AS 07 || Nama Panggilan

1095 Words
Gadis itu tak tahu apa yang tengah terjadi. Bagaimana bisa si manusia es itu tiba-tiba berlaku sangat manis tadi. Anggita benar-benar bingung. Saat ini keduanya dalam perjalanan menuju Apartemen dan tak ada pembicaraan apapun sejak pulang dari rumah sakit. Aku ngga mimpi kan?! Masih ngga percaya aja kalau tadi di pelukin dia. gumam Anggita sambil melirik pria yang tengah membaca berkas melalui tabnya. Dahinya berkerut berpikir tentang yang baru saja terjadi. Anggita menatap pria di sebelahnya dengan lekat. "Ngapain lihat-lihat." ucap Edward dingin tanpa mengalihkan tatapannya dari Ipad. Nah kan keluar ngeselinnya. Fix gue halu tadi di peluk si manusia es. Gerutu Anggita dalam hati sambil memalingkan wajahnya. Thomas tersenyum geli melihat keduanya dari kaca spion. Tak lama mobil mewah itu sampai di depan lobby Apartemen. "Thanks Thomas." ucap Anggita sambil membuka pintu mobil. "You're welcome, Miss Anggita." Edward sangat kesal karena Anggita tidak mengucapkan terima kasih kepadanya. Padahal ia yang membayarnya. Sebelum sempat protes Anggita membanting pintu mobil lalu segera berlari masuk ke dalam Lobby. "s**t!! Dasar manusia tidak tahu terima kasih." umpat Edward kesal. Moodnya untuk bekerja menguap entah kemana karena gadis itu. "Anda terlalu dingin kepada wanita Pak." ucap Thomas sambil tersenyum. "Berisik kamu! Cepat pulang aku lelah." titah Edward kesal. "Siap Boss." Mobil mewah itu segera meluncur di jalanan meninggalkan pelataran lobby Apartemen. *** "Oke dek. Besok kakak ke rumah sakit ya. Hari ini kakak agak sibuk jadi ngga bisa temenin kamu. Hu'um Kakak janji ngga akan memforsir kerjanya. Ya udah kamu istirahat ya. Bye Seno." ucap Anggita mengakhiri telponnya dengan sang adik. Ia membalikkan tubuhnya di ranjang. Badannya masih terasa demam. Anggita paling anti datang ke rumah sakit. Bukannya sembuh ia malah semakin sakit seperti saat ini. Ia menatap bungkusan obat yang harus ia minum agar tubuhnya kembali fit. Ia pun turun dari ranjang lalu segera membersihkan diri. Barulah ia memesan bubur ayam dari sebuah aplikasi ojek online. Anggita hampir ketiduran menunggu bubur ayam pesanannya sampai sebuah bunyi pintu apartemennya terbuka memperlihatkan sosok pria tinggi jangkung masuk ke dalam dengan membawa bungkusan. "Kamu pesan bubur ayam?" tanyanya membuat Anggita mengerjap. "Oh... Iya." Anggita segera meraih bungkusan itu dan membawanya ke dapur. Edward mengikutinya ke dapur. "Kenapa ngga bikin bubur sendiri? Kamu emang yakin kalau buburnya higienis? Dasar jorok. Makan sembarangan. Pantesan aja kamu gampang sakit. Makanan ngga di jaga." cerocos Edward panjang lebar. Anggita membalikkan tubuhnya menatap Edward. "Kamu jauh-jauh kesini cuma buat ngomel doank? Maaf aku ngga butuh ocehan kamu. Lebih baik kamu pergi dari sini daripada bikin kepala aku makin pusing." usir Anggita kesal. Edward menatapnya tak suka, "Kamu usir aku dari rumah ku sendiri?!" "Terserah!" Anggita memilih pergi menghindar. Ia segera memakan bubur ayamnya yang masih hangat, mengabaikan tatapan tajam pria di depannya yang tak suka melihatnya memakan bubur ayam. Setelah menghabiskan satu mangkuk bubur ayam ia segera memakan obatnya lalu kembali tidur. Disana lagi lagi Anggita harus kebal dengan sindiran dari Edward. "Ya ampun seorang gadis makan satu mangkuk bubur ayam abis itu langsung tidur ck selamat datang gendut." cibirnya membuat darah Anggita meroket. Anggita mengelus dadanya mencoba tak terpancing dengan ucapan jahat Edward. "Sabar Nggi. Anjing menggonggong kafilah berlalu. It's oke gendut juga yang penting happy." ucap Anggita membalas sindiran Edward. Ia pun masuk ke kamarnya. "Hei! Kalo aku aku lagi ngomong itu... Anggita.. bangun hei bangun. Jangan becanda kamu ya." ucap Edward panik karena Anggita kembali pingsan. Ia menggendong masuk ke kamar lalu menelpon dokter pribadinya. Dahinya terasa panas. Ia jadi teringat perkataan Seno beberapa hari lalu yang tanpa sengaja ada niatan bertemu. "Kakak itu sebenarnya sok-sokan kuat padahal aslinya rapuh banget. Kakak juga kalau sakit paling anti yang namanya ketemu dokter apalagi datang ke rumah sakit. Yang ada sakitnya makin parah. Pernah sekali waktu dia sakit disini pas jagain aku, terus ku ancam biar dia mau berobat eh yang ada malah pingsan dan demam tinggi. Jadi ku mohon jaga kakak selama aku ngga ada di sampingnya." ucap Seno waktu itu. "Dasar keras kepala." ucap Edward sambil mengompresi dahinya. Tak lama dokter pun datang dan memeriksa kondisinya. *** "Apa lihat-lihat." ucap Edward dingin saat masuk ke kamar Anggita dengan sebuah mangkuk yang berisi bubur ayam. Anggita mengerjapkan matanya berkali-kali. Mulutnya menganga seolah mimpi Edward yang merawatnya semalaman. Masih kental dalam ingatannya saat semalam ia terbangun karena haus. Edward pun terbangun dan menyodorkan segelas air untuknya. Tak lama ia pun terlelap kembali. "Kamu lihat setan ya. Sampe bengong kayak gitu." Anggita mengangguk. "Kamu kayak setan Pak." "Apa?!" "Kamu kayak setan. Sekarang baik kayak malaikat beberapa menit kemudian dingin tak tersentuh kayak setan. Kamu maunya apa?" Edward tak bisa berkata apapun. "Ngga udah banyak ngomong. Cepet makan buburnya mumpung masih hangat." "Bapak bikin bubur sendiri?" Edward mengangguk. "Kamu pikir aku orang jorok kayak kamu yang beli bubur ayam sembarangan." Anggita mendelik kesal. "Ck... Ngga yakin aku Bapak masak sendiri. Emang bisa masak?" Anggita meragukan Edward. Edward mengambil kembali bubur ayam yang sudah ia hidangkan untuk Anggita, lalu beranjak keluar dari kamar. "Eh... itu mau di bawa kemana buburnya?" Anggita mengejar Edward yang membawa bubur ayamnya. Sesampainya di dapur, Anggita menahan Edward yang akan membuang bubur yang ia buat sendiri. "Jangan di buang Mas sayang buburnya. Aku percaya deh kalo Mas buatin bubur buat aku. Aku minta maaf." ucap Anggita sesal. Mas? Apa barusan dia panggil aku Mas? Edward berdehem grogi. "Ya udah buruan habisin dan ngga usah banyak tanya." Senyum Anggita melebar. Ia mengambil kembali mangkuk buburnya lalu duduk di meja makan. Edward duduk di depannya sambil menyeruput kopi yang ia buat. "Hum... yummy. Lebih enak dari bubur si mamang depan apartemen." Edward merasa tersanjung, tapi ia tak memperlihatkannya. "Iyalah. Kamu pikir aku mamang tukang bubur yang masak buburnya ngasal. Gini-gini aku pernah sekolah calon chef di Perancis." "Jeongmalyo? Eh maksudnya ciyusan Pak?" Pak? Dia panggil aku Bapak lagi ck dasar manusia ngga jelas. Edward diam saja tak menanggapi. Ia lebih fokus dengan koran yang ia baca, sesekali menyeruput kopinya. "Kenyang. Makasih Mas Edward bubur ayamnya. Bubur ayamnya the best banget." puji Anggita sambil mengacungkan kedua jempolnya ke hadapan Edward. "Kamu tuh kalo manggil orang yang konsisten donk. Tadi Bapak sekarang Mas. Ngga jelas." Anggita menunduk malu, wajahnya merona. Entah mengapa setiap kali bersama Anggita, wajah gadis itu kerap sekali merona. "Emangnya mau di panggil apa? Aku juga bingung. Mau Bapak apa Mas?" tanya Anggita balik melempar pertanyaan. "Malah balik tanya." "Ya udah panggil Bapak aja ya." "Emangnya aku bapak mu." potong Edward kesal. Anggita kembali menundukkan kepalanya. Wajahnya makin merona. "Maaf... Mas." cicit Anggita malu. Edward tersenyum simpul. "Awas kalo berubah lagi." Anggita mengangguk. Edward pergi meninggalkan Anggita dengan senyum mengembang. *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD