BAB 5 :: ONE FINE DAY? HMMM....

2245 Words
Azkia memegang kertas yang berukirkan tinta emas disepanjang sisinya. Ia sesekali menatap pria paruh baya yang sedang duduk didepannya. Azkia tersenyum miris, ketika fakta ayahnya akan menikah lagi itu semakin benar. Bukan hanya mimpi disiang bolong. "Ayah harap, kamu bisa datang." Ucap pria itu. Azkia tertawa. Namun, tawanya terdengar sedih. Cewek itu berusaha menyembunyikan semuanya. Sedih, kecewa dan marah semuanya bergumul didalam dadanya. Ia pun menatap tajam ayahnya. “Sudah berapa kali saya bilang. Saya tidak mau! Lebih baik saya datang ke rumah sakit! Daripada harus bertemu wanita jalang itu!" bentak Azkia dengan melempar undangan itu. Emosi pria ini ikut memuncak. "Jaga mulut kamu Azkia! Dia bukan wanita jalang. Dia ibu tiri kamu! Harusnya kamu sadar! Ibumu yang dirumah sakit itu sudah mati!" Bentak Bimo, ayah Azkia. Azkia tertawa. Namun, tak terasa air matanya jatuh satu persatu. Cewek itu pun menundukkan kepalanya. "Dia belum mati! Ayah saya yang sudah mati! Lebih baik sekarang anda pergi! Pergi dari rumah saya!" teriak Azkia diiringi isak tangisnya. Ia melempar barang yang ada disekitarnya kearah pria itu.  Dengan emosi yang masih bersarang didadanya, pria itu pun pergi meninggalkan anaknya yang semakin terisak. "DASAR TUA BANGKA!" Teriak Azkia dari dalam yang masih bisa terdengar oleh Bimo. Bimo tidak memperdulikannya. Ia malah terus berjalan menuju basemant dengan wajah seolah-olah tak bersalah.  Sedangkan Azkia, cewek itu masih menangis. Ia menatap kembali undangan yang tadi dilempar olehnya begitu saja. Ia meremas undangan itu. Ayahnya telah berubah. Ayahnya bukan ayah yang Azkia kenal. Ayahnya yang dulu sangat setia kepada istrinya. Ayahnya yang dulu sangat menyanyanginya. Ayahnya yang dulu tidak akan membuat istri dan anaknya menangis. Bukan seperti saat ini. Dia bukan lagi Ayah Azkia. Ayah Azkia sudah meninggal. Itu yang Azkia pikirkan.  Dering handphone Azkia berbunyi tanda ada panggilan masuk. Namun, Azkia tak menghiraukannya. Azkia masih larut dalam kesedihanya itu. Azkia merasa kini dunianya telah hancur. Tak ada lagi yang memegangi dirinya saat ini. Tak akan ada lagi yang mengulurkan tanganya ketika ia terjatuh. Ayahnya yang saat itu ia jadikan satu-satunya penopang dalam hidupnya, kini sudah pergi bersama kehidupan barunya. *** Setelah mengirim pesan kepada Azkia, Azka langsung memasuki kembali ruang rapat untuk membahas perkembangan acara PENSI yang akan diadakan 2 minggu lagi.. "Oke, kita lanjut lagi. Sekarang Sie.Konsumsi. Gimana perkembangannya?" Tanya Azka. "Sudah 70%. Kita tinggal konfirmasi lagi sama ngelunasin semuanya. Oh iya, jumlah bintang tamu ditambah sama tim kepolisian nanti ada 20 orang kan?' Jawab dan tanya Zenira. "Oh iya. Ka! Kemarin Pak Seno bilang. Kalau jumlah Bintang tamu sama tim kepolisian itu jumlahnya jadi 25 orang. Dan anggarannya ditambah jadi 50 ribu perorangnya." "Oh oke.. ada lagi? Kalau nggak ada Kakak lanjut ke jobdesk selanjutnya." Zenira menggelengkan kepalanya. Azka pun kembali melanjutkan mengecek kesiapan masing-masing jobdesk untuk acara nanti.  “Oke, semua jobdesk sudah Kakak cek. Bagi yang belum selesai silahkan selesaikan secepatnya. Sebelum saya tutup rapatnya, masih ada yang merasa belum paham atau kurang jelas?" Tanya Azka sambil menatap pengurus OSIS yang lain.  Semuanya menggelengkan kepalanya. Tidak. "Oke.. sekbid 1, pimpin doa." Ucap Azka. Yoga pun menganggukkan kepalanya dan mulai memimpin doa. Setelah selesai berdoa sebagian dari mereka ada yang langsung pulang kerumahnya, ada yang langsung pergi untuk menemui teman-teman mereka adapula yang tetap duduk disini. "Eh guys, gue duluan ya. Ada urusan bentar." Teriak Azka. Ia melirik jam tangannya, jam 10.40. Cukup bagi Azka untuk pergi ke apartement Azkia dalam waktu 20 menit.  Ini hari sabtu, sekolah libur. Sudah menjadi kebiasaan mereka, jika hari sabtu atau hari libur mereka selalu mengadakan rapat dipagi hari. Sehingga bila rapat sudah selesai, biasanya mereka akan pergi bermain entah bersama pengurus OSIS lagi atau bersama teman-teman sekelas mereka. "Lo nggak ikut main bareng kita? Tumben.." celetuk Feranda.  Azka menggelengkan kepalanya. "Gue nggak bisa. Sorry ya,," Ucap Azka sambil memakai sepatunya. "Yah..nggak asyik dong. Nggak ada yang bisa diporotin." Ucap Bayu. "Ye.. lo modal dikit kek Bay! Pengenya ditraktir mulu. Udah ah, gue duluan ya.." Azka pun pergi meninggalkan ruangan ini menuju parkiran sekolah. Karena ini hari sabtu, jadi Azka ke sekolah menggunakan baju bebas, sehingga membuatnya tidak usah repot-repot untuk berganti baju dulu kerumahnya. Setelah memakai helmnya, Azka menaiki motornya. Ia menyalakan mesin motornya lalu mulai melajukan motornya itu menuju apartement Azkia. Hanya 15 menit, kini Azka sudah sampai didepan pintu apartement cewek itu. Ia membuka pintu apartement Azkia yang memang tidak pernah dikunci itu. Azka memasuki apartement ini. Sepi.  "Azkia?" panggil Azka. Namun, tak ada jawaban. Azka pun pergi mencari-cari Azkia keseluruh ruangan di apartement yang lumayan luas ini. Ketika Azka keluar dari kamar Azkia, cowok ini samar-samar mendengar suara petikan gitar beserta suara orang yang menyanyi. Suaranya sangat merdu. Azka pun mencari sumber suara itu yang membawanya kepada ruangan yang berada diujung.  Azka membuka pintu ruangan itu pelan-pelan. Azka bisa melihat, Azkia yang sedang memangku gitar sambil bernyanyi itu dengan posisi yang membelakangi Azka. Sehingga cewek itu mungkin tidak menyadari kehadiran Azka. “And I remember all those crazy things you said. You left then running through my head. Youre always there, youre everywhere. But right now I wish you were here.." Azka yang mendengarnya hanya mampu terdiam dan memperhatikan Azkia yang sedang terhanyut dalam lagunya itu.  Suara Azkia yang sedikit parau serta petikan gitar yang dibuat dengan nada sedikit mellow itu terdengar sangat cocok. Namun, dibalik itu semua, lagu itu seperti menyiratkan luka didalamnya. "Hiks..hiks..hiks.." Azka melihat bahu cewek itu bergetar. Azkia menghentikan petikan gitarnya dan menangis sekeras-kerasnya. Rupanya, Azkia memang tidak menyadari kehadiran Azka dibelakangnya. Azka berjalan menghampiri cewek itu. "Suara kamu bagus." Hibur Azka. Azkia menolehkan kepalanya ketika mendengar suara itu. Kini, Azka tepat berada dibelakangnya. "Lo..ngapain disini?" Azkia menghapus airmatanya dengan cepat setelah menaruh gitarnya itu. Dan kepalanya ia arahkan kembali kedepan, tidak menatap Azka. "Kamu nggak baca pesan saya?" Tanya Azka. Ia pun duduk disamping Azkia. "Nggak. Handphone gue ada dikamar." Jawab Azkia. "Emang lo mau ngapain sih kesini. Ini hari libur." "Saya kesini mau ngajak kamu jalan." Ucap Azkia. "Oh iya, kamu.. kenapa nangis?" Azka sedikit mencondongkan tubuhnya kearah Azkia. Dan menelisik wajah Azkia lamat-lamat. Azka bisa melihat jelas mata Azkia yang terhalangi oleh rambutnya itu menyembab. Sedangkan Azkia yang diperhatikan oleh Azka merasa gugup. Jika dilihat-lihat Azka terlihat sangat tampan. "Eh. Si..siapa.. yang nangis sih?" ucap Azkia gugup. Azkia pun sedikit mengalihkan wajahnya ke kanan. Tidak menghadap kearah Azka. Azka tertawa tepat didepan telinga Azkia. Jujur. Ini pertama kalinya Azkia mendengar suara tawa Azka. Biasanya, cowok itu selalu memasang wajah datar didepannya. Ketika Azkia membalikkan wajahnya kearah Azka 'cup…’ Bibirnya tepat mengenai bibir cowok itu. Azka mengerjapkan matanya dan menatap Azkia yang kini membelalakkan matanya itu. Seketika Azka malah asyik menatap wajah cantik yang ada didepannya ini. Namun, ketika Azka tersadar, Azka langsung menjauhkan wajahnya itu. Azkia menundukkan kepalanya. Malu. Bagaimanapun ini yang pertama kalinya ia bersentuhan seperti itu dengan lawan jenisnya. Ingat ! sebandel-bandelnya Azkia, ia tidak pernah bermain nakal dengan para lelaki. "Ma...Maaf. Gu..gue nggak sengaja." Ucap Azkia gugup sambil meremas tangannya. "Sumpah gu...gue nggak..sengaja. Ta..tadinya gue Cuma mau lihat lo ketawa. Ta..pi malah gini. Heh.." lanjut Azkia.  Azka berusaha terlihat cool dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. "Ya." Jawab Azka singkat. Ia pun menghadapkan tubuhnya kearah jendela besar yang ada didepannya. Suasana canggung pun tercipta diantara mereka. Satu sama lain menutup mulutnya. Bingung untuk berbicara apa.  "Ekhem! Saya kesini mau ngajak kamu jalan." Ucap Azka canggung namun mencoba mencairkan suasana. "Terus?" Tanya Azkia. "Kamu..mau?" sumpah! Azka terlihat seperti seorang cowok yang sedang mencoba mendekati sang pedekateannya. Dan Azka semakin terlihat bodoh ketika cowok itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu. Azkia tiba-tiba tertawa melihat Azka yang bertingkah seperti itu, "Ngapain ketawa? Emang saya lucu?" Tanya Azka dengan memasang wajah datarnya lagi. Sebenarnya cowok itu merasa salah tingkah. "Lo lucu. Kaya anak kecil tahu nggak." Ucap Azkia. "Terus gue saranin, lo nggak usah pake saya-kamu. Gue-Lo aja, supaya lebih enak. Lagian gue liatin, kalau lo ngomong sama temen-temen lo, pasti lo pake gue-lo. Tapi giliran ngomong sama gue, kok malah saya-kamu, gue jadi ngerasa kaya ngomong sama orang tua tahu nggak." saran Azkia. Azka menganggukkan kepalanya mendengar saran Azkia itu. "Yaudah. Sekarang gue bakal pake lo-gue. Udah kan?" ucap Azka yang mulai santai itu. "Yaudah, soal tawaran tadi, lo mau nggak?" Tanya Azka. "Tawaran yang mana?" "Gue mau ngajak lo jalan. Lo mau nggak? Mumpung lagi libur dan gue lagi baik buat ngehibur lo yang abis nangis itu." tawar Azka lagi. Azkia pun bingkas dari duduknya yang diikuti oleh Azka. "Yaudah ayok. Dan sekali lagi, gue nggak nangis. Kalau lo ngeliat gue seperti itu, lo anggap aja nggak pernah lihat, oke?" ucap Azkia dengan tubuh yang menghadap Azka. Azka tersenyum tipis. Tangannya ia julurkan ke wajah Azkia. "Mata lo nggak bisa bohong. Orang sembab begini." Ucap Azka sambil mengusap mata Azkia. Azkia dengan kasar menyentakkan lengan Azka agar menjauhi wajahnya. "Iya..iya. terserah lo. Yaudah, gue mau ganti baju dulu. Lo tunggu diruang tengah aja." Azka menganggukkan kepalanya. Kemudian, mereka berdua pun pergi meninggalkan ruangan ini. Azkia pergi ke kamarnya, sedangkan Azka pergi menuju ruang tengah untuk menunggu Azkia. Azka menggelengkan kepalanya, ketika lagi-lagi melihat ada tiga bungkus rokok di meja ruang tengah ini. Azka pun mengambilnya lalu membawa rokok itu keluar untuk membuangnya ditempat sampah terdekat. Setelah membuangnya, Azka kembali masuk kedalam apartement Azkia. Tepat ketika Azka duduk di sofa, Azkia keluar dari kamarnya. "Udah siapkan? Berangkat yuk!" ajak Azka. Azkia pun menganggukkan kepalanya. Lalu mereka pun pergi meninggalkan apartement ini menuju basemant dimana Azka menaruh motornya. "Nih.. pakai helmnya." Azka memberikan helm itu kepada Azkia yang langsung dipakai oleh cewek itu. Azka melepaskan jaket yang dipakainya dan memberikan jaket itu kepada Azkia. Azkia mengerutkan keningnya. Tidak mengerti maksud Azka yang memberikan jaket itu. "Rok lo pendek. Pakai ini." ucap Azka. Azkia mengerjap-ngerjapkan matanya. "Oh iya." Azkiapun mengambil jaket itu kemudian melingkarkan kepinggangnya. Sedangkan Azka sudah menaiki motornya. "Udah kan? Cepet naik." Azkia pun segera menaiki motor Azka. "Pegangan. Gue nggak mau lo kenapa-napa." Ucap Azka. Azkia pun menjadikan bahu Azka sebagai pegangannya.  Azka yang merasa risih, mengambil lengan kanan Azkia dan menarik lengan cewek itu agar melingkari pinggangnya. "Gue bukan tukang ojek." Ucap Azka sambil melirik kaca spion. Azkia menelan ludahnya gugup. Tanpa melirik kaca spion, cewek itu melingkarkan tangan kirinya ke pinggang Azka. Setelah itu, Azka pun mulai melajukan motornya meninggalkan basemant ini. Hanya butuh waktu 20 menit bagi Azka untuk ketempat ini. Azkia pun turun dari motor Azka sambil melepas helmnya. "Pasar Malam? Ngapain?" walaupun ini masih sore, tapi Pasar Malam ini sudah dipenuhi oleh pengunjung.  "Iya. Terus mau kemana lagi coba?" Ucap Azka setelah melepas helmnya. "Nggak. Gue.. udah lama aja nggak kesini. Terakhir itu, waktu kelas 1 SMP." Azkia menatap bianglala yang berputar itu. Memutarkan ingatannya pada kenangan masa kecilnya yang sangat menyukai bianglala. Menurutnya, bianglala itu seperti roda kehidupan. Ketika bianglala berada dipuncaknya, kita merasa senang melihat keindahan yang berada disekeliling kita. Namun, ketika bianglala itu sudah berada diputaran yang terendah, keindahan itu seolah sirna dimakan waktu. "Lo mau naik bianglala?" Tanya Azka.  "Hah? Lo berani emang? Itu tinggi banget loh.." ucap Azkia sambil menatap bianglala yang besar dan tinggi itu. "Beranilah. Gue kan cowok." Ucap Azka dengan pedenya. "Yaudah mau naik nggak nih?" Tanya Azka lagi. Azkia tertawa tipis, kemudian menganggukkan kepalanya. "Ayok deh!" mereka berdua pun pergi untuk membeli tiket menaiki bianglala itu. *** "Oke.. sekarang gue mau ngomong serius." Ucap Azka sambil menatap Azkia tegas. "Yaudah apa?"  "Minggu ini lo udah kehilangan 20 point dari Pak Reno. Karena lo udah ngelanggar 3 hal. Yang pertama, lo terlambat 2 kali. Yang kedua, lo nggak ngerjain tugas 4 kali. Dan yang ketiga, lo ketahuan ngerokok lagi. Jadi, lo punya sisa point 50 lagi." Jelas Azka. "Ya.. minggu ini lo nggak separah minggu lalu. Tapi, gue harap lo nggak akan pernah ngelanggar apapun lagi." "Berarti, permintaan lo nggak bakal aneh-aneh kaya minggu kemarin kan? Awas aja kalau kayak minggu kemarin!” ucap Azkia. Azkia masih ingat sekali, hukuman yang diberikan oleh Azka kepadanya, yaitu ia harus mengerjakan 100 soal matematika tanpa melihat buku dan bertanya kepada siapapun. Tentu saja, hal ini membuat dirinya kapok. Karena bagaimanapun matematika adalah pelajaran yang amat sangat ia hindari. Dan itu merupakan kelemahan Azkia. “Nggak aneh kok. Gue Cuma minta satu hal aja, lo jangan ngerokok selama 4 bulan kedepan. Dalam artian, selama gue ngawasin lo, lo nggak boleh nyentuh rokok-rokok itu. " Azkia membelalakkan matanya.“ Apa? Gue nggak mau. Yang lain aja deh. Rokok itu udah kaya sebagian dari hidup gue. Gue nggak bisa. Gue kan udah bilang, jangan yang aneh-aneh." Tolak Azkia mentah-mentah. "Lo harus bisa. Rokok itu nggak baik. Apalagi lo cewek." "Terserah lo. Tapi gue nggak bisa berhenti gitu aja. Susah kalau udah candu." "Lo pasti bisa. Gue bakal bantuin lo. Gue nggak main-main, kalau lo ngelanggar, gue bakal minta Pak Reno buat ngurangin point lo lebih banyak." Ucap Azka final dan tegas.  "Gue nggak bisa Ka!" "Jangan bilang nggak bisa, kalau lo aja belum nyoba." "Tapi.." "Nggak ada tapi-tapian, kalau lo mau naik kelas." Potong Azka. Azkia hanya bisa terdiam. Ia bingung harus membalas ucapan Azka seperti apa. Kali ini Azkia akui, ucapan Azka benar. Dan dia salah.  "Yaudah, gue bakal coba." Ucap Azkia pasrah. Azka tersenyum. "Bagus. Gue bakal bantu lo. Yaudah, sekarang kita balik. Udah jam Sembilan.” Ucap Azka sambil bingkas dari duduknya. Azkia pun bingkas dari duduknya. Dan sedikit merapihkan roknya. "Yaudah ayok!" "Pake ini." Azka menyodorkan jaket yang sedari tadi dipegang olehnya. Azkia yang sudah mengerti pun mengambil jaket itu dan menalikan kembali dipinggangnya.  Mereka berdua pun berjalan menuju parkiran untuk mengambil motor Azka yang terparkir disana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD