Thinkerbell

1382 Words
Kami menuruni anak tangga dari lantai 50 ke lantai dasar karena secara tiba-tiba lift tidak bisa digunakan. Ya, selalu ada sebuah kebahagiaan dan kesedihan dalam 1 paket. Rey, sudah tertidur di punggung ayahnya. Terlelap dalam mimpi indah mungkin. Hal yang paling membuatku tidak habis pikir adalah spiderman mainannya masih ada di genggamannya.  "Bagaimana kau tahu bahwa Rey ada di atas gedung ini?" Kaki kami melangkah beriringan. Ini sudah berada di lantai- oh aku juga tidak tahu kami sudah berada di lantai berapa.  "Rey begitu menggemari sosok spiderman, dia ingin terbang dan memanjat gedung tinggi bersama Peter Parker." "Lalu? Kenapa dia naik ke atas gedung?"  Aku berdecak sambil memutar bola mata. "Karena spiderman memanjat gedung." Jawabku merasa jengah. Apa dia tidak pernah sekali pun melihat film Spiderman atau mendengar desas-desus kabar tentang Spiderman. Ke mana saja dia selama ini? "Rey mengikuti apa yang dilakukan oleh spiderman. Aku tidak tahu bagaimana caranya Rey bisa berada di atas sana, tapi aku yakin, Rey, meniru super hero itu." "Jadi, karena itu kau yakin bahwa Rey ada di atas sana?" Aku mengangguk. "Tiba-tiba saja keyakinan itu datang padaku. Aku begitu yakin bahwa Rey akan meniru tokoh idolanya." "Dari mana kau mendapat keyakinan itu?" Aku menatap Abi sekilas lalu mengembuskan napas. "Dari film Boo." Ujarku setengah senang. "Kau tahu? Yang judulnya baby's day out." Dia menggeleng. Jelas dia tidak tahu. "Film yang menceritakan seorang bayi kecil, yang bertualang mengikuti cerita yang sering dibacakan oleh pengasuhnya. Bayi itu pergi ke tempat-tempat sesuai dengan yang ada di dalam buku ceritanya." "What?" "What?" Aku mengulang aneh.  "Kau memiliki keyakinan dari sebuah film?" "Itu persis seperti yang dialami Rey. Sebelum Rey menghilang dia mengatakan padaku bahwa dia ingin terbang dan memanjat gedung tinggi bersama Spiderman. Ku kira dia akan melakukan hal yang sama seperti bayi Boo. Dan kenyataannya, memang benar kan?" Abi hanya menatapku sejenak kemudian menggelengkan kepalanya beberapa kali. Entah percaya atau tidak, siapa yang peduli. Kami terdiam lagi. Hanya ada suara derap langkah kami yang menuruni tangga demi tangga di gedung ini.  "Anyway, thanks." Kudengar Abi bersuara.  "Untuk apa?" "Karena telah membantuku menemukan Rey. Karena telah memahami Rey, sebaik yang kau bisa. Karena telah mencemaskan Rey. Dan karena telah.." aku menunggu kelanjutan kalimatnya. "Telah... membiarkanku menggenggam tanganmu." Aku terkesiap. "Jujur, aku kalut. Aku tidak tahu harus apa, jika aku tidak bisa menemukan Rey. Bagiku dia adalah segalanya. Aku berani menukar apapun agar bisa terus bersamanya." Bibirku tersenyum kecil. "Aku mengerti. Aku... akan lebih berusaha menjaga Rey, agar hal ini tidak terulang lagi. Maafkan aku." "Untuk apa?" "Karena telah membiarkan Rey bermain sendiri, karena telah menyebabkan Rey hilang. Dan karena telah.. telah.. telah membuatmu cemas." Setelah kalimat terakhir diucapkan aku menelan ludah susah payah. Kami terdiam lagi dalam kebisuan. Sesekali Abi membetulkan letak gendongan Rey di punggungnya karena tubuh Rey melorot. "Kau juga suka superhero?" Suaranya memecah keheningan. "Tidak." Jawabku cepat. "Aku hanya jatuh cinta pada Peter Parker." "Oh," oh? Oh saja? Tidak bertanya alasannya. Dia sama saja seperti Ben, tidak pengertian, tidak ingin mengetahui apa yang ingin aku beritahu tentang hal-hal penting, tapi dianggap sepele untuknya. "Apa yang kau suka dari manusia laba-laba itu?" Kepalaku menoleh cepat saat suara baritonnya bersura lagi. Aku jadi semakin yakin mungkin dia benar-benar dapat membaca pikiranku. "Dari semua superhero, hanya spiderman lah yang terlihat normal dan manusiawi. Dia pria yang sederhana, pekerja keras dan sayang keluarga. Tidak ada superhero yang berprofesi sebagai pengantar pizza selain Peter Parker." Aku tertawa kecil membayangkan Peter Parker bergelayut di atas gedung. "Hanya dia lah superhero yang miskin." Abi terkekeh mendengar jawabanku. "Apa menurutmu standar superhero itu perlu kaya raya?" "Bukan begitu. Mereka boleh saja kaya raya, karena menjadi milyuner adalah pilihan. Tapi dengan adanya Peter Parker, aku jadi berpikir ulang bahwa menjadi superhero pun tidak selalu menjadikan hidup terjamin. Bahwa menjadi superhero pun perlu kerja keras. Bahwa menjadi superhero pun perlu berjuang terutama untuk cintanya sendiri. Jadi, aku tidak merasa hanya aku saja yang perlu tertatih, ada Peter Parker yang lebih menderita dariku. Paling tidak, aku memiliki cinta yang bisa kumiliki. Daripada saling mencintai tapi tidak bisa bersama." Kedua bahuku bergidik ngeri membayangkan betapa menyakitkan cinta bertepuk sebelah tangan. "Memangnya Peter Parker tidak pernah mendapatkan cintanya?" "Kau pikir keberadaan Marry Jane itu apa? Hanya gadis figuran tak berfungsi? Gadis itu bahkan lebih menderita dariku. Mencintai seorang pria habis-habisan tapi tidak bisa memiliki. Ya, walaupun pada akhirnya kisah cinta mereka dikisahkan berakhir bahagia tapi, tetap saja harus melalui jalan yang berliku. Tidak ada yang lebih menyenangkan selain dua orang saling mencintai berakhir di pelaminan." "Saling mencintai ya?" Suara Abi terdengar seperti gumaman kecil tapi aku bisa mendengarnya. "Ya. Karena jika tidak saling mencintai mana mungkin bisa berakhir di pelaminan. Mungkin mereka akan bertemu di pelaminan, tapi salah satunya hanya menjadi tamu. Mengerikan." Abi tertawa lagi. Aku memandangnya kemudian tersenyum begitu menyadari raut wajah panik dan ketakutan sedari tadi menghilang digantikan dengan wajah yang semringah.  "Pikiranmu agak sedikit bercabang jika melihat suatu hal." Tiba-tiba Abi berkata. "Maksudnya?" "Kau selalu melihat dari sisi yang berbeda dari sebuah cerita dibanding yang lain."  Aku menelengkan kepala melihat wajahnya tanda tidak mengerti. Abi tersenyum melihat wajah kebingunganku. "Tinkerbell." Lanjutnya seakan menjawab segala kebingungan. "Kau melihat sisi cinta bertepuk sebelah tangan dari cerita Tinkerbell padahal yang kutahu, bukan itu pesan yang ingin disampaikan dari dongeng peri tersebut." Dia diam sejenak. "Kemudian Spiderman. Kau tidak fokus pada kehebatan Spiderman dalam memberantas kejahatan. Melainkan pada kisah pribadi Peter Parker. Padahal film superhero ingin memperlihatkan bagaimana kehebatan mereka dalam melawan musuh-musuhnya."  Aku mengernyit.  "Karena aku tidak suka superhero." Tandasku. "Kau tidak suka superhero tapi jatuh cinta pada Peter Parker?" "Aku bukan jatuh cinta karena dia superhero, tapi karena dia manusiawi. Paling tidak aku banyak belajar darinya."  "Lalu kau suka peri?" "Tidak juga," aku mengangkat kedua bahuku. "Sebenarnya aku benci cinta bertepuk sebelah tangan, tapi entah kenapa aku kagum pada ketulusan cinta Tinkerbell pada Peterpan." "Kenapa membenci cinta bertepuk sebelah tangan? Pernah mengalami betapa sakitnya cinta tak terbalas?" "Tidak. Dan kuharap tidak akan pernah terjadi." Jawabku mengerikan. "Well, walaupun aku belum pernah merasakan cinta bertepuk sebelah tangan, tapi aku bisa membayangkan betapa sakitnya jika orang yang kita cinta tidak membalasnya dengan semestinya. Kau pasti akan kecewa jika baju incaranmu jatuh ke tangan orang lain. Begitu juga dengan cinta, 'kan?" Entah kenapa jika membicarakan cinta tak terbalas emosiku selalu tak terkendali. Tapi, Abi justri tertawa terbahak. "Bahkan kau bisa membenci suatu hal yang tidak pernah kau alami." Ujarnya. "Cinta bertepuk sebelah tangan itu tidak selamanya menyakitkan, yang membuat hal itu menyeramkan adalah, pelakunya dan bagaimana kita menyikapinya." Kulihat tangan Rey yang memegang Spiderman mengayun pelan. "Biar aku ralat ucapanmu tempo hari yang mengatakan fase menyakitkan dari mencintai adalah merelakan orang yang kita cinta bersama dengan orang lain. Itu bukan fase menyakitkan. Kalau menyakitkan kenapa kau harus merelakan? Jika cinta dikejar bukan merelakan." Aku menggaruk kepala tidak mengerti. "Jika orang yang kita cinta mencintai orang lain, apa yang bisa kita lakukan selain merelakan dia bersama orang itu?" "Kau bisa membuatnya berputar haluan. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk membuatnya membalas. Tapi, jika dia tetap tidak bisa mengubah perasaannya, maka jangan pernah merelakan dia bersama orang lain. Coba untuk membiarkan dia bahagia dengan caranya sendiri." Aku berdecak. "Bukankah itu sama saja?" "Kelihatannya sama saja tapi, kita akan merasakan hal yang berbeda pada perasaan kita sendiri. Jika kita merelakan dia bersama orang lain maka kita akan merasakan sakit, tapi jika kita membiarkan dia bahagia dengan caranya sendiri maka, itu akan jauh lebih membahagiakan kita." Kepalanya menengadah ke atas tapi tidak mengganggu langkah kakinya yang menuruni anak tangga. Mungkin dulu dia pasukan pengibar bendera sehingga dia bisa melangkah menuruni tangga tanpa melihat. "Mungkin ini terdengar sangat picisan, tapi pada kenyataannya kita akan lebih bahagia jika melihat orang yang kita cinta bahagia, apapun cara yang dia lakukan. Senyumnya akan membuat kita lupa bahwa kita tidak sedang dipilih oleh hatinya." Aku terdiam. Bagaimana bisa kita bahagia melihat orang yang kita cinta bahagia bersama orang lain. Hanya jenis orang bodoh yang akan bahagia dengan cara seperti itu. Tapi aku tidak melihat sedikitpun kebohongan dari raut wajah Abi, dan secara bersamaan aku berpikir mungkin apa yang dikatakan Abi memang benar. Bukan merelakan dia bersama orang lain tapi, membiarkan dia bahagia dengan caranya sendiri. "Kenapa menatapku seperti itu?" Mataku mengerjap beberapa kali. Sial aku tertangkap basah. Tanganku terulur mengusap tengkukku mengalihkan rasa malu.  "Memangnya aku menatapmu seperti apa?" 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD