"Roy, Andy, apa yang kalian bicarakan tadi? Devano adalah anakku. Kenapa kalian mencurigainya?" tanya Jessie dengan suara bergetar, matanya menatap tajam, berusaha mencari jawaban yang masuk akal dari kedua pria di hadapannya.
"Jessie, apakah kamu merasa dekat dengannya? Jangan karena dia masih bayi dan kamu merasa dia adalah anakmu," kata Roy dengan nada pelan, namun penuh kekhawatiran. Ia berusaha menjaga agar kata-katanya tidak menyakiti Jessie, meski ia tahu ini adalah topik yang sensitif.
"Iya, tidak ada alasannya Lina membohongiku. Dia telah menghancurkan keluargaku. Dia sudah merebut suamiku. Jadi untuk apa dia membohongiku tentang anakku," jawab Jessie tegas.
"Aku hanya mencurigai saja, bukan berarti benar. Jangan masuk ke hati!" ujar Roy dengan nada lembut, mencoba menenangkan ketegangan. Meski ragu, ia tidak ingin melihat Jessie terpuruk lebih dalam karena kecurigaan yang mungkin tak berdasar.
Jessie memalingkan wajahnya ke arah Devano, matanya berkaca-kaca. Ia menatap bayi mungil itu dengan begitu dalam, seakan menelusuri seluruh perasaan yang berkecamuk di hatinya. "Anak di depan mataku adalah anakku. Dia tidak mungkin anak orang lain," batin Jessie. Tangannya gemetar saat ia mendekatkan dirinya ke Devano, seolah ingin memastikan kehangatan yang hanya dirasakan oleh seorang ibu kepada anaknya.
***
Beberapa tahun kemudian, suara ceria anak-anak menggema di halaman luar sebuah mansion mewah yang dikelilingi taman indah. Langit sore memancarkan cahaya keemasan, menambah hangat suasana rumah tersebut. Dua anak lelaki, Felix yang berusia delapan tahun dan Devano yang berusia lima tahun, berlarian ke sana kemari, tertawa riang sambil saling mencoba menangkap satu sama lain. Wajah mereka cerah dan mata mereka memancarkan kebahagiaan tanpa beban.
Dari beranda, seorang wanita dengan senyum lembut di bibirnya memperhatikan pemandangan itu. Jessie, yang kini telah berubah menjadi sosok yang jauh lebih anggun, berdiri dengan penuh ketenangan. Gaun panjang berwarna pastel yang membalut tubuhnya berayun lembut saat ia melangkah maju. Rambutnya yang terurai panjang dengan gelombang lembut tertiup angin sore, menambah kesan elegan dan kehangatan pada dirinya.
"Felix, Devano... Cepat masuk dan mandi. Jangan main lagi! Sudah hampir malam," serunya lembut namun tegas, suaranya penuh perhatian seorang ibu yang peduli.
Dua anak itu menoleh seketika, wajah mereka masih memancarkan semangat bermain. "Iya, Ma!" jawab Felix dan Devano serempak dengan senyum bahagia.
Mereka berhenti berlarian dan bergegas menuju rumah, masih saling menggoda dengan tawa riang yang bergema di udara. Jessie menghela napas bahagia, matanya penuh cinta saat menyaksikan anak-anaknya—dua jiwa yang telah memberinya kekuatan untuk melangkah maju dari masa lalu yang penuh luka.
Walaupun Felix bukan putra kandungnya, Jessie mencurahkan kasih sayang seutuhnya kepada anak itu. Setiap senyuman dan tawa Felix membuatnya merasa utuh sebagai seorang ibu. Hubungan mereka begitu erat, seolah-olah darah dan cinta telah mengikat mereka sejak awal. Felix pun merasakan hal yang sama; dia selalu mencari kehangatan pelukan Jessie, tempat di mana ia merasa aman dan disayangi.
Sementara Devano berlari ke arah pintu, melompat-lompat penuh semangat, dia berseru dengan mata berbinar, "Mama, aku ingin makan daging udang!"
Jessie tersenyum lembut, mencoba menenangkan keriangan anak semata wayangnya. "Sudah Mama sediakan di meja makan," ujarnya sambil menunduk sedikit untuk bertatapan dengan Devano. "Sekarang pergi mandi dulu, setelah itu kita makan bersama, ya!"
Devano mengangguk penuh semangat dan berlalu menuju kamar mandi. Namun, Felix menghentikan langkahnya di dekat tangga. Wajahnya yang ceria tampak berubah serius saat dia menoleh ke Jessie.
"Ma, Papa... apakah Papa akan bergabung dengan kita makan malam?" tanyanya, nada suara polos tapi penuh harap.
Jessie terdiam sejenak, menahan tarikan emosi yang tiba-tiba muncul di dadanya. Senyum yang ia berikan terasa dipaksakan, namun ia tetap berusaha agar Felix tidak merasakannya. "Papa akan pulang sebentar lagi," jawab Jessie, suaranya tetap lembut meski hatinya terasa berat.
Felix tersenyum lega. "Baiklah, kalau begitu aku akan mandi dulu!" katanya sebelum melangkah menyusul Devano ke lantai atas.
Jessie memandang punggung kedua anak itu yang berlari menaiki tangga. Pemandangan tersebut seharusnya memberinya kebahagiaan tanpa cela, namun ada beban yang tetap mengintip dari balik rasa hangat. Lima tahun telah berlalu sejak ia menerima kehidupan baru ini, bersama dua anak yang menjadi cahaya hidupnya. Tapi di lubuk hatinya, Jessie tidak bisa menepis rasa takut yang menghantui.
"Lima tahun kami telah bersama...," batinnya. "Kehangatan ini, tawa mereka, dan kehidupan yang kami bangun... aku begitu takut suatu saat semua yang kumiliki akan hilang. Bagaimana jika kebahagiaan ini tak bertahan selamanya?" Jessie menarik napas dalam, berusaha menguatkan diri. Untuk sekarang, dia hanya bisa memeluk momen-momen kecil ini, walau bayangan ketidakpastian terus menghantui.
"Zoanna dan Roy selalu bertengkar walau mereka sudah bercerai. Zoanna sering mengungkit cinta pertama Roy. Roy tidak pernah mengungkap masalah cinta pertamanya. Aku juga tidak bisa bertanya tentang hal itu. Aku hanya wanita yang tidak memiliki status di rumah ini." Jessie menghela napas panjang, merasakan keterasingan yang selalu mengelilinginya. "Tidak bisa ikut campur banyak hal. Tapi Devano dan Felix membuatku benar-benar bahagia."
Jessie tersenyum kecil saat membayangkan keceriaan dua bocah itu, namun senyumnya perlahan memudar. "Hanya saja kenapa... perasaanku selalu saja tiba-tiba sedih tanpa sebab." Jessie mengusap dadanya, seakan mencoba menenangkan gelisah yang tiba-tiba merayapi hatinya. "Dalam lima tahun ini aku selalu mengalaminya."
Suasana makan malam begitu hangat. Di meja makan yang tertata rapi, hidangan lezat terhidang memanjakan mata dan menebarkan aroma yang menggugah selera. Roy bergabung setelah pulang kerja, membawa atmosfer serius namun tenang di antara mereka. Felix dan Devano, dua bocah lincah itu, menikmati makan malam dengan lahap, wajah mereka penuh keceriaan. Sementara Jessie menyajikan makanan dan memastikan semua dalam keadaan rapi, matanya tak lepas mengamati kedua bocah itu, yang kini menjadi sumber kebahagiaannya.
***
Di sebuah desa terpencil yang diselimuti kesunyian, tampak seorang anak kecil duduk di depan rumah kumuh. Dia sedang mengunyah sepotong roti dengan perlahan, seakan berusaha menikmati setiap gigitan. Bajunya lusuh dan terlihat sobek di beberapa bagian, membuatnya tampak semakin kumuh. Tubuhnya yang tampan namun kehitaman akibat debu, memberi kesan kerasnya hidup yang harus dia jalani di usia yang masih belia.
"Nicholas...!" Suara berat seorang pria memecah kesunyian, memanggil nama anak itu dari dalam rumah dengan nada yang tidak ramah.
Anak itu tersentak. "Iya, Pa," jawabnya dengan nada ketakutan. Dia segera bangkit, melangkah cepat masuk ke dalam rumah sambil memegang sisa rotinya.
Di dalam, seorang pria dengan wajah garang, yang tak lain adalah Jones, memandang Nicholas dengan tatapan dingin. Tanpa ragu, dia merebut roti dari tangan anak itu dan memakannya dengan lahap, seakan tak peduli pada tatapan hampa Nicholas.
"Tidak berguna!" geram Jones sambil mendelik ke arah anak itu. "Sehari hanya dapat dua roti. Untuk apa aku membesarkanmu selama lima tahun kalau tidak bisa menghasilkan uang?" suaranya penuh amarah dan kebencian. "Lama-lama aku akan menjualmu ke orang lain!"
Nicholas tersentak, matanya melebar penuh ketakutan. "Papa, tolong jangan jual aku," suaranya bergetar saat dia berlutut di lantai, memohon belas kasihan dari ayah angkatnya. "Aku akan patuh dan giat cari uang. Aku telah berusaha cari kerja dengan bibi dan paman tetangga," ucapnya, memandang penuh harap pada Jones, meski tahu harapan itu sering kali sia-sia.