidak cinta, dia tidak akan menikahiku. Kalau dia hanya menjadikanku pajangan mana mungkin dia melamarku. Tapi kenapa justru kenyataannya tidak seperti itu. Bagaimana jika cintanya hilang setelah bertemu Sera? Atau lebih mengerikannya lagi, dia memang tidak pernah memiliki cinta itu. Bagaimana jika memang itu kenyataannya. *** Langit gelap sudah menutupi seluruh kota Depok. Tidak ada bintang di sana menandakan akan turun hujan. Begitu kata ramalan cuaca. Aku menutup Read Eat lebih cepat dari biasanya. Bukan, bukan karena takut turun hujan, tapi hari ini begitu sangat melelahkan. Namun pulang bukan ide yang bagus, mengingat jarak dari Read Eat ke rumah memang lumayan jaun. Terlalu letih hanya untuk menginjak pedal gas. Aku mengusap layar ponsel, ada pesan masuk dari Ben yang belum sempat aku balas. Lalu kembali tercenung saat melihat tanggal di layar ponsel. Tersisa dua minggu lagi menuju hari pernikahan. Surat undangan sudah semua dicetak, tinggal dibagikan pada tamu undangan. Tapi, kenapa rasanya semakin tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang menahanku di dalam d**a. Rasanya sesak sampai-sampai membuat aku sulit untuk bernapas. Tidak, aku tidak asma. Mungkin karena segala keadaan saat ini masih seperti potongan puzzle yang berantakan. Mungkin mengembalikan potongan puzzle pada tempatnya jalan keluar yang baik. Aku ingat kotak polkadot yang diberikan Viona. Isinya masih utuh, tersimpan rapi di sana. Aku tahu apa yang bisa aku lakukan untuk mengembalikan puzzle itu secara utuh. Tapi, sebelumnya aku harus memastikan sesuatu supaya semuanya bisa lebih jelas. *** Aku memandangi tumpukan surat undangan pernikahanku dengan Ben yang sudah siap untuk dibagikan. Ini yang tidak sanggup aku lakukan. Memberikan undangan pernikahanku pada Abi sama saja seperti memberi ultimatum padanya agar segera hengkang dari hidupku. Padahal aku masih ingin sedikit lebih lama dengannya. Tapi, harus aku lakukan kalau aku ingin segalanya jelas. Pintu ruang private zone terbuka. Dan yang masuk adalah pria yang beberapa hari ini meresahkan hati. Dia berjalan mendekat dan aku mati-matian membangun pertahanan diri. "Ben membawa Rey jalan-jalan." Katanya, setelah dia duduk di sampingku. "Aku disuruh menunggu di sini olehnya." Aku tidak memedulikan apa yang dia katakan. Aku hanya meremas surat undanganku. Pagi-pagi sekali Ben membawanya ke sini, sebagian laginya ada di rumah Ben untuk dibagikan kepada keluarga besar dan kerabatnya. Abi menyambar salah satu surat undangan tersebut. Kemudian membukanya dan membaca isinya. "23 Agustus 2020." Dia bergumam pelan. Perlahan aku menoleh. Menatapnya penuh sesak. "Kurang dari 2 minggu?" Dia balik menatapku dan aku mengangguk. "Kau berharap aku datang?" "Ya." Suaraku serak seketika. "Jangan bercanda, An." Dia tertawa garing. "Aku tidak bisa." Jantungku seakan di remas saat mendengar suaranya yang parau. "Aku tidak mungkin bisa melihatmu bersama Ben." "Paling tidak, kau datang untuk merayakan ulang tahunku." Dia diam sejenak. "Jadi, hari pernikahanmu bertepatan dengan hari ulang tahunmu?" Aku mengangguk. "Yang ke berapa?" Aku tahu pertanyaannya bukan hanya sekadar basa-basi. "28." Kemudian hening. Abi meletakan surat undangan ke karpet. Aku memandangi surat undangan itu dengan nanar. Aku mencengkeram kedua tanganku dan detik itu juga air mataku jatuh membasahinya. "Aku... maaf.." ucapku mulai terisak. Tahu-tahu Abi sudah memelukku dengan erat. Mencium kepalaku beberapa kali. Usapan tangannya di punggungku membuat aku semakin keras menangis. Tapi aku tidak tahu karena apa. "Jangan menangis." Abi berkata. "Tidak ada satu calon pengantin yang menangis menjelang hari pernikahannya." Aku semakin erat memeluk tubuhnya. "Aku yang seharusnya minta maaf karena tidak bisa hadir di acara bahagiamu." Aku tidak menjawab. Terus terisak dalam pelukannya. "Aku hanya perlu menata hatiku. Bisa kau bayangkan, bagaimana berantakannya aku jika aku ada di sana?" Ada sedikit rasa enggan saat dia melepas pelukannya, kemudian menangkup wajahku dan ibu jarinya mengusap air mataku yang banjir di pipi. Memalukan. "Tidak ada yang bisa ku lakukan saat dirimu memilih untuk tetap menikah dengan Ben. Aku tahu mengharapkanmu membalas perasaanku adalah hal yang konyol." Dia memaksakan untuk tersenyum. "Tapi, terima kasih atas 30 hari yang telah kau berikan. Sangat luar biasa." Aku menatapnya lekat-lekat dengan mata sembab seakan sedang merekam wajahnya dalam ingatan. Kulihat matanya yang teduh memancarkan sorotan terluka. Tidak pernah terpikirkan olehku bahwa aku akan berada di posisi sulit seperti ini. "Walau aku masih punya waktu kurang dari dua minggu, tapi kita akhiri saja sisa 30 hari itu disini, sekarang." Aku terperangah kemudian menarik napas menahan sesak di d**a. Aku memejamkan mata saat dia melumat bibirku. Aku tidak sanggup membalas ciumannya. Aku sibuk menangisi berakhirnya 30 hari itu. Dan air mataku bercampur dengan pipinya yang juga basah. Ciuman ini begitu sangat menyakitkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD