Sera mematung di tempat. Sorot matanya tajam menghujam kedua bola mataku. Dia menjatuhkan buku Kidung Sunyi itu ke lantai. Dia bergerak mundur, membentur laci meja. Dia mengerjap, memalingkan wajah ke sana kemari. Kemudian memyunggingkan ujung bibirnya.
"Maaf, kalau pertanyaanku terlalu lancang." Kataku. Tiba-tiba merasa tidak enak hati. Takut dia tersinggung atau apa.
Kemudian seorang perawat muncul, masuk ke dalam kamar. Dia pasti akan memeriksa ku.
"Selamat sore, Bu Ana." Sapa seorang perawat itu. "Saya suster Dini. Saya akan memeriksa Anda, sekarang. Maaf, Ibu bisa tunggu di luar." Perawat itu berbicara pada Sera. Dan wanita itu tergagap.
"Oh, oke." Katanya terbata-bata. "Kalau begitu, aku sekalian pamit saja, An." Ucapnya, kemudian bergegas keluar dari kamar ini.
"Tunggu, Sera." Aku memungut buku Kidung Sunyi yang tergeletak di lantai. "Ketinggalan." Aku memberikan Buku tersebut pada Sera.
Kemudian lambat laun, semakin jauh aku melihatnya, hingga punggungnya menghilang di tikungan.
***
Dua hari aku berada di rumah sakit. Itu pun karena aku memaksa pulang, dengan risiko aku yang menanggung. Untungnya dokter Rian mau bekerja sama denganku. Jadi, aku bisa pulang lebih cepat.
Mobil Abi sudah terparkir di garasi rumah, menandakan dia dan anak-anak sudah ada di rumah. Aku memasuki rumah dengan ragu. Sejenak terdiam menatap pintu kayu itu. Kemudian menarik napas, mengambil oksigen. Menyongsong apapun yang akan terjadi di depan mata.
Dua hari aku tidak ada di rumah. Mengabaikan semua panggilan, dan sengaja mematikan ponsel. Pasti pria itu akan murka begitu melihatku. Tapi, aku sudah siap dengan apapun yang terjadi. Telah mempersiapkan diri. Namun, di depan teras rumah ada sepasang sepatu yang tidak aku kenal. Aku tahu, itu bukan milik mbok Darmi. Jantungku bertalu cepat. Lalu bergegas berjalan menuju dalam rumah.
Tapi, baru saja aku mencapai pintu, bersamaan dengan itu wanita yang menjadi target incaran ku muncul di depan mata. Dia terkejut, memundurkan tubuhnya, membulatkan matanya padaku. Aku juga sama syoknya dengan dia. Kami saling tatap-tatapan di depan pintu, sampai Abi datang di belakang Sophie.
Wajahku mulai mengeras, menatapnya nyalang. Sedangkan Abi, wajahnya nampak berubah cerah saat melihatku. Kemudian dia memelukku erat.
"An, astaga. Aku mencarimu ke mana-mana. Aku sudah lapor polisi segala. Kau ke mana saja?"
Sandiwara? hah? bilang saja kau senang aku menghilang, agar kau bisa bersama dengan dia. Ingin sekali aku meneriaki itu di depan wajahnya. Tapi, tidak mungkin aku lakukan di depan wanita ini. Aku mencoba menahan semua itu. Tanganku sampai bergetar.
"Kau mencariku atau bersenang-senang dengan perempuan ini?" bisikku padanya. Pelan, pelan sekali agar tak terdengar Sophie. Tapi aku yakin Abi mendengarnya, karena aku merasakan tubuhnya menegang.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah, tanpa perlu memedulikan Sophie. Tapi Abi mengejarku dan mencekal lenganku.
"Aku akan memiliki pembelaan terhadap semua bukti-bukti yang kau berikan padaku."
Katanya. Dan aku diam, melirik Sophie yang masih ada di, ambang pintu, menatap kami berdua.
"Kau mau berkata jujur?"
"Ya, tentu saja."
Aku mengangguk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Menaruh tasku di atas meja. Abi menatap Sophie, dan wanita itu menghampiri. Aku memalingkan wajah merasa jengah.
"Pembelaan seperti apa yang kau maksudkan?" tanyaku begitu mereka berdua duduk.
Aku mengangkat dagu di hadapan mereka. Berusaha mati-matian membangun pertahanan diri. Aku tidak boleh rapuh di hadapan mereka. Walau aku menyadari bahwa aku sudah retak, nyaris ambruk. Aku memasang wajah sedingin mungkin, untuk menutupi raut wajahku yang terbakar api kecemburuan.
"Dia.. Sophie." Abi memulainya dengan memperkenalkan wanita itu secara langsung. Aku menarik ludah, mencari keberanian dan topangan agar tidak meleleh. "Ya, aku berbohong saat mengatakan kalau dia karyawan baru di kantorku." Aku, mendengus. Tertawa kecil padanya.
"Aku teman kuliah Abi. Dan profesiku sebagai agent properti." Sophie menyela. "Abi sudah menceritakannya padaku tentang kesalahpahaman ini. Aku pastikan, kalau kami tidak ada affair."
"Iya, An. Jadi," Abi menghentikan kalimatnya. "Jadi.. aku membeli rumah itu lewat Sophie. Dan memang sedang melakukan renovasi, membuat kolam renang di belakang rumah. Rumah itu, aku beli untukmu. Untuk Rey, dan untuk kita." Abi berkata. Terlihat meyakinkan, tapi aku tidak akan tertipu.
Daripada terus mendengar bualannya, lebih baik aku pergi. Aku memutuskan beranjak dari tempatku berdiri.
"Kau harus percaya, An."
"Apa yang mendasari kepercayaan itu?"
"Arsenio," katanya cepat. "Kau boleh bertanya padanya. Dia yang mendesain kolam renang itu, dan private zone dalam rumah." Katanya lagi. "Perpustakaan kecil yang kau impikan."
Aku berdecak. "Abi, ayolah. Arsenio itu temanmu. Lagipula dia ada di Jerman."
"Dia di Jakarta, An. Dia berbohong soal dia melarikan diri ke Jerman."
"Kenapa?"
"Bukan waktunya membahas alasan kebohongan Arsenio. Itu urusan dia dan Nessa."
Aku memejamkan mata. Lalu memijat keningku. Sophie ikut berdiri.
"Ini tanda pengenal ku. Kau bisa datang ke kantorku kalau kau tidak percaya. Dan kau boleh datang ke rumah itu." Sophie melirik Abi. "Walau rencananya dia akan membawamu ke sana setelah semuanya selesai. Tapi, apa boleh buat." Sophie yang mengenakan setelah blazer dan celana bahan yang sangat rapi, mengedikkan kedua bahunya. Dia nampak santai, berbeda dengan Abi yang tegang.
"Jadi, semua ini maksudnya apa?" tanyaku malah tidak mengerti.
Abi berjalan mendekat padaku. Kemudian memegang kedua pundakku, menyusuri lenganku hingga sampai menggengam tanganku.
"Seharusnya tidak seperti ini," katanya lirih. "Tiket parkir itu," ucap Abi. "Aku berkeliling mall bersama Sophie untuk mencari cincin berlian untukmu. Kenapa harus bersama Sophie? dia mengerti soal itu." Aku melirik Sophie yang ada di belakang Abi. Ya, aku percaya. Penampilannya saja glamour. "Bukti p********n cincin, ya itu untukmu. Lalu rumah. Sophie bukan hanya sekadar agent properti. Dia pemilik bisnisnya. Bisnis properti. Dia sengaja turun tangan langsung untuk memberikan rumah impian sesuai dengan apa yang aku mau."
"Dan juga, Arsenio. Kau tahu, kan, semahal apa untuk memakai jasanya? tapi karena dia sudah mengerti keinginanmu, persisnya yang kau inginkan. Jadi, walau mahal aku tetap menjadikan dia untuk membangun mimpimu."
Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Haruskah percaya, atau bagaimana. Ini semua seperti tidak mungkin. Tapi terjadi padaku. Sejauh ini, aku hanya bisa terdiam menatapnya, dan menatap Sophie yang masih berdiri di sana. Aku mengigit bibir bawah ku. Mulai terasa nyata.
"Aku sudah menghabiskan ratusan juta untuk semua ini, An." Abi menjambak rambutnya. Terlihat sangat jengkel. "Percayalah padaku." Semakin lama, suara lembutnya berubah menjadi menuntut.
"Aku tidak tahu."
Ucapku pada akhirnya. Dan bergegas menghilang dari hadapannya.