Terlanjur mencintaimu

1378 Words
"Hem, oke. Key, nanti minta tolong sama temen buat mampir dulu. Di tempat biasa 'kan?" Adelio melirik Keysha, mengulum bibir menahan senyum. Gadis itu terlihat malu padanya untuk meminta tolong. "Oke. Halo cantik," Nada suara Keysha berubah lebih lembut mendayu-dayu, suara yang sama persis ketika dia dan Fandy ke warung bakso hanya sekedar melihat Keysha., Tiba-tiba sesuatu menyadarkan Adelio, bahwa gadis di sebelahnya milik orang lain. "Mommy? Mom, masih di jalan cantik. Iya, cantik. Yaudah, cantik tunggu mommy ya di rumah. Siap bos, hadiah meluncur." Adelio berpaling, menatap keluar jendela menahan sesak. Mencintai dalam diam, bodohnya dia kembali jatuh ke dalam lubang yang sama. Seharusnya setelah sekian lama dia sudah bisa membunuh perasaannya. Tho, selama ini juga dia tidak pernah bertemu kembali setelah mendengar kabar dia akan menikah. Namun, pertemuan tidak sengaja ini malah membuat perasaan nya kembali secara perlahan semakin tumbuh. "Iya, pai-pai cantiknya mommy." "Siapa namanya?" Tanya Adelio tiba-tiba. "Ah, bentar. Sorry, saya sampai lupa mengenalkan diri padahal sudah dibantu sampai disini." Keysha merogoh tas lalu mengeluarkan kartu namanya. "Keysha." Ucapnya memberikan kartu namanya pada Adelio. "Hahaha, bukan namamu nona. Tapi, anakmu tadi. But, thanks." Adelio meraih kartu nama dari tangan Keysha yang tampak malu. "Oh. Khem, namanya Cantika." Keysha memalingkan muka, benar-benar terlalu kepedean. Adelio mengangguk-angguk kecil tertawa kecil. "Habis dari sini kemana? Saya dengar tadi." "Ahh, huff.. The Harvest." Keysha mengipasi wajahnya dengan tangan, Adelio melihat itu pun ingin menggoda nya. "Panas ya? Mau tambah AC lagi nggak? Bentar." Keysha dengan cepat menahan tangan Adelio, hingga membuat keduanya serentak menoleh dan terjadi eyes contact. Kening Keysha mengernyit saat merasa ada sesuatu di mata laki-laki ini. "Matamu… " Keysha tersadar mendengar klakson dari belakang, buru-buru menarik tangannya. "ah, sorry." cicitnya membuka jendela guna menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu membuangnya perlahan. "Ah, it's oke." ucap Adelio tenang, padahal hatinya makin degem-degem tidak karuan. Setelah beberapa saat, mobil berhenti di depan ruko cake. Keysha pun bergegas ke luar tanpa embel-embel minta di tunggu. Kali ini dia masa bodoh mau Adelio meninggalkannya atau tidak, muka menggambarkan semuanya bahwa dia benar-benar malu. Belum lagi harus… ah, sial. "Ahh, sial." Adelio mendesah kasar, tatkala melihat gumpalan titik putih di sudut mata. "Tai mata bangsat." umpatnya. Seumur-umur, baru kali ini Adelio malu setengah gila pengen nyebur ke sungai biar malu nya hanyut bersama kebodohannya. "Dasar tai." umpatnya sekali lagi. Tak lama, dia pun mencoba tetap tenang berusaha keras untuk tidak kabur dari sana melihat Keysha kembali ke mobil. "Oh, hai." Sapa nya kaku. "Oh? H-hai?" balas Keysha bingung lalu masuk, duduk dengan tenang sambil memangku cake ulang tahun. Adelio cepat-cepat memalingkan muka, fokus kedepan takut Keysha tau dia tengah gugup. "Habis ini?" "Em, langsung lurus aja nanti ada warung bakso mampir di sana aja." jawab Keysha. "Mau makan?" "Nggak, tapi, kalau kamu mau boleh. Nanti saya buatkan spesial karena sudah membantu saya sampai dengan selamat." "Eh? Masih jualan sampai sekarang ya," "Hah? Ma-masih?" Keysha sontak menoleh mendengar ucapan pria di dekat nya seolah-olah tahu tentangnya. "Oh? Maksudnya… ada jual nasi uduk nggak, lagi suka nasi uduk soalnya. Sorry, lidah gue kadang keseleo kalau deketan cewek cantik. Hehe." ujar Adelio mengelak dengan kalimat yang menurutnya menggelikan. Dia yakin, Keysha bukan orang yang gampang kemakan gombalan abal-abal. "Kok agak basi ya dengernya?" Keysha garuk kepala. Nah kan, malu nya double dah tuh. "Ha-ha-ha." ujung-ujungnya Adelio cuma ketawa kaku. Keduanya kini diam menyambut senja yang perlahan nampak begitu cantiknya. "Nona suka senja?" Keysha tersenyum kecil memejamkan mata menghirup udara yang semakin segar. "Saya tidak suka senja, lebih suka Sunrise." "Kenapa? Senja indah lho." "Percuma indah, kalau akan gelap di akhir. Beda dengan Sunrise." "Bedanya?" "Emmm… saat Sunrise hilang, setidaknya ada siang yang menyambut dengan kenyataan yang ada." *** Ces… "Suka malam?" Zaidan menaruh kaleng minuman soda di meja depan Indomerit. Mereka baru saja selesai melakukan penyergapan terhadap pelaku kekerasan seksual. "Thanks. Yes, lebih tenang." ucap Adelia membuang nafas perlahan-lahan menengadah menatap langit malam. "Indah." bisiknya. Zaidan pun ikut mendongak menatap langit malam. "Indah darimana? Semuanya gelap." lontarnya terkekeh kecil. Adelia pun tertawa kecil. "Gelap itu terlihat indah bagi orang yang tidak suka siang." lontarnya. "Ah, seperti anda." "Emm… maybe." "Nona," Dirga datang membawa laporan. "Pelaku sudah dibawa, langsung ke kejaksaan." katanya. Adelia pun mengangguk lalu berdiri. "Kerja bagus. Anda juga." ucapnya pada Zaidan. "And thanks untuk ini." Adelia menggoyang kaleng soda di tangannya. Setelah itu menepuk lengan Dirga. "Sampai bertemu besok." Lanjutnya berlalu pergi, tangannya sebelah di masukkan dan berjalan menelusuri trotoar pejalan kaki. "Mobilnya?" cicit Zaidan dengan kening mengernyit bingung. "Oh, nona memang begitu. Paling nanti ada supir yang datang." Zaidan menoleh. "Lalu dia?" "Jalan kaki sampai nona lelah. Kalau sudah capek, tunjuk taksi." "Kenapa gitu?" "Entah." Dirga mengangkat bahu menoleh menatap Zaidan yang kini memandang kepergian Adelia. "Baiklah, sampai besok pak." ucap Dirga sedikit aneh melihat tatapan Zaidan pada Adelia. "Ah, ya, sampai besok." Balas Zaidan perlahan kakinya melangkah pelan mengikuti Adelia. Sementara itu, Adelia berhenti mengikat rambutnya kemudian mengeratkan tali sepatunya setelah itu ancang-ancang berlari. Lari di malam hari kini menjadi rutinitas Adelia setelah menikah dengan Zaki. Dokter sialan itu, membuatnya harus melakukan hal melelahkan seperti ini. Dengan berlari dia bisa mengeluarkan semua perasaannya yang terpendam. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berlari dari kenyataan cintanya sejak SMA sampai sekarang bertepuk sebelah tangan. Ingin mengadu pada sang mommy pun rasanya tidak tega. Abi sudah mengingatkan dirinya untuk tidak terburu-buru mengikuti kata hati dan Daddy nya takut salah mengambil keputusan. Yeah, firasat seorang ibu tidak pernah salah. Dia menyesali nya sekarang. Menyingkirkan Zaki dari hatinya bukan hal yang mudah dilakukan, terlebih sikap pria itu selalu membuatnya kagum setiap berkunjung ke rumah. Sekarang Adelia tau, wajah tampan dan kebaikan Zaki hanya kedok belaka. "Hai," Adelia tersentak kaget, lamunannya tentang Zaki seketika buyar melihat Zaidan tiba-tiba menyamakan langkahnya. "Anda ngapain?" Tanyanya tanpa berniat menghentikan larinya. Zaidan mendahuluinya lalu memutar badannya berlari kecil. "Sedang mengejar masa lalu yang tidak sampai mungkin?" lontarnya, Adelia yang denger merasa di ledek. "Oh, semangat deh." ucap melempar senyum tipis dengan terus berlari. Melihat itu Zaidan pun berbalik berlari mengikuti nya. "Apa dengan lari semuanya bisa lepas?" Adelia tidak menjawab, rasanya dia bukan orang yang sok akrab dengan orang baru biarpun itu rekannya. "Menurut saya itu bukan… " Pipp. Suara klakson menghentikan langkah keduanya. Adelia membuang nafas perlahan-lahan mengatur nafas. Adelia tau mobil siapa disana. "Jangan terlalu sering menghela nafas, itu akan menjadi kebiasaan nanti." celetuk Zaidan mendapat tatapan dari Adelia. Pria itu pun mengangkat bahu. "Thanks buat infonya. Saya duluan kalau gitu." Adelia pun melangkah mendekati mobil hitam milik Zaki. Ya, siapa lagi kalau bukan dia. Zaki tadi datang ke kantor Adelia berniat menjemput Adelia, sayangnya kata orang sana Adelia tugas di luar. Untungnya di kasih tau lokasi di mana, dan disini lah sekarang. Dia sudah mengikuti Adelia dari istrinya duduk berdua dengan pria lain, kemudian berlari di tengah malam, lalu pria yang ia lihat tadi kembali mengikuti istrinya. Membuat suasana di dalam mobil terasa panas. Dingin nya AC malah tidak terasa, justru semakin panas terlihat mereka bercengkrama. Tidak ingin melihat mereka berlama-lama, Zaki pun membunyikan klakson dan berhasil menghentikan langkah mereka. "Kompak sekali ya, sampai nengok saja barengan. Cih." Berdecak memutar bola matanya melihat Adelia berlari ke arah mobil. "Siapa?" Tanya nya cuek terkesan tidak peduli,, padahal ingin tahu. "Rekan kerja." balas Adelia. "Rekan kerja kok gitu." Adelia melongo mendengarnya. Alisnya saling bertautan menatap Zaki aneh. "Rekan kerja emang gitu kan? Setidaknya, saya kerja ya kerja, bukan main kuda-kudaan kayak situ." Shit. "Bisa tidak nggak usah dibahas. Sudah tau kan bagaimana saya? Yaudah terima aja." Nyut. Adelia termenung dadanya berdenyut sakit, lalu mengangguk kecil. "Iya sih, ngapain juga kan ngabisin tenaga. Anter saya ke rumah daddy." Ckiit. Mobil dihentikan paksa Zaki, matanya menyala begitu mendengar ucapan Adelia. Apa gadis ini sudah menyerah? "Woi, hati-hati dong. Gila ya, kalau saya kenapa-kenapa gimana? Tau gitu saya ikut—" "Ikut pria tadi. Iya, gitu?" sentak Zaki sedikit ngegas. "Santai massee, ngegas amat. Lagian kalau iya sih, gapapa. Toh kamu sebagai suami saya sudah memberikan saya kebebasan di luar sana. Jadi, untuk apa marah?" "Adelia!!" "Tidak perlu berteriak saya tidak tuli." Pekik Adelia jantungnya di buat marathon mendengar bentakan Zaki. "Kau—" "Mau nganter atau nggak? Kalau nggak, saya turun dari sini. Taksi banyak." Ketus Adelia ancang-ancang membuka pintu. Melihat itu, Zaki pun dengan cepat mencegahnya. "Oke, saya antar." "Bagus."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD