Bab 5. Dipisahkan Karena Keadaan

1032 Words
Kukendarai truk dengan kecepatan tinggi menuju ke arah rumah Anas. Masalah ini harus kubicarakan dengan pria itu baik-baik. Bagaimana mungkin Anas mengambil keputusan sendiri dengan memaksa Nurma meninggalkanku karena Kinan? Bukankah aku dan Nurma sudah sepakat untuk merawat gadis itu bersama? Walau, ya, mungkin bagi Anas ini tidaklah adil bagi sang kakak. Pelataran rumah Anas terlihat sepi ketika aku sampai di sana. Toko depan rumahnya juga masih lengang. Usai turun dari truk, aku segera beranjak menuju ke pintu utama rumah itu, ada Imah–istri Anas–yang sedang menyapu lantai. "Assalamualaikum, Ma.” "Wa'alaikumsalam, Mas." Imah tampak terkesiap melihat kedatanganku. Wanita berusia dua puluh tiga tahun itu segera memanggil Anas yang sedang berada di samping rumah bersama sang anak. Ketika melihat kedatanganku, Anas segera meninggalkan pekerjaannya dan menemuiku. "Mas Pram ngapain ke sini?" tanya Anas bersungut. "Mana Nurma, Nas?" tanyaku sedikit tak sabar. "Udahlah, Mas. Ndak usah cari mbak Nurma lagi. Mas pikir aku ndak tahu? Mas pikir aku bisa terus ditipu?" Anas berkacak pinggang. Pria tampak gusar ketika melihatku bersikeras ingin masuk dan membawa Nurma pergi. "Mas Pram ndak pantes sama Mbakku, sudah tinggal saja sama anak harammu itu. Aku bisa menghidupi Mbak Nurma sama Bagas. Dasar lelaki hidung belang," umpat Anas. Aku tahu ini masalah keberadaan Kinan. Namun, apa Anas tak memiliki hati nurani sedikit saja. Aku sudah membiarkan dia hidup belasan tahun tanpa kenal dan mengetahui keadaanku, tanpa kasih sayang, bahkan tanpa bimbingan agama yang benar. Tak kuhiraukan Anas yang masih mengumpat, segera aku masuk ke rumah Anas mencari Nurma. "Nur, Nurma, Bagas. Ini Bapak, Nak," panggilku. Tak ada yang menyahut. Aku yakin Nurma berada di rumah belakang. Gegas aku beranjak sebelum akhirnya Anas mencegahku masuk lebih dalam lagi. "Mas pergi dari sini, aku ndak mau Mas Pram sama Mbak Nurma lagi, pergi Mas. Mas ini sebenarnya punya pilihan. Anak itu atau Mbak Nurma. Apa Mas ndak tau kalau anak haram begitu itu ndak berhak dapat wali dan nasab dari Bapak biologisnya. Anak macam itu bahkan ndak berhak mendapatkan nafkah dari Bapak kandungnya. Dia hanya bernasab ibunya," ucapnya sambil mendorong tubuhku untuk keluar. Aku terdiam sesaat. Jika benar demikian, jika benar Kinan tak berhak mendapatkan wali atau nafkah dariku sedikitpun. setidaknya biarkan aku dan Nurma membantunya untuk mengenal agama. Membantu gadis itu tumbuh seperti laiknya gadis-gadis seusianya. Bukan begini. "Nas, aku masih sah suaminya Nurma. Kamu ndak berhak menghalangiku untuk ketemu sama dia. Untuk Kinan, dia sama sekali ndak berhak mendapatkan karma dari dosa yang kuperbuat. Aku yang salah, jadi biarkan aku berusaha untuk menebusnya,” jelasku. “Tapi ndak perlu bawa-bawa Mbak Nurma,” kata Anas. Aku terdiam. Kemudian, dengan sedikit gusar sekali kukatakan apa ikatan kami. “Aku masih suaminya, Nas.” Anas menyeringai, "Tenang Mas, sebentar lagi aku akan urus surat pisah buat kalian." Aku terkesiap. Tak akan ada surat pisah antara aku dan Nurma. Kami sudah sepakat untuk tak pernah ada kata pisah dan menjalani hidup kami berdua sampai akhir hayat. Aku mencintai Nurma pun Nurma mencintaiku. Mana bisa Anas seenaknya berkata seperti itu? Hari itu, aku pulang tanpa membawa serta Nurma dan Bagas. Entah di mana mereka saat ini. Anas tak mengizinkanku menemui mereka barang sebentar saja. Tentu saja, sekali lagi ingin kupastikan jika ini bukanlah keinginannya. Kinan meletakkan secangkir kopi di meja makan. Raut gelisah terlihat jelas di wajahnya. Aku tahu, Kinan pun merasa bersalah atas kejadian ini. Namun, tak sampai hati aku akan memarahinya. Ini semua hanya karena rasa sayang Anas yang teramat besar terhadap kakak satu-satunya itu. Dan jelas, bukan salah Kinan. "Kopinya, Pak. Kinan enggak tahu enak apa enggak, Kinan cuma lihat sekilas kemarin ibu buatin Bapak," ucapnya pelan. Aku mengulas senyum, berterima kasih kepada Kinan yang ternyata telah lebih dewasa menyikapi keadaan kami saat ini. "Kinan ndak usah khawatir, Ibu sama Bagas pasti bentar lagi balik ke sini," kataku menenangkannya, walau sejujurnya hatiku pun sedang kalut. Tak tahu harus berbuat apa. Hari kedua tanpa Nurma dan Bagas di rumah, tak mampu lagi kubendung rasa rindu ini. Aku tak pernah jauh dari Nurma dan Bagas selama ini. Bahkan jika harus keluar kota aku akan pulang hari itu juga. Kusulut rokok putihan yang hampir habis pada gamitan jari. Asap mengepul membumbung ke langit-langit ruangan. Kinan datang dari arah kamar dan duduk di sampingku. Senyum kusunggingkan agar anak gadisku ini tak khawatir lagi dengan keadaanku saat ini. "Maafin Kinan, Pak. Semua karena Kinan 'kan? Bapak antar Kinan ke tempat Mama aja, deh," ucapnya sambil menunduk. Segera kumatikan rokok pada asbak dan menatap Kinan lekat. Gadis lima belas tahun itu tampak muram. Perasaan bersalah tersirat dari wajah ayunya karena keadaan rumah tangganku yang hampir berantakan. "Kinan ngomong apa, sih? Kinan tetap tinggal sama Bapak. Ibu Nurma dan Bagas juga. Kinan cukup pikirkan sekolah, ya," titahku. "Tapi Pak, Pak Lik Anas–" "Sstts ... Bapak akan jemput Ibu Nurma dan Bagas sekarang. Kinan tunggu di rumah, ya," ucapku lagi. Aku mengusap ubun-ubun Kinan pelan dan segera beranjak menyahut kunci yang tergantung di dinding. Aku harus membawa pulang Nurma dan Bagas malam ini juga. Agar Kinan tak terus merasa bersalah dan bisa kembali mempertahankan rumah tangga. Hujan mulai turun ketika aku sampai di rumah Anas. Pintu tertutup itu kuketuk perlahan, ada sahutan dari si empunya rumah yang terdengar sambil berlari. "Mas Pram." Imah terkesiap melihat kedatanganku. Disusul Anas yang berjalan di belakangnya. "Mau apa lagi, Mas?" tanya Anas kepadaku. Aku tak menyahut. Gegas aku masuk memanggil-manggil Nurma dan Bagas yang tak kunjung kulihat batang hidungnya. Hingga suara Nurma terdengar dari jendela yang terbuka di rumah belakang. "Mas Pram." "Nur, ayo kita pulang," ucapku ketika berada di depan jendela. Nurma tampak bersedih. Air matanya menggenang di wajah putihnya. Namun, ia terus mengangguk demi menjawab pertanyaanku. Tiba-tiba tendangan keras kurasa dari samping tubuhku. Aku terjengkal. Anas menendang pinggangku begitu keras hingga aku terpental ke tanah. Teriakan Nurma terdengar nyaring. "Pergilah Mas! Sebelum kau habis di tanganku," titah Anas. Aku tak gentar. Aku kembali berdiri dan mencoba membuka pintu kamar Nurma. Lagi, tendangan keras mendarat di tubuhku. Disusul pukulan pada wajah dan ulu hati. Napasku terasa sesak karena pukulan Anas benar-benar keras. Aku tak mampu membalas. Pukulan itu terus melayang ke bagian wajah dan dadaku. Hanya tangisan Nurma yang kudengar semakin pelan kemudian menghilang dari pendengaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD