AS 06 || Pingsan

1000 Words
Siang itu Anggita sudah berada di ruang tunggu sebuah klinik kandungan di salah satu rumah sakit ternama di Jakarta. Hari ini ia di jadwalkan untuk bertemu seorang dokter kandungan yang akan melakukan beberapa test pemeriksaan untuk mengetahui tingkat kesuburannya.  Anggita sudah tiba dari pukul 7 pagi tapi belum ada seorang pun yang menemaninya. Baik Edward maupun Clara tidak ada disana. Dirinya bergerak gelisah karena takut. Jujur Anggita ketakutan melihat jarum suntik. Apalagi ia pernah melakukan pemeriksaan rutin dan itu rasanya sakit sekali.  Ia mencoba menghubungi Edward tapi nomornya tidak aktif. Ia kembali lagi mencoba menelpon Edward tapi pria itu benar-benar tak bisa di hubungi. Ia ingin menghubungi Thomas asistennya tapi tak tahu nomornya.  Anggita semakin panik saat satu persatu pasien di panggil masuk ke dalam. Tangannya mulai dingin dan berkeringat. Ia pun mencoba tenang dan berpikir untuk menghubungi kantor agar bisa berbicara dengan Thomas atau Edward. "Halo, Vian. Vian ini gue Anggi. Vian boleh minta tolong sambungin ke Pak Edward atau Thomas? Urgen banget please." ucap Anggita dengan suara bergetar.  "Iya Nggi. Eh ada apa loe minta di sambungin sama Bos?" tanya Vian kepo.  "Duh entar lagi tanyanya. Buruan donk tolong sambungin ke Pak Edward atau Thomas. Buruan penting!" Anggita tampak kesal karena bisa-bisa temannya itu kepo di saat yang tidak tepat. "Iye iye bentar gue sambungin ye." Anggita pun menunggu. Tak lama terdengar suara berat milik Thomas. "Thomas halo ini aku Anggi. Thomas aku udah dirumah sakit buat periksa tapi pak bos atau istrinya kok ngga nongol ya."  Thomas yang tengah berada dalam sebuah rapat pun meminta pamit keluar ruang rapat. "Sorry saya dan Bos lagi rapat sama pemegang saham. Ponselnya di matikan. Nyonya Clara harusnya udah sampai juga di rumah sakit." "Ngga ada. Cuma aku sendiri." ucap Anggita kesal. "Kamu telpon Bu Clara aja. Aku kirim nomor telponnya."  Thomas memutus sambungan teleponnya sebelum Anggita memakinya. Tak lama sebuah pesan masuk ke ponselnya. Anggita langsung menelpon Clara sambil mengumpat kasar.  "Halo." ucap Clara jutek. "Halo Bu Clara. Ini saya Anggita, Bu. Bu mohon maaf Ibu ada di mana ya? Saya sudah menunggu Ibu di depan ruangan dokter kandungan yang kemarin Ibu kasih tahu." "Aku lagi di salon. Kamu periksa sendiri aja."  AN***G !! umpat Anggita dalam hati.  "Tapi Bu bukannya Ibu atau Pak Edward juga harus hadir disini mendampingi saya ya." ucap Anggita menahan kekesalannya.  "Heh! Siapa kamu suruh-suruh aku temenin. Udah jangan manja. Periksa sendiri aja. Awas kalo hasilnya jelek. Saya dan suami saya udah bayar mahal kamu buat hamil."  Lagi-lagi sambungan telponnya di putus secara sepihak oleh Clara dan itu makin membuat Anggita berang. Kalau bukn di tempat umum mungkin Anggita sudah berteriak histeris memaki pasangan menyebalkan itu.  Tak lama nama Anggita pun di panggil. Dengan terpaksa ia pun masuk ke dalam ruangan dokter dengan keringat dingin yang mulai membasahi tubuhnya.  *** Rapat yang di perkirakan akan selesai sebelum makan siang, ternyata molor banyak. Barulah pulul 2 siang Edward dan Thomas keluar dari ruang rapat. Keduanya berjalan menuju kantornya.  Edward merebahkan diri di sofa sambil melepas dasi yang menempel di kerah bajunya. Edward memejamkan matanya karena lelah. "Pak... Tadi Anggita menelpon. Katanya ponsel bapak tidak bisa di hubungi." Edward merogoh ponselnya. Layar ponselnya kembali menyala. Tak lama notif panggilan tak terjawab dan pesan yang semuanya dari Anggita memenuhi layar ponselnya.  Edward menelpon balik nomor Anggita. Tak lama sambungan teleponnya terhubung. "Halo..."  Thomas melihat wajah Edward mengeras. Ia pun mematikan telponnya. "Ada apa Pak?" tanya Thomas melihat Edward bergegas.  "Siapkan mobil kita ke rumah sakit sekarang juga." ucap Edward berlari keluar dari ruangannya.  *** Clara yang sedang menikmati harinya di sebuah salon tersenyum melihat suami tercintanya menelponnya. "Hai sayang. Tumben kamu telepon." sapa Clara sambil tersenyum.  "Kamu dimana?"  "Aku? Di salon lah tapi abis ini mau spa juga. Luluran sekaligus pijit abis udah ngga enak ini badan, yank. Kenapa sayang? Mau pijit juga?" tawar Clara.  Terdengar suara Edward menggeram kesal. "Apa? Salon? Kamu lupa kalo hari ini kita di jadwalkan ketemu dokter kandungan. Kenapa malah Anggita yang datang sendiri. Kamu malah enak-enakan di salon, hah!" "Loh kamu kok malah belain dia sih. Heh aku sengaja ke salon juga buat kamu yank. Lagian kenapa juga kita harus ikut di periksa, toh dia kan yang harus hamil. Jadi dia aja yang periksa. Gimana sih kamu?!" "Kita juga harus periksa, Clara. Aku ngga mau tahu kamu harus cepat datang ke rumah sakit sekarang juga!"  Clara membanting ponselnya kesal. Waktunya untuk bersantai kembali di ganggu karena gadis itu. Ia tampak murka, "Sialan tuh cewek. Ngerepotin banget sih. Kenapa juga gue harus ikutan periksa." gerutu Clara.  Ia memanggil stylist yang sedari tadi mempercantiknya untuk melepas semua benda yang menempel di kepalanya. Ia puj segera pergi menuju rumah sakit.   *** Sementara itu Anggita tampak kaget melihat Edward tengah berdiri menatapnya. Saking paniknya tensi Anggita tiba-tiba drop dan gula dalam tubuhnya menurun hingga ia pun pingsan.  Pihak rumah sakit berkali-kali menelpon Edward tapi sulit dihubungi. Barulah saat Edward menelpon balik pihak rumah sakit memberi tahu kalau Anggita pingsan dan belum melakukan pemeriksaan apapun.  Edward yang mendengar Anggita pingsan langsung bergegas menuju rumah sakit. Ia makin kesal saat tahu dimana keberadaan sang istri yang tengah asik di salon. Padahal di malam sebelumnya keduanya sepakat untuk periksa kesuburan.  Edward bahkan meminta istrinya untuk datang terlebih dahulu bersama Anggita ke rumah sakit untuk di cek dan ia akan menyusul setelah rapat bersama direksi. Tapi ternyata istrinya tidak bisa diandalkan.  "Maaf." ucap Anggita tak berani menatap wajah Edward. Kepalanya menunduk dan tangannya meremas seprai dengan kuat.  Belum sempat Edward bicara, tiba-tiba Clara masuk. "Apa?! Maaf. Enak banget kamu ngomong maaf setelah mengacaukan semuanya. Pake pingsan segala lagi. Kamu tuh ya belum apa-apa udah nyusahin." cerocos Clara kesal.  "Cukup Clara. Lebih baik kamu pergi dari sini." usir Edward sambil menujuk ke arah pintu keluar.  Clara tak menyangka suaminya tega mengusirnya hanya gara-gara Anggita yang pingsan.  "Oh jadi kamu ngusir aku gara-gara dia, gitu?!" ucap Clara dengan suara semakin tinggi.  "Thomas beri tahu dia pintu keluarnya." ucap Edward dingin tanpa melihat ke arah istrinya.  Thomas meminta Clara untuk keluar dari ruangan agar tak semakin memperkeruh keadaan. Anggita semakin menundukkan wajahnya. Air matanya menetes. Berulang kali ia meminta maaf karena sudah mengacaukan semuanya.  Edward duduk di tepi ranjang lalu menarik tubuhnya ke dalam pelukannya. "It's oke. Maaf udah bikin kamu ketakutan." ucapnya lembut. Anggita menangis dalam pelukn Edward. *** TBC 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD