Pagi ini mentari bersinar cerah, seperti biasa, Aira bersiap pergi ke kafe tempatnya bekerja. Aira membuka jendela kamar, angin lembut langsung menyapa dan mengusap wajah ayunya. Aira menatap jendela kamar Atha yang tepat berhadapan dengan jendela kamarnya. Aira sedikit mendongak ke atas, sebab Kamar Atha ada di lantai dua. Jendela kamar itu masih tertutup rapat. Aira menghela napas dalam. Andaikan bisa berubah bentuk, ia ingin menjadi kupu-kupu, lalu menyelinap masuk ke kamar Atha, melihat sedang apa lelaki itu di sana.
“Ngapain, Ra? Bengong?!” sapa Della yang baru bangun. Sudah menjadi rutinitas Della setiap jumat sore akhir bulan, ia pulang ke rumah.
“Aira kepikiran kak Atha, mba Del. Kasihan kak Atha, dia pasti sangat sedih dengan keadaan tante Yuli.” Ujar Aira duduk di tepi tempat tidur.
“Pastinya. Anak manapun pasti sedih melihat orang tuanya sakit. Kamu mau berangkat kerja?”
“Iya,” angguk Aira menyisir rambutnya yang Panjang.
“Tapi weekend begini kamu nggak masuk kuliah, kan?” tanya mahasiswa kedokteran semester tujuh itu.
“Nggak. Sabtu dan minggu kampus libur. Memangnya kenapa, Mba?”
“Ke mall, yuk! Kamu udah gajian, kan? Traktir mba Della, dong!”
“Iya. Tapi Aira pulangnya telat. Soalnya mau ke kondangan teman,”
“Teman kamu ada yang nikah?” tanya Della sedikit kesal.
“Hum,” angguk Aira malas menjelaskan tentang urusannya dengan pak Bima.
“Sarapan yuk, mba!” ajak Aira sembari beranjak dari duduknya.
“Iya, nanti aku nyusul.” Ujar Della yang masih enggan bangun dari tempat tidur.
Aira mengambil sarapan yang sudah terhidang di meja makan. “Bun, yah, Aira sarapan duluan, ya,” ujar Aira sambil menyendok nasi.
“Iya,” ujar Ayah dan buda yang sedang menikmati secangkir kopi dan beberapa potong bakwan dan tahu isi.
“Ra, tawarin Atha sarapan. Kasihan dia sendirian di rumah. Nggak ada yang nyiapin sarapan untuknya.” Ujar ayah memberi perintah.
“Iya, Yah,” sahut Aira membawa makanannya menuju pintu belakang rumah tante Yuli.
“ Kak Atha, Assalammualaikum,” panggil Aira mengetuk pintu.
Karena tidak ada jawaban, Aira membuka pintu dengan hati-hati. Ternyata benar dugaannya, pintu itu tidak di kunci. Aira berjalan masuk sambil terus memanggil nama Atha. Namun sayang sepertinya rumah itu sudah kosong. Aira kembali ke rumahnya dan duduk di antara ayah dan bundanya.
“Kak Atha sudah jalan kayaknya, Yah.” Ujar Aira menyuap nasi ke mulutnya.
“Ow, ya sudah.” Sahut ayah kembali menyeruput kopi.
“Yah, kalau nanti seumpama hati kak Atha, devan, atau om Arfan nggak cocok sama hati tante Yulia. Aira boleh nggak ikut ngecek, siapa tahu hati Aira cocok untuk tante Yulia,” ujar Aira hati-hati. Ia takut ayah dan bundanya marah dengan usulan yang ia ajukan.
“Nggak usah aneh-aneh kamu Aira! Kamu fikir donor hati itu seperti donor darah? Beda!” sahut Della yang baru keluar dari kamar. “Hati kamu akan dipotong lalu di cangkokkan ke hati tante Yulia. Kamu mau hati kamu dipotong?” ujar Della menatap Aira sinis.
“Mau. Tante Yulia baik sama Aira. Tante Yulia bersedia menerima Aira kerja di kafenya. Walaupun Aira sering telat atau pulang duluan, tante Yulia nggak protes. Kak Atha juga baik banget sama Aira. Selama Aira kuliah, Kak Atha terus yang bayarin uang kuliah Aira. Kak Atha juga sering ngasih Aira uang buat tambahan jajan. Makanya uang Aira cukup sering neraktir mba Della.” Ujar Aira membela diri.
“Tapi nggak gitu juga membalasnya Aira! Bunda nggak setuju kalau kamu jadi donor. Sudah, ah! Nggak usah aneh aneh. Buruan sarapannya, terus berangkat kerja. Selama tante Yulia kamu itu sakit, kamu control dan awasi karyawan kafe. Bunda rasa, itu sudah cukup untuk menunjukkan rasa empati kamu. Nggak usah mikir kejauhan!” nasehat bunda Panjang lebar sambil melotot pada Aira.
Aira menoleh pada ayah yang hanya bisa menghela napas. “Doakan saja semoga salah satu dari mereka bisa menjadi pendonor untuk tante yulia kamu.” Ujar ayah yang juga sepertinya keberatan dengan usul Aira.
Aira hanya bisa menghela napas, sedih rasanya mendengar komentar kakak dan kedua orangtuanya. Tapi mau bagaimana lagi, dia juga mengerti kekhawatiran mereka. Aira hanya bisa berdoa semoga Allah memberikan yang terbaik untuk tante Yulia dan keluarganya.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Aira berpamitan. Ia memesan ojek online agar cepat sampai di tujuan, banyak pekerjaan yang harus ia lakukan. Sesampainya di kafe, Aira langsung sibuk dengan pekerjaannya sampai lupa waktu.
“Makan dulu, cuy! Sudah hampir jam empat, lo belum makan siang!” ujar Radit mengingatkan.
“Nanti saja di kondangan,” ujar Aira yang tidak selera makan. Kesal dan khawatir bercampur aduk di hatinya. Sudah tiga kali dia menghubungi nomer telphon Atha, tapi tidak diangkat. Bahkan pesan singkat yang ia kirim juga belum di jawab.
“Cuy, ada yang nyariin, lo, tuh.” Ujar Radit sambil lalu. Ia juga tidak kalah sibuk dengan Aira. Pekerjaan yang tadinya mereka lakukan berdua, sekarang harus dia lakukan sendiri, walaupun sesekali dibantu oleh Aira. Sebenarnya bukan Aira melepaskan tanggung jawab, tapi Radit yang tidak tega melihat Aira pontang panting mengus pembukuan kafe dan juga gaji karyawan yang harus segera dibayarkan. Belum lagi Aira harus belanja memenuhi semua kebutuhan bahan bahan di dapur.
“Siapa?” tanya Aira berharap yang mencarinya adalah Atha.
“Nggak tahu. Pacar, lo, ya?” tanya Radit melirik Aira sinis.
“Pacar? Kapan gua pacarana, hidup gua habis di kafe sama di kampus,” ujarnya beranjak dari tempat duduk lalu mencari seseorang yang dimaksud Radit.
“Pak Bima sudah datang?” sapa Aira basa basi mendekati Bima.
“Hum.” Angguk Bima menatap Aira. “Kamu belum siap-siap?” tanya Bima duduk santai disudut ruangan kafe itu.
“Belum jam empat, pak. Saya belum boleh ganti baju,” dalih Aira. “Pak Bima datangnya kecepetan,” lanjut Aira sambil duduk di hadapan Bima.
“Saya tidak mau terjebak macat, makanya datang lebih awal.” Balas Bima tidak mau kalah.
Aira tersenyum kecut, merasa tersindir dengan ucapan pak Bima. “Siap, Pak Bima.” Sahut Aira sambil mengusap hidungnya yang tidak gatal. “Ohiya, pak Bima mau minum apa?” tanya Aira berdiri.
“Jus sirsak ada?”
“Ada dong, pak.”
“Oke, saya pesan satu,” ujar Bima menatap Aira lekat. Senyuman gadis bertubuh langsing itu selalu menarik perhatiannya.
“Oke, ditunggu sebentar, ya, Pak,” sahut Aira ramah, kemudian berjalan menuju dapur.
“Dit, nanti tolong antar jus sirsak satu ke meja tujuh, ya. Gua mau siap siap-siap.”
“Lo, mau kemana?” tanya Radit penasaran.
“Mau kondangan.”
“Sama dia?”
“Iya. Itu dosen gua. Kasihan dia lagi ngejomblo. Jadi minta tolong gua nemenin dia pergi kondangan,” ujar Aira menjelaskan seadanya.
“Pantas saja lo dari tadi nggak mau makan, ternyata mau pergi kondangan?!”
“He…” Aira cengir kuda melihat Radit sewot sendiri.