Aku masuk ke dalam kamar meninggalkan Abi dan Sophie di luar sana. Kemudian duduk di atas tempat tidur, dengan wajah melongo yang t***l. Astaga, jadi selama ini yang aku curigakan, tidak benar. Selang beberapa menit berikutnya, Abi masuk juga ke dalam kamar. Dan detik itu juga aku langsung memeluk pinggangnya, dan membenamkan kepalaku di dadanya.
Ya, tujuanku melarikan diri ke dalam kamar karena malu. Ya, aku malu karena tidak bisa berpikir jernih. Kalau saja pikirku tak melulu soal pengkhianatan, kesalahpahaman ini tidak mungkin terjadi.
"Kenapa tidak bilang saja sejak awal." Aku menjejakkan kaki ke lantai merasa kesal. Mencengkeram erat kaus oblongnya. "Sophie, di mana?"
"Sudah pulang." Katanya santai. Terdengar nya seperti itu. Aku tidak berani menatap wajahnya.
"Dia bilang apa?"
"Kau percaya padaku?" Abi menjauhkan tubuhku dengan mendorong pelan kedua pundakku.
"Kenapa kau tidak bilang sejak awal? kenapa harus sembunyi-sembunyi?" aku memberenggut. Antara kesal dan menutup malu.
"Kalau terang-terangan, namanya bukan kejutan. Dan sekarang juga sudah tidak seru lagi kalau jadi kejutan."
Abi mendekapku lagi, memelukku dengan posesif. Lalu mendaratkan kecupan nya di kepalaku.
"Lalu, sekarang bagaimana?"
"Kalau kau mau, aku bisa ajak kau untuk melihat progressnya." Abi melepaskan pelukan kami, lalu menggiring ku untuk duduk di sisi ranjang. "Prosesnya masih sangat jauh. Maka dari itu, beberapa minggu ini aku sering pulang malam, karena selepas kerja, aku harus sering-sering meninjau agar tidak ada kesalahan. Bahkan aku harus ambil cuti seharian."
"Ku kira kau selama ini..."
Pria itu bergegas mengambil kedua tanganku, untuk dia genggam. Kemudian menumpukan tatapannya padaku. "Bagaimana bisa aku berpaling darimu, An. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menjagamu, dan mencintaimu sampai akhir hayat. Janji itu aku ucapkan kepada Yang Maha Kuasa. Bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana hidupku kalau tidak ada kau di dalamnya."
Tubuhku menggelenyar. Merasakan desiran nyeri sampai ke hati. Bukan karena aku tidak suka dengan kalimat yang baru saja dia katakan. Tapi justru kalimat itu membuatku khawatir. Kecemasan akan sebuah kematian tiba-tiba muncul. Apa aku bisa meninggalkan pria ini sendiri di dunia ini. Siapa yang akan menjaganya. Memasakkan sarapan untuknya, menyiapkan pakaiannya, menyeduhkan kopi, merawatnya kala dia sakit, membuatkan air hangat kalau dia malas mandi, dan mengingatkannya terhadap jadwal olahraganya.
Bagaimana hidupnya nanti?
"Hei, tidak usah menangis lagi." Dia berucap lirih. Dan mengusap air mata di pipi oleh ibu jarinya. Aku bahkan tidak menyadari cairan itu sudah membanjiri pipiku. "Semuanya, sudah jelas, kan? aku tidak berbuat curang. Dan karena kau sudah terlanjur tahu, mari kita rencanakan dan bangun mimpi itu bersama-sama."
Aku memeluk tubuhnya lagi. "Tapi mimpiku berubah." Ucapku. "Mimpiku hanya ingin terus bersamamu, sampai aku tidak punya waktu lagi di dunia ini."
"Lalu, kolam renang dan perpustakaan mininya, bagaimana?" tanyanya bingung.
"Ya.. lanjutkan saja. Sudah terlanjur dibayar, kan?"
Abi berdecak. Tawanya, senyumnya, kerutan tipis di matanya saat terbahak, akan aku bawa semua ingatan indah itu saat aku pergi. Tak ada yang aku sisakan di sini.
"Rey, dan Ruby, mana?"
Akibat pergulatan kesalahpahaman ini, aku nyaris melupakan kedua anakku. Dan aku baru sadar saat aku, masuk rumah, tidak ada mereka yang menyambut ku.
"Masih di rumah ibu dan ayah. Rencananya besok aku akan menjemputnya."
"Kalau begitu, besok pagi aku saja yang jemput mereka. Sekalian ambil mobil di bengkel. Katanya sudah beres."
"Kau yang ambil sendiri?"
"Katanya, Rama yang akan mengantarnya bareng Naya. Sepertinya mereka sudah meresmikan hubungan mereka."
Kalau dalam cerita legenda, ada tokoh bernama Rama dan Sinta. Di sini, ada Rama dan Naya. Hubungan mereka sangat manis, lucu seperti ftv di televisi.
Aku menepuk wajah Abi pelan, tersenyum menatapnya penuh damba. Akhirnya aku bisa mengembuskan rindu yang membuat dadaku sesak. Aku berniat beranjak dari tempat tidur, namun Abi mencekal lenganku.
"Dia hari ini, kau ke mana?" tanyanya. Kepalanya mendongak padaku.
Aku tidak bisa mengatakan padanya kalau dia hari ini tidur di rumah sakit. Aku tidak ingin anak suamiku tahu, dan membuat mereka cemas, dan merusak kebahagiaan yang baru saja akan kami bangun. Aku juga tidak ingin meruntuhkan mimpi-mimpi itu. Aku harus tetap terlihat kuat dan sehat di depan mereka.
"Emm... di apartemen Fay." Setelah ini aku harus mengabari Fay.
"Berarti kemarin dia bohong padaku, saat mengatakan kalau kau tidak ada di sana."
Ya.. seharusnya aku tahu, dia pasti menghubungi teman-temanku. Pantas saja mereka berbondong-bondong menghubungiku.
"Dia temanku, sayang. Fay selalu bisa jaga rahasia."
"Seharusnya, si Fay itu katakan kalau.."
Dia diam mematung karena kecupan ku, di bibirnya. Sengaja membungkam celotehnya. Aku tidak ingin dia terus membahas ke mana perginya aku dua hari ini. Bukannya marah, justru dia menarik pinggang ku hingga akhirnya tubuh kami saling menempel, kemudian tanpa memberi aba-aba dia langsung memborbardir diriku oleh segala sentuhannya. Menghujani diriku dengan pelampiasan rindu yang teramat dalam.
"Kau yang mulai, ya, An. Jadi jangan salahkan aku kalau malam ini kau tidak akan bisa keluar kamar."
***
Pagi-pagi sekali Rama dan Naya datang dengan membawa serta mobilku. Bahkan Abi saja belum berangkat ke kantor. Naya agak terkejut saat melihatku. Dia melirik Abi, kemudian menatap Rama yang ada di sampingnya.
"Katanya kau hilang. Ditemukan di mana?" Naya menunjuk wajahku, dan aku langsung menurunkan tangannya yang menggantung.
"Pulang sendiri." Jawabku ketus. Dan Naya menyipitkan mata.
"Pertengkaran suami istri itu wajar. Tidak usah banyak drama, segala kabur dari rumah dengan maksud ingin dicari. Semua permasalah suami istri, dapat diatasi di atas ranjang." Kelakar Naya, dan langsung mendapat bekapan dari tangan Rama. Sementara aku terkikik geli.
"Kenapa pagi-pagi sekali mengantarkan mobilku?" tanyaku, dan memutus obrolan absurd Naya.
"Sengaja, kami mau numpang sarapan." Naya memamerkan cengiran lebarnya. "Kau tidak pernah melewatkan sarapan pagi, kan?"
"Nay..." Rama menatap tajam pada Naya. Tapi Naya hanya mengibaskan tangannya saja.
"Maaf, ya, Mbak." Rama menundukan kepalanya sedikit.
"Ram!" Naya berteriak. "Stop panggil Ana dengan sebutan 'mbak'. Dia ini seumuran denganku. Aku agak risih kalau kau memanggilnya 'mbak'." Naya mencak-mencak.
"Aku menghormati Mbak Ana. Karena dia sudah menikah. Aku juga tidak enak dengan pak Abi, kalau harus memanggil mbak Ana, hanya dengan nama."
"Kalau kau panggil dengan sebutan 'mbak', aku jadi merasa selalu diingatkan kalau usiaku denganmu terpaut jauh."
"Sudah aku bilang, itu tidak masalah."
"Ssrttt.. sudah.. sudah.." Aku mencoba melerai perdebatan yang lagi-lagi absurd ini. Usia Rama jauh lebih muda 6 tahun dibanding Kami. Walau selisihnya tidak banyak, tapi Naya selalu mempermasalahkan itu. "Kalau kalian mau berdebat lebih baik keluar dari rumahku sekarang juga. Dan aku menolak untuk mengizinkan kalian sarapan di rumahku."
"Oke, An. Kami sudah baikan. Mari kita sarapan." Timpal Naya cepat. Sedangkan Rama hanya geleng-geleng kepala.
"Aku jadi ragu, siapa di antara kalian yang lebih tua. Kau atau Naya. Tapi sepertinya perempuan itu yang lebih kekanakan dibanding dirimu." Kataku pada Rama saat Naya melangkah menuju meja makan.
"Justru tingkah nya yang membuatku jatuh cinta padanya, Mbak." Jawab pria gondrong ini. Dan jawabannya membuatku mendengus jangan.
Memang tidak ada yang waras kalau dihadapkan dengan peristiwa jatuh cinta. Dan pagi ini kami ber empat sarapan bersama dipenuhi oleh percakapan yang tak berfaedah antara aku, Naya, dan Rama. Sedangkan Abi, hanya berdecak dan sesekali menggelengkan kepalanya.