Jones menatap Nicholas dengan sorot mata dingin yang tak menunjukkan empati sedikit pun. "Kau hanya numpang makan dan tidur di sini," katanya tanpa ampun. "Besok kau harus dapat uangnya. Kalau tidak, aku tidak akan sungkan menjualmu," ancamnya.
Malam itu, Nicholas harus berusaha menahan lapar. Malang, ia hanyalah bayi yang dibuang Lina, lalu diadopsi oleh Sandra, istri Jones yang telah meninggal lima tahun yang lalu. Sejak saat itu, Jones memperlakukannya dengan kejam, hanya menganggapnya sebagai beban yang harus menghasilkan uang. Nicholas menjalani hidup yang keras, bekerja pada warga desa demi uang atau makanan, hanya untuk bisa bertahan.
Berbeda dengan anak-anak seusianya, yang mendapatkan kasih sayang dan perlindungan dari orang tua, Nicholas justru harus bertahan hidup dengan cara yang tidak semestinya. Di usianya yang masih belia, dia terpaksa mengemis pekerjaan demi menyenangkan ayah angkatnya, Jones, yang tak pernah memberinya kasih sayang. Makanan yang diperolehnya pun seadanya, tak jarang ia merasa lapar di malam hari, menggigil dalam kegelapan tanpa ada pelukan hangat yang menenangkan.
Namun, ada beberapa warga desa yang masih memiliki simpati terhadap anak malang itu. Sesekali mereka memberinya sedikit makanan, roti, atau sisa sayur yang tidak termakan. Nicholas menerima dengan rasa terima kasih yang tak terucapkan, Hidupnya menjadi perjuangan yang terus-menerus, tanpa kepastian akan masa depan. Tapi di balik semua kesulitan, Nicholas tetap berusaha bertahan, meski hatinya penuh luka dan tubuhnya sering kali dipenuhi rasa lelah.
Keesokan harinya
Nicholas berjalan dengan langkah-langkah kecil yang gontai di atas tanah berdebu yang mulai memadat oleh udara dingin. Baju dan celana panjang yang dikenakannya sudah lusuh, penuh tambalan di sana-sini. Angin dingin menggigit kulitnya yang hanya terlindungi kain tipis, tetapi anak lima tahun itu tetap bertahan, menggenggam erat satu-satunya semangat yang ia miliki: mencari makanan untuk keluarganya.
Ketika sampai di salah satu rumah warga yang sibuk memanen sayur-sayuran, Nicholas menarik napas panjang, berusaha mengusir rasa lelah yang menjalari tubuh mungilnya. Ia melangkah mendekat, menatap pria paruh baya yang tengah mengikat hasil panennya.
"Paman!" seru Nicholas dengan suara serak, mencoba menyembunyikan rasa lelah dan dingin yang mulai menusuk hingga ke tulang.
Pria paruh baya itu menoleh, raut wajahnya seketika berubah menjadi sendu. "Nicholas, apakah kamu masih ingin bekerja? Di cuaca seperti ini kamu tidak akan bisa bertahan. Ini sudah masuk musim dingin. Kamu akan jatuh sakit," ujarnya, menahan rasa iba.
Nicholas menggeleng tegas, mata cokelatnya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan. "Paman, rumah kami tidak ada makanan lagi. Aku bisa bantu apa saja. Beri aku pekerjaan. Aku hanya butuh dua biji roti," pintanya dengan suara yang hampir pecah. Rasa lapar dan dingin seolah berpacu dalam tubuhnya, tetapi ia tetap memohon, berharap ada setitik kebaikan yang bisa memberinya kekuatan.
Pria itu menghela napas panjang. Ia telah melihat bagaimana Nicholas tumbuh, anak kecil yang selalu gigih meski hidup penuh cobaan. "Baiklah, Nicholas. Hari ini kamu cukup membantu paman mengikat sayur-sayuran ini. Seperti biasa!" katanya dengan nada lembut, mencoba menyembunyikan rasa iba.
Di kejauhan, tetangga lain mengamati mereka dengan tatapan prihatin. Seorang wanita tua menepuk pundak tetangganya, matanya berkaca-kaca melihat sosok kecil yang terus berjuang meski diterpa dingin dan kesulitan. "Lihatlah Nicholas, tangannya penuh luka-luka. Jones sangat tidak berguna. Kenapa dia tidak mati saja?" kata salah satu dengan nada geram.
Tetangga lainnya mengangguk setuju, meski raut wajahnya memendam rasa iba. "Sejak kecil kita yang memberi s**u dan makanan untuk Nicholas. Aku melakukannya demi anak itu. Sementara Jones, ayahnya, sama sekali tidak peduli apa-apa," sambungnya, suara getir.
Wanita tua yang berdiri di samping mereka menarik napas berat, menyapu pandangannya ke arah Nicholas yang tetap bekerja tanpa mengeluh. "Anak malang itu sering saja tidak makan kenyang," ujarnya perlahan, suara bergetar. "Kita harus pikirkan cara untuk membantunya keluar dari desa ini."
"Tunggu sampai Ekin pulang dari kota," saran pria paruh baya itu, matanya masih tertuju pada Nicholas. "Mungkin saja kita bisa minta Ekin mencarikan keluarga baru untuk Nicholas. Atau... satu-satunya cara adalah membawanya ke panti asuhan."
Setelah dua jam berlalu, pria paruh baya itu memberikan sebungkus makanan kepada Nicholas yang duduk di dekatnya. Di dalam bungkusan itu hanya ada beberapa kue kering terbuat dari tepung terigu, tanpa rasa tambahan, tetapi bagi Nicholas, itu adalah berkah besar di tengah hidup yang penuh kekurangan.
"Nicholas, makanlah dulu. Jangan ke tempat lain lagi!" kata pria itu dengan nada tegas namun penuh kekhawatiran. Ia tahu, tubuh kecil itu sudah terlalu sering menantang dingin dan kelelahan yang terus datang tanpa henti.
Nicholas menatap pria itu dengan mata berbinar, senyum tulus menghiasi wajahnya yang kurus. "Paman, terima kasih!" ucapnya penuh rasa syukur. Ia segera mengambil kue kering itu dan mulai memakannya dengan lahap, seolah tak peduli bahwa rasanya hambar dan keras. Setiap gigitan mencerminkan rasa laparnya yang luar biasa, dan gerakannya menciptakan perasaan iba yang mendalam pada pria di depannya.
Pria paruh baya itu menggeleng-gelengkan kepalanya, hatinya teriris melihat anak kecil itu makan seperti sedang mengisi kekosongan yang tiada henti. Ia menghela napas, dalam hati merasakan beban yang tak terungkap.
Siang itu, Nicholas pulang membawa sisa makanan untuk diberikan kepada ayah angkatnya, Jones. Rumah kecil itu dingin, nyaris tak memberikan kenyamanan selain atap yang bocor di beberapa tempat. Jones, seperti biasa, duduk dengan wajah keras dan sikap dingin.
"Hanya makanan ini yang kau dapat? Anak laki-laki tidak berguna," gerutu Jones dengan nada kasar sambil menepuk kepala Nicholas, membuat anak itu sedikit terhuyung.
"Papa, nanti aku keluar cari lagi," ujar Nicholas dengan suara gemetar, tubuhnya menggigil akibat udara dingin yang meresap hingga ke tulang. "Cuaca di luar sangat dingin, Pa," tambahnya, berharap sedikit belas kasihan.
Namun, Jones hanya memandangnya dengan sinis. "Pergi, pakai bajumu sana, dan jangan cari alasan!" bentaknya, nada suaranya tidak meninggalkan ruang untuk membantah.
Dengan kepala tertunduk, Nicholas bergegas menuju kamarnya yang sempit dan dingin. Ia mengangkat baju-bajunya yang berserakan di lantai, pakaian-pakaian lusuh yang penuh tambalan. Dengan hati-hati, ia mengenakan pakaian berlapis-lapis untuk melawan dingin, meski tahu itu tidak akan cukup.
Setelah selesai, ia keluar dari rumah tanpa menoleh kembali. Langkah-langkah kecilnya membawanya ke kebun buah-buahan di desa. Tempat itu dipenuhi warga yang sudah terbiasa dengan kedatangannya. Meskipun ia hanya anak kecil, Nicholas selalu mencoba membantu.
"Nicholas, kamu sudah datang. Mari bantu nenek!" seru seorang wanita tua dengan senyum lembut yang tersungging di bibirnya. Ia memanggil anak itu dengan hangat, memberikan tugas paling ringan yang bisa dilakukan oleh tangan mungilnya—memetik buah jeruk yang besar dan segar dari pohon.
Nicholas mengangguk dan mulai bekerja, jari-jarinya yang kecil menggenggam erat setiap buah yang ia petik. Meski lelah, ada kilauan semangat dalam tatapannya. Sementara itu, para warga yang melihatnya hanya bisa menggelengkan kepala, menyimpan rasa simpati.
"Sejak kecil hingga sekarang, Jones tidak pernah membeli sehelai baju untuknya. Lihatlah semua baju yang dipakai Nicholas, itu semua adalah bekas pemberian kita," keluh salah seorang warga dengan nada kesal dan iba. "Bahkan, pakaian itu terlalu besar untuknya dan sudah robek di sana-sini."
Matahari mulai terbenam, menyisakan cahaya oranye samar di langit, sementara Nicholas berjalan menyusuri jalan setapak yang becek dan berlubang. Di tangannya, ia menggenggam kantong berisi jeruk dan sedikit makanan ringan—hasil jerih payah seharian yang harus ia bawa pulang. Setiap langkah kecilnya menyisakan jejak di tanah basah, dan udara dingin mulai menggigit kulitnya.
Namun, nasib buruk tak bisa dihindari. Nicholas kehilangan keseimbangan di atas jalan yang licin, dan tubuh mungilnya terjatuh dengan keras ke atas tanah berlumpur.
“Aahh!” rintihnya, menahan sakit saat lututnya menghantam batu-batu tajam yang tersembunyi di bawah lapisan lumpur. Air mata menetes di wajahnya yang kotor. Makanan yang ia bawa terlepas dari genggamannya, berceceran dan sebagian terendam air kotor.
Nicholas berusaha bangkit, meski tubuhnya gemetar karena dingin dan rasa sakit. Namun, tiba-tiba, matanya menangkap gerakan di dekatnya. Seekor ular besar melata dengan cepat, tubuhnya berwarna gelap dan matanya tajam, menatap lurus ke arahnya. Ular itu mendekat, menjalar di atas lumpur seolah menemukan mangsa yang lemah.
Bagaimana dengan nasib Nicholas yang harus mencari cara menyelamatkan dirinya, Akankah ia berhasil atau ia akan menjadi korban ular berbisa tersebut?