Karena mobilnya sudah tidak berada di jalan tol, terpaksa Zehan mengantarkan Almira ke kantor polisi. Untung saja dugaan pria itu benar, mobil Almira dibawa ke Jakarta sebab plat mobilnya bukan milik wilayah Bogor.
Dari Bogor sampai ke kantor polisi mengurus segala sesuatu untuk mengeluarkan mobilnya, Almira tetap menggunakan mukena seperti sebelumnya--entah dia lupa melepas atau memang merasa nyaman. Dia tadinya sempat berdebat dengan pihak kepolisian, hanya saja Zehan menengahi sampai solusi yang benar-benar baik didapatkan tanpa merugikan siapa pun. Jika terus menggunakan kalimat yang kasar dan tak mau mengalah, maka masalah ini akan berlanjut hingga persidangan--mobil Almira ditahan sampai proses sidang berakhir. Penahanan mobil biasanya akan berlangsung lama, bisa sampai dua minggu atau lebih. Almira merengek, dia takut Papanya tahu dan disita semua fasilitasnya karena tidak berhenti mabuk dan menjadi gadis nakal.
"Lain kali kalau di kantor polisi jaga ucapan, bukannya selesai masalah kamu malah jadi tambah runyam." Zehan menegur tegas, sebab sejak tadi dia gemas sekali ingin membungkam Almira yang tidak berhenti mengomel. "Bawa mobilnya pulang, jangan lagi mabuk-mabukan. Untung polisi tidak tahu kalau tadi malam kamu teler sampai hampir menabrak pengendara lain."
Almira mencebikkan bibirnya. "Kamu menakutiku terus!"
"Saya tidak bermaksud menakuti, tapi ini peringatan untuk kamu. Lain kali lebih berhati-hati dalam keadaan apa pun, jangan mau seenaknya sendiri."
"Iyain aja, aku nggak mau cari ribut." Mendengkus, memalingkan wajahnya dengan memberengut masam. "Gerah!" Almira langsung membuka mukena, melempar ke dalam mobilnya. "Aku mau mengendarai mobil sendiri, nggak masalah lepas mukena kan?" Menaikkan bahu, menatap Zehan yang sudah memalingkan pandangan. Pria itu langsung menjaga jarak, kemudian pamit pulang.
"Apa lagi?" Zehan mendesah kesal saat Almira mendatanginya lagi dan mencegah kepergian Zehan. "Katakan dengan cepat, saya sudah terlalu sabar menghadapi sikap kamu. Saya takut tersulut emosi, kamu memang sangat berbahaya."
"Cuman mau bilang makasih. Ini beneran tulus dari hati. Ya meski kamu nyebelin, setidaknya mobil aku udah kembali dengan selamat."
"Sama-sama." Singkat, jelas, dan padat.
Almira menghela napas kasar. "Nanti kapan-kapan aku main ke rumah kamu. Kita ketemu lagi. Aku pengen denger kamu adzan dan ceramah lagi." Zehan terdiam, tidak menanggapinya. "Jawab dong!" decaknya tidak terima merasa diabaikan. Baru kali ini Almira bertemu seorang pria yang tidak mengaguminya, padahal semua orang berkata jika Almira cantik. Setidaknya jika tidak memuji, para pria senang menatap dan melempar senyum. Lalu Zehan? Jangankan memuji, menatap Almira saja enggan. Entah pria itu terbuat dari apa, dia sangat berbeda.
"Iya."
"Hih, ngeselinnya. Kenapa langsung nggak berani natap aku? Tadi kamu sok-sokan omelin aku, sekarang malah nggak berani ngomong banyak. Aku lebih cantik lepas mukena kan?"
"Sudah bicara yang tidak pentingnya? Saya mau pulang."
Almira menopang dagu, memasukkan kepalanya ke dalam dan berusaha menatap Zehan secara dekat. "Aku unik, cuman aku yang berani jalan sampai ke kantor polisi menggunakan mukena. Kurang baik gimana lagi?" Zehan terdiam, tidak berniat menatap bahkan menanggapi ucapan Almira. Dalam hati dia terus mengucapkan istighfar, mengontrol diri agar tidak marah dan berucap yang membuat Almira tersinggung. Gadis seperti ini yang paling Zehan hindari, begitu menguji iman. "Ya sudah kalau marah, aku nggak mau minta maaf lagi, bukan salah aku. Sana gih balik, nanti kita bertemu lagi minggu depan. Kamu jangan kangen aku ya." Dengan sangat percaya diri Almira berkata demikian, seolah pertemuan mereka sekarang menciptakan banyak momen manis untuk dirindukan.
Ketika Almira menjauh, Zehan langsung menutup kaca mobilnya, berlalu begitu saja tanpa mengucapkan salam atau basa basi lainnya. Zehan memejamkan matanya beberapa saat, menghela kasar sambil mengusap permukaan dadaa.
"Untung ganteng!" Almira mencebikkan bibir, menghentakkan kakinya amat kesal. "Aku jauh lebih cantik kalau berpakaian begini, pakai mukena terlalu ribet dan gerah." Dia mengomentari dirinya sendiri sambil menatap ke arah spion tengah yang ada dalam mobilnya. Almira memperbaiki tatanan rambut, kemudian menambahkan lipstik dan bedaknya agar tidak terlalu pucat.
Gadis berusia dua puluh dua tahun itu sering memberengut jika keinginannya tidak dikabulkan. Ngomong-ngomong, Almira ini sangat mirip dengan Papanya. Memiliki rambut sepunggung bergelombang, alis tebal, hidung bangir, dan bibir kemerahan yang selalu menggoda kaum Adam.
"Apa semenjak putus dari Daffa gue sudah nggak secantik dulu?" Sialnyaa, bahkan Zehan pun tidak berminat memandangnya. Ada apa sebenarnya dengan diri Almira?
Almira malas pulang ke rumahnya, memilih mengunjungi apartemen Hana saja. Lagi pula orangtuanya tidak terlalu sering berada di rumah, semua sibuk bekerja dan mencari uang. Dia sendirian, biasanya selalu dilanda bosan dan berakhir melarikan diri dengan berlibur ke sana ke mari untuk memuaskan hati. Kalau kata Mamanya, Almira ini adalah si Bolang. Senang menghabiskan waktu di luar daripada di rumah.
Kakinya melangkar lebar memasuki lift. Di dalam sana Almira menyempatkan diri berkaca lagi untuk kesekian kali. Menurutnya dia sangat cantik, pahatan wajahnya bak seorang Dewi Yunani tanpa lecet di bagian mana pun. Lalu apalagi yang kurang hingga Zehan tidak tertarik padanya?
Mungkinkan Ustadz Zehan itu penyuka sesama jenis?
"Na, gue datang. Buka pintu!" Dengan tidak sabaran Almira memencet bel, menggedor pintu di hadapannya secara kasar sampai membuat sang empu unit mengerang marah. "Lama banget buka pintu!" Mendesah, lalu masuk tanpa dipersilakan--seolah unit itu adalah miliknya. Sama sekali tidak ada sopan santun, Hana memukul lengan Almira saking jengkelnya. Almira berdecak kesakitan, ingin membalas perlakuan itu namun gagal saat Hana duluan menjauhkan diri.
"Ke mana lo semalam, huh? Gue rasanya mau gilaa nyariin lo ke sana ke mari. Lo ya bener-bener nggak habis tingkah konyolnya, bikin gue emosi terus. Jangan bilang lo semalam menyambangi kediaman Daffa dan membuat kekacauan di sana? Malu-maluin, Al. Lo cantik, lo kaya, jangan ngerendahin harga diri." Hana memijat pelipisnya pusing, untung semalam orangtua Almira tidak meneleponnya untuk menanyakan keadaan gadis bar-bar satu itu. Kelakuannya tidak tertolong, setiap hari bikin ulah.
Almira melotot, menggeleng cepat. "Lo pikir gue semurahan itu? Gue masih punya harga diri tau!" Mencebikkan bibir dengan mata berputar jengah. "Gue nggak bakal ngacak-ngacak acara orang. Biarin aja nanti karma yang membalas semuanya. Gue bakal ketawain Daffa kalau dia sampai nangis-nangis minta maaf ke gue dan bilang menyesal sudah ninggalin cewek sebaik dan secantik gue!" Menjatuhkan secara kasar tubuhnya ke sofa, kembali merengek ketika kepikiran Daffa. "Dia udah nikah, Na. Gue beneran kalah dan kehilangan. Sakit banget hati gue, masih nggak bisa terima. Gue jengkel banget, pengen gue jambak sampai rontok rambutnya!"
"Cengeng! Katanya udah nggak mau lagi ngurusin Daffa, kok sekarang malah merengek nggak jelas. Kayak anak kekurangan makan lo, heran!"
"Emang belum makan, kasih gue makan yang banyak, Na. Gue nggak bisa mikir kalau lagi laper." Kemudian tengkurap dengan wajah dibenamkan pada kedua tangan. "Tadi gue bermasalah ke kantor polisi, mobil gue hampir aja mau disita sama mereka."
Hana yang tadinya akan mengajak Almira ke dapur seketika mengurungkan niat. "Ha? Ke kantor polisi gimana? Lo nggak ugal-ugalan di jalan kan? Atau nabrak orang lo ya?"
Almira menaikkan bahu, memajukan bibirnya. "Mobil gue parkir sembarangan di jalan tol. Semalam katanya gue hampir nabrak orang. Karena kondisi gue mabuk, gue diselamatin sama seorang pria. Dibawa pulang ke rumah dia, keluarganya baik dan alim banget."
"Maksud lo gimana? Gue kagak paham."
"Gue tidur dan dikasih makan di rumah Zehan. Zehan itu pria yang nolongin gue. Dia ustadz dan keluarganya taat agama semua--punya pesantren. Katanya kesian liat gue mabuk dan ketiduran di jalanan, takut gue diserang sama orang jahat dalam keadaan mabuk."
"Lo nggak buat masalah di rumah orang kan?"
Almira terdiam sebentar. "Sedikit sih." Menaikkan bahu tidak peduli. "Tapi nggak salah gue seutuhnya, gue cuman kesal."
Hana melotot, meninju lengan Almira. "Kebiasaan lo, suka nggak tau diri kalau di rumah orang."
"Ada anak kecil yang nakal banget di rumah itu, gue berantem terus sama dia. Pengen gue penyet, jahil banget. Dan lo tahu ... gue selama di sana nggak boleh berpakaian gini. Dari pagi sampai gue ke kantor polisi, gue pakai setelan mukena ini. Di daerah sana nggak ada gue liat orang-orang nggak pakai kerudung, cuman gue rasanya orang kecil yang tersesat di antara orang-orang baik." Almira menggeleng, mengusap dadanyaa merasa tidak pantas berada di tengah-tengah keluarga Zehan. Berasa butiran yang bila tertiup debu pun lenyap, ilmu agamanya sedangkal itu. "Untung keluarga Zehan menerima gue, kayak bodo amat gue ini gimana kelakuannya. Mereka selalu berpikir positif kepada orang lain, sama sekali nggak ngira gue penjahat atau gadis nggak baik. Malah gue di sana disayangi banget, diperlakukan kayak anak sendiri."
Hana memakan potato chip dengan serius sambil menyimak cerita Almira. "Terus lo nggak bikin ulah di sana selain musuhin anak kecil itu kan?"
"Gue katanya susah dibangunin pas subuh, terus gue makan kayak genderuwo. Lo tau kan porsi makan gue banyak? Nah kebetulan gue nggak makan dari kemarin, laper banget. Ditegur sama Abinya Zehan, katanya nggak boleh makan terlalu banyak, apalagi sampai kekenyangan. Tapi gue nggak peduli, gue comotin aja semua yang dimasakan Umi, enak banget lagi. Makanan rumah yang pas banget sama lidah gue, Na."
Hana memutar bola matanya malas. "Untung nggak ada gue di sana, selamat lo. Kalau aja ada gue, udah gue jambak. Lo jangan samain dong rumah gue sama rumah orang. Lo boleh makan apa aja di sini, tapi nggak di tempat orang lain. Nanti lo dibilang rakus."
"Gue laper kok, bukan rakus. Percuma makan tapi nggak bikin kenyang, mending sekalian aja nggak usah makan." Almira memeletkan lidahnya. "Tapi lo tahu nggak, itu Zehan ganteng banget. Badan dia tinggi, bercambang halus, hidungnya mancung banget kayak orang arab, alis tebal, dan tatapannya bikin teduh. Gue bisa bayangin di balik gamisnya itu pasti badan Zehan atletis, perutnya ala-ala roti sobek yang seksi gitu." Mata Almira bebinar terang, kemudian menghela napasnya dengan senyuman lebar--membayangkan.
Hana mengusap wajah Almira kasar. "Sadar lo, dia ustadz jangan zalim begini!"
Almira menopang dagu, terkikik geli. "Ganteng banget, suara dia juga adem. Cuman rada nyebelin. Dia sama sekali nggak natap gue, nggak memandang gue dengan banyak pujian, jaga jarak terus, malah kayak risih banget gitu setiap kali gue deket-deket."
"Kalau ganjen namanya buaya!" Hana mencebikkan bibir. "Lo pikir dia ustadz apaan pakai acara memandangi cewek sembarangan? Lo sama dia bukan mahram, dosa kalau deket-deket, nanti timbul fitnah. Ngaco banget ya emang pikiran lo, udah ikutan nggak waras gara-gara kebanyakan minum alkohol nih!"
"Jangan sok bener lo nasihatin gue. Lo sama gue nggak beda jauh."
Hana mencubit Almira kesal. "Dibilangi bukannya paham malah nyari masalah. Gue meski sesat begini juga tau perihal gitu. Ilmu gue nggak kosong-kosong banget."
Almira menghela napas, beranjak dari sofa menuju dapur. "Makan, Na, laper!" Selalu mengeluh pada orang lain ketika lapar. Almira tidak bisa memasak, lebih tepatnya malas belajar. Dia sudah terbiasa hidup dengan asisten rumah tangga yang kalau apa-apa langsung siap saji. "Yang banyak, Na, jangan pelit sama gue. Nggak gue jajanin lagi nangis lo!" Dengkus Almira melihat Hana menyajikan menu yang dia masak tadi.
"Pelit apa sih, Al? Ini gue wadahin semua masakannya, nggak ada yang gue sembunyiin. Ngasal kalau ngomong, pengen gue sentil mulutnya. Udah minta, nggak tau diri lagi!"
Almira tertawa tanpa dosa. "Enaknya cumi pedas. Sayurannya nggak ada, Na? Biar sehat."
"Nggak ada. Gue belum belanja bulanan, nggak sempat. Gue akhir-akhir ini sibuk banget ngerjain bangunan proyek yang belum kelar di desain. Belum lagi gue ngehitung anggaran bangunannya nanti. Pusing gue, Na. Salah dikit aja bisa kacau." Hana ini adalah arsitektur, dia sangat handal dalam hal perancangan. Desain bangunan yang dia buat sudah begitu menghasilkan, sering bekerja sama dengan para perusahaan terkemuka yang sedang melakukan pembangunan proyek. Bahkan orangtua Almira pernah menggunakan jasa Hana saat membangun sebuah perumahan. Sejak masih duduk di bangku kuliah Hana sudah sangat mandiri, sebab dia tahu jika hidupnya sendirian--tanpa orangtua yang membiayai. Gadis satu ini sangat mandiri dan pekerja keras.
Dulu Hana memiliki Kakek dan Nenek yang sangat baik, tapi kemudian keduanya meninggalkan Hana secara bergantian--Kakeknya meninggal saat Hana masih SMA, kemudian disusul oleh sang Nenek saat Hana duduk di bangku kuliah semester dua. Almira ingat sekali bagaimana rapuhnya gadis itu, sempat menjadi murung dalam beberapa bulan, dia perlu waktu untuk mengikhlaskan semuanya. Memang pada dasarnya manusia yang bernyawa pasti akan kembali kepada sang Maha Kuasa. Tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk usia. Semua hanyalah titipan, akan kembali diambil jika sudah tiba masanya.
"Enak ya jadi orang sibuk tapi ngehasilin duit. Gue capek nih sibuk jadi pengangguran, duit gue juga nggak abis-abis gue bikin hura-hura." Almira menyuap makannya, berbicara serius sekali sampai muncrat air liurnya.
"Telan dulu baru ngomong, Al. Jorok ih!" Almira hanya cekikikan geli, kemudian menyeruput minuman dinginnya. Hanya Almira yang makan, sementara Hana sudah tadi siang, masih kenyang. "Lo kenapa nggak mau kerja di tempat nyokap lo aja sih? Lo bisa jadi penerus dia, bakal kaya raya lo."
Kedua orangtua Almira seseorang yang sangat pekerja keras. Ayahnya adalah pemilik sebuah perusahaan perbankan terbesar di Indonesia. Bank swasta paling sukses dalam negeri, mempunyai nilai aset yang sangat tinggi. Sementara Ibunya adalah seorang pengusaha terkenal di bidang kecantikan dan kosmetik yang sudah beroperasi ke seluruh penjuru Indonesia. Siapa yang tidak mengenal kedua orangtua Almira? Hanya saja selama ini Almira tidak pernah mengatakan siapa dirinya dan sebanyak apa harta orangtuanya.
Sebenarnya nama Almira ialah Almira Hilya Wilson, tetapi selalu menyembunyikan nama keluarganya agar orang-orang tidak segan padanya. Entah kenapa jika orang lain tahu dia adalah keluarga Wilson rasanya tidak nyaman saja, apalagi perilaku orang di luar sana begitu menghormati keluarganya. Sungguh, menurut Almira dia tidak pantas mendapatkan hal itu. Sikapnya sangat tidak layak disegani, dia masih jauh dari kata baik dan sopan.
"Belum mau. Gue kan pemalas naudzubillah!" Almira menaikkan bahu. "Gue sebenarnya nggak kerja pun tetap jadi orang kaya kan? Ngapain susah-susah kerja, bikin pusing."
"Betul juga, enak ya hidup jadi lo."
"Kagak enak. Gue kayak hidup seorang diri. Cuman Bibi Imon tuh yang merhatiin keadaan gue, bokap sama nyokap boro-boro. Mereka kerja dari pagi sampai ketemu pagi. Kalau nggak ke kantor, ya pulang pergi ke luar kota terus. Gue liburan aja jarang ditanyain kapan pulang, terserah gue mau ngelayap ke mana. Nanti kalau gue pulang tiba-tiba ketahuan mabuk, langsung diomeli habis-habisan sampai dikatai bikin malu. Padahal gue cuman butuh kasih sayang dan perhatian dari mereka. Gue sekacau ini gara-gara nggak ada yang gue takuti di rumah, Na. Sedih banget sebenarnya jadi gue, miris!"
Hana mengiyakan itu, mengusap lengan Almira ikut merasakan kesedihan itu. "Gue tahu, gue sudah melihat dan ikut merasakan jadi elo. Kita berteman lama banget. Tapi ya tetap aja, menurut gue hidup lo enak. Nggak kayak gue susah payah siang-malam cari duit sampai nggak bisa tidur. Terlebih lagi gue juga nggak punya orangtua. Lo masih untung punya orangtua, lah gue mau nyari ke mana? Ke dalam laut begitu?" Hana terkekeh pelan. Orangtua gadis itu meninggal karena tragedi tenggelamnya sebuah kapal yang mereka tumpangi, kata Neneknya itu terjadi ketika Hana masih kecil. Kalau kangen orangtua, Hana hanya bisa melihat mereka melalui sebuah gambar. Tidak bisa memeluk, bahkan menggapainya. Tapi satu hal yang perlu Hana tanamkan dalam hatinya, orangtuanya begitu menyayangi Hana. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu.
"Hidup kita sama-sama miris, jadi nggak saling iri. Lo ada temen, gue juga ada temen." Keduanya sama-sama tertawa, berusaha selalu berdamai dengan keadaan yang sebenarnya begitu menyesakkan dadaa.
"Tapi nyokap lo akhir-akhir ini sering telepon gue. Lumayan sih, mungkin tau kalau lo lagi galau habis putus dari Daffa. Lo juga beberapa kali kepergok pulang mabuk kan? Dia khawatir sama keadaan lo. Jadi anak yang baik, jangan terlalu bebas dan hilang arah. Lo terlalu berharga buat ngerusak diri lo sendiri."
Almira mengangguk. "Gue tahu, Na. Gue bakal ingat itu. Sebebas-bebasnya gue, gue tahu batasannya. Gue cuman bersenang-senang, selebihnya gue juga punya dunia sendiri yang harus ditata serapi mungkin agar masa depan secerah yang gue harapin."
"Bagus, anak pinter."