Di panggil Daddy!?

1330 Words
"Thanks." ucap Adelio, Keysha meletakkan semangkok bakso di hadapannya. Seperti ini, Adelio jadi mengingat saat SMA dulu Keysha selalu tersenyum lebar saat warung milik bapaknya rame. Dan gadis ini, tanpa malu ikut turun membantu tidak peduli dengan imej nya. "Wellcome. Oke, saya masuk dulu nanti kesini lagi." "Oke." "Suka bakso?" Tanya bapak Keysha setelah putrinya masuk ke rumah membawa kue ulang tahun untuk cucunya. Beliau duduk memperhatikan wajah tampan Adelio. "Suka pak, dari jaman SMA udah suka sama yang namanya bakso." "Oyah, kalau boleh tau kamu SMA dimana? Soalnya bapak pernah jualan di depan SMA internasional." Sebelum Adelio menjawab, beliau kembali berkata. "Tapi, muka mu rada asing lho. Namanya siapa tadi?" Adelio tersenyum kecil. "Adelio pak, pasti ingat anak yang sering buat pesawat-pesawatan pakai tisu di warung." "Astaga… jadi ini kamu!" "Iya pak, hahaha. Bapak apa kabar, terakhir ketemu sebelum saya lulus. Bapak kok pindah, langganan bapak sampe nangis loh." Bak Salim tertawa, menepuk-nepuk bahu Adelio. "Bapak tidak menyangka bisa bertemu sama pemuda yang punya impian jadi pilot. Jadi, Bagaimana, jadi tidak?" "Jadi dong. Fandy juga berhasil, Joshua lagi ngurusin usaha om Nino. Jadi, ya, begitulah." "Syukurlah. Bapak merasa bangga, mendengarnya. Apa Key, mengenalimu?" Tidak sama sekali." Adelio cemberut, Pak Salim tertawa melihatnya. "Bagaimana dengan kembarannya?" "Adelia baik, jadi jaksa dia sekarang." "Waahh… mendengar semua ini, membuat bapak terharu. Mengingat perjalanan kalian semasa SMA, ah, bapak sampai geli sendiri." "Hahaha, bapak bisa aja. Bapak terlihat ku—" "Daddy!! "Uh!?" Adelio termangu, sesaat otaknya nggak berfungsi, semua jaringan-jaringan otaknya saling mencekik. "Da-daddy? Siapa?" "Cantika, aduh anak ini kemana lagi." Suara lembut mencari Cantika yang kini tengah bersembunyi dibawah meja tempat Adelio duduk. "Daddy sama kakek jangan ngomong sama bunda kalau Cantik ada disini ya, awas Cantika ngambek." Anak itu tampak menggemaskan dengan poni tidak rapi, rambut sebahu lurus, wajahnya yang bulat itu tampak menggemaskan. Jadi ini anak Keysha. "Maaf ya, nak. Mungkin karena kau datang bersama Keysha, jadinya dia berpikir kamu Daddynya." lontar pak Salim. "Ah, begitu. Tidak apa-apa pak." balas Adelio kini tersenyum kecil melihat Cantika tengah tersenyum lebar padanya, melakukan pease saat Adelio memfotonya berniat sharing dengan duo cecunguk sahabatnya. "Cantika, sayang. Ayo…ah, maaf. Saya kira belum ada tamu." Sekar Julie kakak ipar Keysha sedikit tidak enak. "Bapak liat Cantika nggak?" Walaupun dia sudah melihat putrinya, Sekar niatnya bermain dengan Cantika. "Emmm, dimana ya?" Pak Salim masuk dalam permainan cucu dan menantu nya. "Ah, saya sepertinya tau!" Seru Adelio dan mendapat tepukan di pahanya. "Ihhh… Daddy, jangan di kasih tau bunda nya. Nakal kayak mommy." Cantika ngambek. "Da-daddy?" Cicit Sekar belum melihat wajah Adelio karena membelakangi nya. Tak lama, Adelio pun berbalik melempar senyum. "Maaf nona, saya Adelio teman nona Keysha." ucapnya menangkup kedua yg tangan, membuat Sekar terpaku melihat ketampanan Adelio. Sekar terpikat oleh Adelio sampai tak berkedip takut Adelio hanya bayangan. "Hai, sorry lama." Keysha datang bergabung, Adelio pun bangkit dari duduknya. "Mommy." Dengan senyum lebar, Keysha merentangkan tangan menyambut pelukan Cantika ponakannya. "Oyah kenalin ini Zena Cantika." "Cantika cantik 'kan, Daddy." "Da-daddy?" Keysha melirik Adelio tak enak, namun lelaki itu malah tersenyum lebar terlalu gemas melihat Cantika. Dia jadi merindukan Aeri di Seoul sana. Ah, sepertinya dia harus mampir nanti melihat ponakan uculnya. "Iya, diakan teman mommy. Jadi, Daddy Cantika dong." kata Cantika polos. Anak lima tahun ini begitu luwes dalam berbicara, Adelio sampai tak kuat menahan gemas. "Astaga… tidak semua sayang. Sshh.. sorry ya," Cicitnya pada Adelio tidak ingin Adelio merasa tidak nyaman. "It's oke. Dia menggemaskan." Adelio tersenyum mencubit pipi Cantika. "Oyah, ini Sekar, ipar saya ibu dari Cantika." "Eh!? Bukan anaknya nona?" Adelio kaget bukan main. Dia mengira Cantika anak Keysha, tapi, ternyata hanya ponakan. "Idih sok tau. Nikah aja belum." "What!!" Keysha tersentak dengan reaksi Adelio sampai segitu nya. Apa dia terlalu tua ya? Ah, jangan-jangan keriputnya sudah kelihatan. Astaga… udah jomblo keriput lagi, lengkap dah. Begini banget nasib dia, miris. *** Zaidan berjalan memasuki rumah kakaknya dengan senyum lembut. "Dek," Panggilan itu menghentikan langkahnya, menoleh. "Belum tidur kak," "Kebangun tadi." Zahra Jasmine, wanita yang duduk di kursi roda itu tersenyum tatkala adiknya mengecup pelipisnya. "Gimana kerjaannya?" "Emmm, lumayan bagus semuanya berjalan lancar dan juga…" "Benar kamu ketemu dia? Nggak salah orang, 'kan?" "Enggak kak, Idan yakin dia orangnya." "Ahhh… syukurlah. Kapan kakak boleh ketemu sama dia," "Eh? Jangan sekarang deh kak, dia kayaknya ada masalah sama suaminya." "Udah punya pasangan?" "Sudah. Bentar ya," Zaidan mengeluarkan ponselnya lalu mencari artikel tentang Adelia. "Kakak benar, dia orang yang sama." ucapnya memberikan ponselnya pada sang kakak. "Su-suami dokter Arischa Zaki Fauzan?" "Kakak kenal?" Zahra geleng kepala, "Mungkin salah orang. Ya sudah, bawa kakak ke kamar ya ngantuk banget soalnya." "Oke." Zaidan meraih ponselnya setelah itu mendorong kursi roda Zahra ke kamar. "Kalau ada apa-apa, kakak telpon aja." "Iya, sayang. Good night." "Good night." Setelah Zaidan keluar, Zahra membuka laci meja mengambil foto masa SMA dulu. "Kalau memang itu dia, apa dia sudah sembuh?" *** Adelia duduk di ayunan memeluk tubuhnya menatap malam. Berada di kamar sendiri, rasanya nyaman. Kapan ya dia bisa seperti pasangan lainnya? Kembali ke rumah orang tua dengan suami, tanpa harus memainkan peran masing-masing. Malam memang sangat bagus untuk nya melepas semua perasaan lelahnya. Drrtt… Adelia melirik ponselnya yang sempat bergetar sepersekian detik lalu mati. My hubby… lucunya, sedangkan dia bukan siapa-siapa bagi Zaki. Adelia mengambil ponselnya lalu mengganti nama Zaki di sana menjadi pria sinting. "Nah, baru cocok… sama kayak kelakuannya sinting. Malaikat maut berkedok tampan." Adelia menaruh kembali ponselnya lalu memejamkan mata membiarkan angin malam menyentuh kulit wajah nya. Drrtt… Sekali lagi ponselnya bergetar, dan itu sangat mengganggu meditasi nya. "Ah, sial. Nih orang mau nya apa sih," "Ya, halo. Sekali lagi kamu telpon," "Gitu banget sama suami sendiri." "Heleh? Kena angin malam kayaknya nih orang. Gak ada yang lucu tuan Zaki yang terhormat." tekan Adelia mendengar suara kekehan Zaki. Pria itu tengah menatap ke lantai atas, setelah nganter Adelia dia sama sekali belum bergerak pergi. Zaki masih di depan rumah mewah mertuanya. Penjaga tadi memintanya masuk, dia tidak mau hanya ingin disana. "Dee," "Hem, apaan?" "Maaf ya, selalu nyakitin kamu. Saya… saya tidak bisa menghilangkan kebiasaan ini. Ini penyakit buat saya." Adelia sempat terdiam lalu bertanya, "Kenapa?" "Ada sesuatu yang tidak bisa saya ceritakan." "Oh, itu berarti penyakit juga." "Dee," "Begini loh om," "Heh! Enak aja, saya bukan om om ya." "Heleh, nggak sadar umur. Tua mah tua aja, nggak usah sok muda kalau emang udah tua." "Nyebelin ya kamu. Tua tua begini masih kuat, masih bisa—" "Kuat nyakitin, saya setuju tuh." "Adeliaaa!!" "Yes, i'm here." Zaki mengacak rambutnya kesal, selalu saja di buat kalah. Dia kenapa jadi lemah begini? "Kak," Deg deg deg… suara lembut Adelia seketika membuat dadanya berdegup kencang. Apa ini? Apa dia akan mati besok makanya sekarang dibuat deg deg deg an seperti ini. Zaki pernah merasakan ini, perasaan ini pernah ia rasakan. Sayangnya… seketika mati setelah kejadian waktu itu. "Acieee… deg deg deg an ya," "Sialan." "Hahahaha. Khem, kak. Dee serius sekarang. Mungkin, kakak anggap itu penyakit yang nggak bisa di sembuhkan. Tapi, menurut Dee, semua penyakit bisa disembuhkan tergantung kita berusaha aja." "Sayangnya, kamu nggak mau keluar dari lingkaran penyakit yang kamu bilang itu. Aku cuma mau bilang, kalau memang semua itu bisa membuatmu bahagia merasa di agung-agungkan, silahkan lakukan seperti obrolan kita waktu itu." "Asal satu permintaan saya, jangan bawa dia ke rumah, jangan terlalu terang-terangan di luar sana. Karena saya nggak mau, keluarga kena dampaknya." "Ini masalah kita, jangan bawa-bawa orang lain apalagi keluarga. Saya belum siap melihat mereka kecewa, terutama Daddy. Saya nggak bisa melihat Daddy merasa bersalah atas pilihannya." "Dee," "Kakak istirahat, saya bawain sarapan besok. Itu juga kalau kakak mau. Good night hubby." Panggilan terputus, Zaki memegang dadanya. Kali ini bukan debaran, melainkan denyutan yang perlahan sesak. "Ah, sial." kalau sudah seperti ini Zaki butuh pelampiasan. "Kau… dimana?" bisiknya di telepon. Seseorang di seberang sana pun tersenyum penuh kemenangan. "Nasha selalu disini sayang, kemarilah." "Oke." Zaki memutuskan panggilan, melempar ponselnya di dashboard. Lihat, saat dia seperti ini pun, yang ia butuhkan adalah kepuasan syahwat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD