What are you talking about

1014 Words
"Abi? Kenapa kau bisa ada di sini?" Viona bertanya dengan keterkejutan. "Kenapa aku tidak bisa ada di sini?" Aku hampir tertawa mendengar jawaban Abi yang mengesalkan. "Maksudku, aneh saja. Kau di sini bersama... Ana." "Menurutku tidak terlihat aneh, ini tempat umum dan aku bisa berada di tempat umum bersama siapa saja." Great. Kurasa Abi memiliki mulut manis dan kejam disaat yang bersamaan. Kulihat Viona terdiam kehilangan kata-kata. "Oke, jadi makan siang?" Entah apa yang merasukiku sekarang, tanganku menggamit lengan Abi. Aku tersenyum puas saat mata Viona melihatnya. "Tentu saja Ana, aku sudah mengeluhkan lapar sejak satu jam yang lalu." "Kalian akan makan siang bersama?" Tiba-tiba Viona bertanya panik. "Ya." "Aku ikut." Tidak. Aku menyipitkan mata lalu memutar otak untuk mencegahnya. "Kebayaku lebih butuh diperbaiki sesegera mungkin, seperti yang kau bilang, akan memakan waktu yang lama untuk memperbaikinya. Jadi, kupikir akan lebih baik jika sekarang juga kau perbaiki, Viona." "Kau tidak perlu memerintahku." "Aku klien mu sekarang Vi, kalau-kalau kau lupa." Ucapku tajam. "Jadi aku perintahkan padamu untuk memperbaiki kebayaku sekarang." "Tapi," "Miss Joana selalu mengedepankan kepuasan pelanggannya, kau mau aku mengeluhkan pelayananmu kepada miss Joana?" "Kau mengancam?" "Kalau kau mengartikannya seperti itu, terserah." Aku mengedikan bahuku tidak peduli. Lalu menarik tangan Rey yang tidak jauh dari jangkauanku yang sedang melihat-lihat baju. Kemudian, pergi meninggalkan Viona di sana. Aku puas. Puas melihat dia kalah telak di depan Abi -pria yang dia larang berdekatan denganku- Sebenarnya untuk melawan seseorang yang tak sebanding denganmu, kau hanya butuh nekat saja. Sesaat setelah kami keluar dari butik miss Joana, mendadak langkah Abi terhenti. Melihat Abi membeku di tempat kakiku ikut berhenti. Aku bisa melihat pandangannya tertuju kepada seseorang yang sedang berjalan menjauh dari kami. Aku mengikuti arah pandang Abi. Matanya menatap tajam tanpa berhenti. Aku yakin, Abi mengenal wanita berambut panjang itu. Tapi, dari gelagatnya sepertinya tidak ada niat untuk menghampiri. Buktinya setelah wanita itu menghilang di salah satu toko, tangan Abi segera menyeret Rey dengan langkah terburu-buru. Seperti ingin menghindari sesuatu. "Kenapa? Bukannya kita mau makan siang?" Aku protes saat kami ada di parkiran. "Kita makan di tempat lain saja." Tadinya aku mau bertanya kembali, tapi melihat raut wajah Abi yang mengeras tampak marah, jadi aku urungkan saja. Memilih mengikuti Abi masuk ke dalam mobil, membiarkan dia tanpa komentar. Mobil Abi berhenti di salah satu tempat makan yang berada di jejeran ruko. Kami turun dari mobil. Wajah Abi sepertinya sudah mulai normal kembali. Kami duduk begitu melihat ada bangku kosong. Lalu memanggil seorang pelayan dan mulai memesan makanan. "Aku mencium bau peperangan antara kau dan Viona." Abi bersuara saat dia menyuapkan satu sendok makanannya ke dalam mulut. Aku kira dia akan terus cemberut sampai kita selesai makan. "Aku sudah tahu hubungan dia dengan Ben." Bisa kulihat tangan Abi yang memegang sendok menggantung di atas, dan sesaat kemudian dia melanjutkan kembali menyuapkan makannya. "Aku bukan hanya terkejut mengetahui hubungan macam apa yang mereka miliki, tapi aku juga tidak suka cara dia bersikap padaku. Seharusnya aku yang mencakar-cakar wajahnya." "Dia memang seperti itu." Abi menimpali. Aku menyerahkan satu piring berisi steak daging yang sudah aku potong kepada Rey. "Terima kasih." Kata Rey. "Sama-sama." Ucapku manis. "Aku ingin minuman seperti yang mulia ratu juga." "Jus stoberi?" Rey mengangguk, lalu aku memanggil pelayan untuk memesankan satu jus stoberi. "Aku juga tidak suka cara dia berbicara padaku." "Memangnya dia bilang apa?" "Dia masih ingin menikahimu?" Abi diam sejenak lalu mengedikan bahunya. "Aku tidak peduli lagi dengan apa yang dia perbuat. Dia yang ingin menikah, bukan aku." "Baguslah." Gumamku. "Aku tidak suka saja dia melarangku berdekatan denganmu." Gerutuku kembali. Ah, apa aku sudah terlihat seperti wanita pengadu. "Dia bilang seperti itu?" "Ya, tapi siapa yang peduli. Kalau kau punya penyakit menular baru aku akan menjauhimu." Abi terkekeh lalu menenggak air putihnya. "Aku sehat kok, jadi kau tidak perlu menjauh." Katanya. "Lalu dia bilang apalagi?" "Nah, ini yang lebih menyebalkan lagi." Ucapku menggebu-gebu. Maafkan mulut yang tidak bisa aku jaga ini. Mulutku seperti tidak memiliki bahan perekat. Rasanya ingin mengeluarkan informasi apa saja yang ada di kepalaku. "Dia pikir dia siapa, mengatakan kalau aku tidak cocok bersanding dengan Ben. Dia itu sok tahu sekali. Dia tidak bisa mengatakan hal seperti itu padaku. Walau dia tahu segalanya tentang Ben." Lupakan soal Abi dengan segala kemungkinan akan membela diriku. Kenyataannya dia tertawa setelah aku menutup aksi pengaduanku. Dia memang benar-benar menyebalkan. "Kali ini aku setuju dengan Viona." Katanya di sela-sela tawanya. Aku melotot. "Oh, jadi kau sudah satu pendapat dengannya?" Abi mengangguk yakin. Wajahnya berubah merah padam akibat terlalu keras tertawa. "Ayah, apa ada yang lucu?" Rey bertanya bingung. Menatap aku dan Abi bergantian. "Ayahmu, sudah gila." Aku membisikannya di telinga Rey. Lalu anak itu ikut tertawa. "Ayah tidak gila, Rey." Abi menggeram. Tapi Rey masih saja tertawa. Like father like son. "Ya, kali ini aku satu pendapat dengan Viona, kalau kalian memang tidak cocok. Ben tidak cocok bersanding denganmu." Aku nyaris naik darah. Seharusnya aku tidak perlu mengatakan hal seperti itu pada Abi, sudah pasti dia akan mengolok-olok seperti ini. "Tertawalah sepuasmu. Kalian tidak bisa menilai sepasang kekasih itu cocok atau tidak. Kalau bukan Ben, lalu siapa yang menurutmu cocok denganku? Memang nya aku separah itu." Abi menjatuhkan sendoknya di piring. Tawanya lenyap seketika. Dan dia memandangiku membuat aku salah tingkah. "Kau itu memang tidak cocok bersama Ben." Ujarnya. "Kau, cocok nya bersamaku." Dia memiringkan kepalanya diiringi seringaian di bibirnya. Aku menelan ludah. Air mana air. Aku butuh minum sekarang juga. Bisa-bisanya dia membuat aku jantungan. "Jangan bercanda." Dia tidak tahu seberapa kuat aku menguasai diriku sekarang. "Aku serius." Tandasnya. "Ana," oh, tidak. Suara baritonnya terdengar merdu sekali. "Kupikir, aku... aku sudah jatuh hati padamu." Kali ini aku megap-megap persis seekor ikan yang diangkat ke daratan. Garpu dan sendok mengeluarkan dentingan keras pada piring yang berisi makananku. Kedua tanganku seolah lumpuh saat mendengar kalimat tersebut. Dia mengatakan kata cinta kepada wanita yang akan menikah. Demi Tuhan. Dia harus di bawa ke dokter kejiwaan. Tapi ada sesuatu yang tidak aku mengerti. Kenapa aku merasa hangat dan lega dengan pengakuannya barusan. Dan entah kenapa mengharapkan lebih dari ucapannya itu. Sepertinya aku juga harus segera diperiksakan. Aku mulai gila.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD