Bagian Tiga

924 Words
Aku merasakan pusing yang teramat dalam, aku membuka kedua mata, pandanganku sangat buram, semakin aku memaksakan diri untuk melihat sekeliling, semakin pusing sakit kepalaku. Aku berusaha menggerakkan tangan hingga seseorang berteriak memanggil orang lainnya, namun aku tidak berdaya untuk mendengar apa yang dikatakan oleh orang tersebut. Aku hanya bisa melihat dengan samar-samar. “Syukurlah nak kamu sudah sadar.” Ucap seorang perempuan yang aku yakin dia adalah mamaku. “Ma....mama” Ucapku lirih. “Ya, ini mama sayang, mama ada di sampingmu. Kamu tidak usah khawatir.” Kemudian ia tersenyum penuh makna. Aku tidak tahu aku ini kenapa, tapi yang jelas untuk saat ini aku hanya ingin tidur, aku merasa tubuhku ini terlalu lelah. “Yasudah kamu istirahat dulu ya nak. Jangan memikirkan hal yang macam-macam, saat ini kesembuhanmu adalah hal yang paling penting. ****** Sudah beberapa hari aku berada di rumah sakit. Saat ini aku sudah merasa lebih baik, untuk itu aku memutuskan untuk bertanya kepada mama apa yang sebenarnya terjadi. “Ma, aku boleh nanya?” “Boleh sayang, mau nanya apa?” “Aku ini kenapa ma? Kok bisa ada di rumah sakit selama lima hari ini?” “Kamu menjadi korban kebakaran di bioskop nak, saat itu kita bertiga sedang menonton bioskop di malam tahun baru, apakah kamu ingat? Namun betapa bodohnya mama yang saat itu meninggalkan kamu sendirian.” Mama menitikan air mata, lalu kemudian papa menghampiri dan mengusap pundak mama. “Sudahlah Reina, itu bukan salahmu. Itu semua sudah takdir Allah, kalaupun ada orang yang patut disalahkan, orang itu adalah aku. Aku yang tidak bisa menjaga dengan baik istri dan anakku.” Jelas papa, mata papa juga berkaca-kaca. Aku sangat terharu mendengarnya. “Sudahlah ma, pa, tidak ada yang salah dalam hal ini, toh saat ini aku sudah pulih, bahkan dalam hitungan hari” “Kamu tidak sembuh dalam lima hari Rania, sebenarnya kamu sudah koma selama empat puluh hari.” Aku terkejut, tidak percaya dengan ucapan mama. “Itulah mengapa kami, papa dan mamamu ini merasa sangat menyesal. Kamu tak sadarkan diri selama empat puluh hari pasca kejadian itu, dokter mengatakan harapan untukmu hidup hanya sekitar tiga puluh persen......” “…..tapi papa dan mama bertekad untuk mempercayai tiga puluh persen itu, kami percaya kalau kamu bisa sembuh, kami yakin bahwa Allah masih memberikan kesempatan untuk kamu hidup.” Mama menangis, aku pun menangis. Papa memeluk kami berdua. “Tapi sudahlah, yang berlalu biarkan berlalu. Benar kata Rania, toh sekarang dia sudah sembuh total dan bisa menjalani kehidupan seperti biasanya.” Papa dan mama mengemasi barang-barangku. Awalnya aku tidak percaya sudah tinggal di rumah sakit selama empat puluh lima hari, tapi setelah melihat begitu banyak perlengkapan rumah yang kemudian berada di kamar rumah sakit, aku menjadi percaya. Sebelumnya aku tidak pernah membayangkan bagaimana bisa seseorang tak sadarkan diri selama empat puluh hari. Namun sekarang aku sudah mengalaminya. Aku juga tidak bisa membayangkan bagaimana papa dan mama melewati semuanya. Anak sematawayangnya terbaring tak sadarkan diri selama empat puluh hari di rumah sakit. Entah sudah berapa banyak hal yang dikorbankan oleh mereka demi kesembuhanku. Aku melihat ke arah mereka, mereka tersenyum, senyum bahagia sekaligus senyum terlelah yang pernah aku lihat. Pa, ma, terima kasih karena sudah merawatku dengan begitu baik. Aku tahu aku tidak akan mampu membalas semua kebaikan kalian, tapi aku berjanji, mulai sekarang aku akan selalu membuat kalian bahagia, aku tidak akan mengecewakan kalian lagi. Aku janji. Seorang dokter laki-laki yang kutafsir usianya sudah memasuki kepala empat masuk ke dalam ruanganku. Dokter tersebut memiliki postur tubuh yang tinggi dan tegap, matanya sipit, kulitnya putih, dan mengenakan kacamata. Ia terlihat begitu bersahaja. “Wah sudah siap-siap mau pulang nih pa, bu?” sapa dokter itu kepada papa dan mama. “Iya dok, Alhamdulillah Rania sudah sembuh berkat kerja keras Dokter Himawan dan tim medis.” Oh, dokter itu bernama Himawan. “Ah tidak seperti itu bu, Rania bisa sembuh karena keajaiban Tuhan yang diberikan kepadanya, berkat doa yang bapak ibu panjatkan setiap harinya. Bahkan saya mau minta maaf karena saat itu sudah mengatakan bahwa harapan untuk Rania hidup hanya tuga puluh persen, padahal saya tidak berhak mengatakan itu, karena bagaimanapun juga saya ini bukan Tuhan.” “Ya memang benar dok, ini adalah keajaiban yang Allah berikan kepada keluarga kami, tapi ia menitipkannya lewat perantara tangan dokter dan tim medis lainnya. Tidak dok, dokter tidak usah minta maaf, justru kami yang seharusnya banyak-banyak berterima kasih.” Dokter itu melihat ke arahku kemudian ia tersenyum, aku membalas senyumannya. “Hai Rania, syukurlah kamu sudah sehat sekarang, pasti sulit ya menjalani masa-masa kritismu.” “Ya dok, Alhamdulillah.” “Bagaimana rasanya tidak sadar selama empat puluh hari? Apa saja yang kamu alami di sana?” Aku berusaha mengingat sesuatu, namun yang ku dapat hanya rasa sakit di kepala. “Baiklah tak usah dipaksakan, jadikan pengalamanmu selama empat puluh hari kemarin untuk menjadi pribadi yang lebih baik ya, Rania.” Dokter itu seolah mengerti. Ia seolah sudah sering menghadapi pasien sepertiku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. “Baiklah dok, kami pamit pulang dulu ya. Terima kasih karena selama empat puluh lima hari ini sudah memberikan perawatan yang terbaik untuk Rania, terima kasih karena dokter sudah berkali-kali menyemangati kami ketika kami merasa kehilangan harapan.” “Ya pak sama-sama. Selama bapak dan ibu berada di sini menunggu Rania, saya sudah mengganggap kalian seperti keluarga saya sendiri, itulah mengapa saya berusaha keras untuk menolong Rania, layaknya anggota keluarga yang tidak ingin kehilangan anggota keluarga lainnya”. Kini aku sadar betapa beratnya kehidupan orang-orang di sekitarku selama aku tak sadarkan diri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD