Nurma terduduk lesu di lantai setelah sedikit menekan kata-katanya. Kali ini, air mata membasahi pipi putihnya. Sedikit meraung, pertahanan Nurma roboh saat itu juga. Aku mendekat wanita itu perlahan, lalu mencoba memeluknya seperti ketika duka menyelimuti hatinya sepeninggal sang ibu.
Pukulan kecil itu mendarat di dadaku. Sekuat tenaga, tetapi rasanya terlalu berat melakukannya. Tubuh Nurma mendarat di dadaku. Lemah, tenaganya seolah-olah tidak ada. Nurma lebih fokus pada tangis yang ditumpahkan di dadaku.
Kubiarkan wanita itu menangis hingga puas. Hingga seluruh kecewanya tersalurkan oleh air mata. Sesaat kemudian, Nurma berhenti terisak. Ia mendongak, lalu kuusap air mata yang membanjir di pipinya dengan telempap.
"Maafin aku, Nur. Aku terima kalau kamu–"
"Ssstt." Lirih Nurma menghentikan kata-kataku.
"Jangan katakan talak, Mas. Kita tebus dosamu bersama."
Hamdallah kuucap berulang kali. Entah wanita macam apa yang kuhadapi saat ini. Wajah teduhnya, tutur halus juga sikap dewasanya membuatku makin tak habis pikir. Apakah benar bahwa Nurma adalah wanita biasa, atau malaikat tak bersayap kiriman Tuhan?
"Nur, apa kamu yakin? Aku tahu ini ndak mudah buat kamu. Aku ndak mau kamu tersakiti," jelasku.
Nurma menggeleng. Lagi ditenggelamkannya paras ayu itu dalam pelukanku. Wanita itu menggeleng lemah. Nurmaku tetap pada keputusannya.
“Aku yakin, Mas.”
Mantap sudah hatiku menerima Kinan. Bukan hanya karena tanggung jawab, tapi juga karena kebesaran hati Nurma memaafkanku.
***
Pagi itu, setelah selesai sarapan, aku berencana mengajak Kinan untuk mendaftar di salah satu SMP negeri di kota ini. Semua telah siap sebelum akhirnya telepon berdering.
“Assalamualaikum.”
“Wa'alaikumussalam, Pak Toh,” sahutku..
Pak Toha adalah langganan pasirku. Beberapa kali beliau meminta didatangkan beberapa kubik pasir untuk kebutuhan toko bangunannya. Hari ini pun sama, beliau memintaku untuk segera mendatangkan pasir super sebab ada konsumennya yang memesan dan stoknya kurang.
“Maaf Pak, kalau agak siang bisa ndak? Saya ada urusan pagi ini,” ucapku.
“Aduh ... pagi inilah, Mas. Ada yang butuh soalnya.”
Aku bingung harus bagaimana? Urusan mencari nafkah penting. Urusan Kinan juga penting. Tiba-tiba, Nurma menepuk pundakku pelan. Ia memintaku menunduk untuk kemudian berbisik litih.
"Biar aku yang antar Kinan, Mas Pram kerja aja,” katanya.
Aku mengangguk. Akhirnya kuiakan permintaan Pak Toha untuk mengirim pasir pagi ini, sedangkan Kinan akan diantar Nurma mendaftar sekolah. Jujur saja, aku bangga pada mereka berdua. Berbeda usia, tapi mampu memahami perasaan satu sama lain.
"Assalamualaikum."
Tak lama, salam terucap dari arah teras. Anas yang datang pagi ini. Seperti biasanya, Anas akan menjemput Bagas untuk berangkat bersama anaknya ke sekolah.
"Wa'alaikumussalam." Kami kompak menyahut.
Anas masuk ke rumah bersama anaknya ketika kami tengah duduk bersama di meja makan. Dia terlihat heran mengetahui keberadaan Kinan di rumah ini. Ya tentu saja. Kami memang belum terbuka soal gadis itu kepada siapa pun. Termasuk Anas.
"Loh, ini siapa, Mas?" tanyanya.
Aku menelan ludah dengan kasar. Bingung harus menjawab bagaimana. Sementara Nurma mencoba mengalihkan perhatian Anas.
"Bagas berangkat, gih. Udah ditungguin Pak Lik tuh," ucapnya sambil memasangkan sepatu untuk Bagas.
Sementara bocah kecil itu masih asyik meminum segelas s**u di hadapannya. Namun, Anas terlihat masih penasaran. Kembali dia bertanya kepadaku.
"Siapa sih, Mas?"
Aku masih diam sembari saling menatap dengan Nurma. Tak mungkin kujawab jika Kinan adalah anakku. Akan ada pertanyaan lain yang akan diutarakan Anas setelah itu. Anak siapa? Darimana? Bagaimana? Sebelum akhirnya Kinan menjawab tanpa ragu.
"Saya anak temennya Om Pram, Pak Lik. Dititipkan di sini sementara orang tua saya sedang bekerja di luar kota," tutur Kinan seraya mengulum senyum kepada Anas.
Astaghfirullah. Kinan sampai berbohong dan lebih memilih mengaku menjadi anak temanku ketimbang membuat riuh keluarga ini. Sungguh aku merasa gagal menjadi Ayah. Disaat Kinan tak pernah meragukanku, aku malah tak berani mengakuinya sebagai anak.
Anas mengulas senyuman walau sedikit ragu. Kemudian ia berpamitan untuk segera mengantar Bagas dan anaknya ke sekolah. Aku dan Nurma saling berpandangan. Sama-sama saling mengunci pikiran kami sendiri-sendiri, mengapa Kinan berkata bohong kepada Anas?
Kudekati gadis yang sedang menyantap makanannya di meja makan. Menatapnya lekat-lekat demi bisa memahaminya yang tampak biasa setelah menyebut dirinya sebagai anak temanku.
"Kinan kenapa bohong, Nak?" tanya Nurma yang terlihat prihatin.
"Enggak papa, Bu. Apa jadinya kalau orang tahu siapa Kinan sebenarnya," jawabnya seraya mengulas senyum.
Gadis ini membuatku malu. Pikiran dewasanya seakan-akan menampar wajahku dengan keras. Bapak macam apa aku ini? Bahkan mengakui darah daging sendiri saja aku tak mampu.
Nurma menepuk pundakku pelan setelah itu Ia mengulas senyum demi menguatkanku. Nurma tahu hatiku sedang gundah saat ini.
"Berangkat gih, nanti Pak Toha lama nunggunya."
Aku mengangguk dan segera bangkit berdiri. Nurma meraih tanganku, diciumnya takzim seperti biasa. Kinan pun beranjak menyalamiku. Subhanallah. Karma baik apa hingga aku mempunyai orang-orang baik di sekitarku.
□□
"Bener itu anakmu, Mas Pram?" tanya Karto ketika kami tengah makan siang di warung.
"Iya To, aku ndak tahu pacarku dulu hamil pas aku pulang ke sini," jawabku.
Pak Mul ikut menyimak. Usianya lebih tua dari kami. Dia sering memberi aku dan Karto wejangan untuk hidup kami ke depannya.
"Tapi pacarmu ndak minta dinikahi 'kan, Mas" tanya Karto lagi.
Aku menggeleng. Sri memang tak memintaku menikahinya, dia hanya berharap aku merawat Kinan dengan baik.
"Ya wis, Pram. Tanggung jawabmu sekarang tinggal mendidik dan merawat anakmu. Lagi pula Nurma ndak keberatan, to? Syukur punya istri kayak Nurma. Nerima ikhlas," tutur Pak Mul menasehati.
"Iya, Pak Mul. Alhamdulillah," sahutku.
Ponsel di saku celana tiba-tiba berdering. Kulihat nama Kinan yang tertera di layarnya. Gegas kuangkat panggilan itu dengan segera.
“Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam, Pak.”
“Ada apa, Nak?” tanyaku.
Kinan terdengar ketakutan, perasaan mulai tak enak. Apa sebenarnya yang terjadi? Kinan memintaku pulang dengan segera tanpa memberitahu alasannya. Segera kupacu truk yang terparkir di depan warung menuju ke rumah sebelum akhirnya kuturunkan Pak Mul dan Karto di rumah masing-masing.
Kinan tampak mondar-mandir di depan rumah. Raut kegelisahan tampak di wajah ayunya yang makin membuatku khawatir. Ada apa sebenarnya?
"Pak, Ibu Nurma ...."