Beberapa hari kemudian. Pengacara James tiba di rumah Zoanna dan mengantar surat perceraian itu dengan ekspresi tenang, namun dingin. Mata tajamnya memandang Zoanna yang duduk kaku di sofa, seperti patung marmer yang tidak bernyawa.
Wanita itu diam, tangannya gemetar ketika mengambil surat itu. Dalam hatinya, badai emosi berkecamuk. Surat yang ada di tangannya seolah membakar kulitnya, menyakitkan dan menakutkan.
James berdiri dengan sikap profesional yang kaku,"Nyonya, silakan ditandatangani," katanya dengan nada formal, tanpa emosi. "Mengenai pembagian harta akan dibagi secara adil. Namun, ada satu syarat, Anda dilarang bertemu dengan putra Anda." Nada suaranya berubah tajam.
Zoanna menatap James dengan tatapan membara, rasa sakit bercampur dengan amarah yang menggelegak. "Dia benar-benar melakukannya... Aku tidak akan tanda tangan," katanya, suaranya bergetar namun penuh keyakinan. Matanya berkaca-kaca, tetapi ia menolak menunjukkan kelemahan.
James menghela napas, seolah sudah memperkirakan jawaban itu. "Kalau Anda masih menolak, pada akhirnya Anda tidak ada pilihan juga. Kami akan lewat jalur hukum. Di persidangan, Anda akan kehilangan segalanya, termasuk pembagian harta," lanjutnya, dengan nada datar namun mengancam. Kata-katanya seperti cambuk yang melibas harga dirinya.
Zoanna berdiri, matanya menyala penuh tantangan. "Kau sedang mengancamku? Aku tidak akan hadir," katanya tegas.
"Hadir atau tidak, Anda akan digugat cerai oleh Tuan Fernando," ujar James.
"Aku tidak takut, aku bisa menuntut dia berselingkuh," jawab Zoanna dengan nada penuh keyakinan, meskipun dalam hatinya ada rasa sakit yang menyesakkan.
James menghela napas panjang, matanya menatap Zoanna dengan campuran rasa prihatin dan ketegasan. "Apakah Anda memiliki bukti? Tanpa bukti, Hakim tidak akan menerima tuntutan Anda," ujarnya, suaranya dingin namun penuh makna. Dia beranjak dari sana. Dengan langkah mantap, ia meninggalkan surat perceraian di atas meja.
"Wanita itu... aku akan cari sampai dapat," gumam Zoanna, matanya membara dengan tekad yang tak tergoyahkan. Ia berdiri di ambang jendela besar yang menghadap ke taman, di mana angin malam menyentuh wajahnya dengan dingin. Hatinya penuh dengan rasa dendam dan harapan yang saling bertautan, membuat pikirannya dipenuhi bayang-bayang masa lalu yang menuntut jawaban.
***
Sementara itu, Jessie yang berada di kamarnya, duduk termenung di tepi ranjang besar berkanopi. Pandangannya terpaku pada lemari pakaian yang terbuka lebar, menampilkan deretan gaun mahal dan bermerk. Gaun-gaun itu tampak asing, mencolok di tengah ruangan yang megah namun terasa dingin baginya.
"Kenapa banyak sekali pakaian wanita di sini?" gumam Jessie, suaranya bergetar antara bingung dan gelisah.
Pintu kamar terbuka perlahan, Mona melangkah masuk. Dengan senyum tipis, ia mengangguk sopan sebelum menjawab pertanyaan yang tidak dimaksudkan untuknya.
"Nona, pakaian ini disediakan untuk Anda," ujar Mona, nadanya netral seolah menutupi sesuatu yang lebih dalam.
Jessie menatapnya sejenak, mencoba mencerna informasi yang baru saja diterimanya. "Mona, apakah selain aku, sebelumnya ada orang lain yang tinggal di sini?" tanyanya, rasa penasaran.
"Hanya tuan dan tuan muda, Nona," jawab Mona sambil menundukkan kepala dengan sopan.
Jessie mengalihkan pandangan ke lemari lain di sudut ruangan, kali ini penuh dengan pakaian pria yang digantung rapi. "Dan kamar ini?" tanyanya, suaranya lebih lirih.
"Kamar ini milik tuan, dan Nona tidur di sini mulai hari ini," jawab Mona tanpa keraguan, lalu beranjak keluar meninggalkan Jessie sendirian dengan pikirannya.
Setelah kepergian Mona, Jessie kembali memandang seluruh kamar itu. Rasa aneh menjalar dalam hatinya. "Apakah kami harus tidur sekamar? Aneh sekali kalau sampai ada hubungan dekat dengan pria asing," gumamnya dengan nada yang mencerminkan kegundahan.
Ia melangkah ke arah jendela besar yang memperlihatkan pemandangan luas di luar. Cahaya senja yang memudar membawa ingatannya kembali ke masa lalu, musim yang penuh kebahagiaan singkat.
Flashback.
Di pantai yang dihiasi suara debur ombak, Jessie berdiri dalam pelukan suaminya, Harry. Pasir yang hangat di bawah kaki mereka terasa seperti mimpi indah yang sulit dilepaskan.
"Jessie, aku menginginkan anak darimu. Keluarga kita kekurangan suara tawaan dan tangisan anak-anak," ujar Harry dengan nada lembut yang merasuk ke hatinya.
Jessie tersenyum, menyentuh wajah Harry dengan penuh kasih. "Baiklah, aku akan melahirkan seorang anak yang sehat untukmu," jawabnya, seolah menjanjikan segalanya.
Malam itu, di kamar yang gelap namun terasa hangat, mereka bercinta dengan penuh g4ir4h. Ciuman dalam yang dilakukan Harry membuat Jessie terbuai. Namun di tengah keintiman itu, sesuatu terasa berbeda.
"Harry, apakah kamu mengganti parfummu? Aroma tubuhmu berbeda dengan sebelumnya?" tanya Jessie.
Harry tidak menjawab, ia hanya mempercepat gerakannya, menikmati hubungan badan dengan istrinya.
Flashback off
Jessie menggenggam kedua tangannya erat. "Demi kamu, aku rela mengambil risiko, aku bahkan tidak peduli dengan nyawaku. Tapi yang aku dapatkan adalah luka," pikirnya, tekad membakar dalam hatinya. "Devano hanya akan bersamaku. Sampai akhir hayatku, tidak akan aku serahkan padamu," batin Jessie dengan keyakinan yang tak tergoyahkan.
"Setelah malam itu aku hamil. Kami sangat bahagia sepanjang malam," ucap Jessie, matanya berkaca-kaca saat mengingat kenangan yang kini terasa pahit. "Harry juga sangat bersemangat, Tapi setelah aku hamil dua bulan, dia berubah drastis. Rasa sakit ini akan membekas selama hidupku."
Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka tanpa suara, dan Roy melangkah masuk. Ia menutup dan mengunci pintu dari dalam, bunyi kunci berputar terdengar jelas di telinga Jessie, memunculkan rasa cemas yang menjalari dirinya. Ia berdiri kaku, perasaannya bercampur aduk melihat pria itu berada di ruang pribadinya.
Jessie mencoba menata napasnya, melangkah perlahan ke arah pintu. "Aku akan keluar. Kamu istirahatlah!" ujarnya dengan nada tenang yang dipaksakan, sambil mencoba melangkah pergi. Namun gerakannya terhenti saat Roy mendekat dan dengan cepat meraih lengannya, membuat Jessie berhenti seketika. Cengkeraman Roy erat, seolah menahan apapun yang hendak ia lakukan.
"Di sini adalah kamarmu. Kamu ingin ke mana lagi?" tanya Roy, suaranya datar namun tatapannya tajam menusuk. Mata mereka bertemu, dan Jessie bisa merasakan intensitas emosi yang membara di balik sikap Roy yang tampak tenang. Hatinya berdegup kencang, merasa seakan terperangkap dalam ruangan yang semakin kecil.
"Aku akan tidur di kamar Devano," jawab Jessie, berusaha melepaskan tangannya, namun cengkeraman Roy semakin menguat. Ia menarik Jessie mendekat dengan gerakan tegas, membuat wajah mereka nyaris bersentuhan. Jessie bisa merasakan ketegangan yang memancar dari tubuh pria itu.
"Kau ingin menghindari aku lagi?" desis Roy, suaranya penuh nada ancaman yang tersirat dalam bisikan pelan namun tajam. "Ini bukan pertama kali kau menghindariku. Jangan membuat aku kesal!"
"Bukan pertama kali?" Jessie bertanya dengan mata membulat, mencoba mengerti maksud di balik ucapan Roy. Ada nada keterkejutan dalam suaranya, seakan membuka masa lalu yang belum sepenuhnya ia pahami.