Selesai merapikan kamarnya, Casey pergi ke kamar mandi untuk menghilangkan aroma menyengat yang sudah mengganggunya sejak tadi. Dia menyalakan keran air untuk mengisi bath tub.
Casey memasukkan tubuhnya ke dalam bath tub. Dia berbaring sembari menyanggah satu kakinya di tepi bath tub. Casey memejamkan kedua matanya merasakan aroma relaksasi yang memenuhi ruangan kamar mandinya.
"Apa kegiatanmu hari ini, Cas?" tanya Casey pada dirinya sendiri.
Perlahan kedua matanya terbuka. Dia menatap ke sudut ruangan dan mulai mengingat sesuatu. Sontak, Casey bangkit berdiri dan berlari menuju meja kecil yang ada di sudut ruangan.
Lagi, Casey lupa jika dia saat ini berada di kamar mandi. Dalam hitungan detik tubuhnya menghantam lantai saat kedua kakinya tidak bisa mengimbangi licinnya lantai tersebut.
Casey menjerit, dirinya meringis kesakitan saat salah satu kakinya membentur sesuatu. Seluruh tubuh Casey terasa remuk. Leher, punggung, tangan, pinggang hingga kakinya terasa sakit.
"Aaauu, God!"
Perlahan dia mencoba bangkit duduk. Masing-masing lengannya mengelus badannya yang dirasa sakit. Hingga beberapa saat kemudian lirikan tajam wanita itu tertuju ke arah meja tujuannya.
Jika di dalam dunia sihir, mungkin tatapan Casey mampu membuat selembar kertas tipis berukuran sebuah tiket bioskop itu terbang dan terbakar di udara. Hanya karena ingin melihat tiket bioskop yang dia dapat beberapa hari yang lalu, tubuhnya harus dibanting lebih dulu ke lantai.
"Aku membencimu!" gertak Casey lalu disusul oleh ringisannya.
Hidup seorang diri selama hampir 17 tahun membuat Casey lebih senang mengajak benda di sekitarnya berbicara dengannya. Rasa takutnya untuk menjalin hubungan dekat dengan orang di sekitarnya membuat Casey tak jarang menyendiri saat di panti asuhan dulu.
Setelah kecelakaan kapal yang dialaminya 17 tahun lalu, Casey ditemukan oleh seorang nelayan di tepi pantai. Selama 10 tahun dirinya hidup di sebuah panti asuhan di Boston hingga akhirnya dia kembali ke California saat 7 tahun yang lalu.
Casey bangkit berdiri. Dia meraih kertas itu di atas meja. Pandangannya membaca tiket perdana yang ia dapatkan.
"Ternyata semalam," gumamnya diiringi desahan penuh kekesalan.
Casey memasukkan kertas yang sudah tidak berguna itu ke dalam tempat sampah. Dengan langkah sedikit pincang karena masih terasa sakit, Casey kembali masuk ke dalam bath tub.
~
"Sebaiknya Anda berkunjung lebih dulu, Sir," saran Enrique saat mobil yang mereka tumpangi melaju di tengah jalan yang padat.
Johnathan menghela napas pelan. Dia memalingkan wajahnya ke arah kaca mobil. Tatapannya memperhatikan sekeliling jalan yang di laluinya.
Dirinya merasa enggan bertemu dengan Lynette Winters, seorang wanita yang merupakan istri dari Darryl Myles serta putra mereka, Philip Myles. Hubungannya dengan Bibi serta sepupunya itu tidak berlangsung baik meskipun semenjak kecelakaan itu Darryl mengangkat Johnathan sebagai putranya.
Johnathan mendengar desas-desus jika wanita yang bernama Lynette tersebut yang telah memisahkan kedua orangtuanya. Hingga Johnathan harus hidup di tengah kota dengan keadaan yang memprihatinkan bersama ibunya sebelum ayahnya datang menjemputnya setelah kematian ibunya.
Bayangan masa lalu masih mampu menyulut emosi Johnathan setiap kali bertemu dengan Darryl maupun istri serta putra mereka. Terlebih sikap kasih sayang yang ditunjukkan Lynette hanyalah kepalsuan semata setiap kali ada Darryl di sekitar mereka.
"Apa kau sudah menyiapkan apartemen untuk tempat tinggalku?"
Pertanyaan Johnathan mengalihkan pembicaraan mereka. Enrique mengangguk samar dengan sorot mata tertuju pada spion kecil di depannya. Sesekali dia memperhatikan keadaan jalan.
"Sudah, Sir. Saya sudah menyiapkannya seperti yang Anda inginkan."
"Apa kau juga sudah menyiapkan wanita yang aku minta?" Johnathan kembali bertanya setelah beberapa saat yang lalu mereka kembali diam.
Enrique tertegun mendengar pertanyaan Johnathan. Dirinya tidak merasa telah mendengar Johnathan juga menginginkan seorang wanita di apartemennya. Dalam sekejap dirinya merasa gugup mengingat ada salah satu tugas yang terlewatkan.
"Maafkan saya, Sir. Saya akan menyiapkannya segera untuk Anda."
Tawa Johnathan pecah dalam sekejap. Sedangkan Enrique masih merasa bingung melihat tuannya tertawa terpingkal-pingkal. Pasti sangat lucu melihat wajah Enrique yang gugup, pikir Johnathan.
"Apa ada masalah, Sir?" tanya Enrique yang masih merasa bingung. Dia tidak sadar jika Johnathan sedang menertawakan dirinya.
"Tidak. Tidak ada," jawab Johnathan masih dengan kekehannya.
Keadaan kembali sunyi. Enrique nampak berkonsentrasi mengendarai mobil yang beberapa hari yang lalu baru Johnathan beli karena mobil sebelumnya rusak di bagian belakang.
Johnathan dan Enrique sangat terkejut saat mereka baru keluar dari kafe dan mendapati mobil Johnathan seperti di tabrak di bagian belakang. Bahkan lampu di kedua sisi pecah parah. Namun Johnathan yang merasa enggan memperpanjang masalah tersebut karena masih merasa lelah, dia membiarkannya begitu saja.
"Anda ingin wanita seperti apa, Sir?" pertanyaan Enrique mengembalikan Johnathan dari lamunan sesaatnya.
"Wanita?" Johnathan kembali terkekeh, "Aku sedang tidak membutuhkannya, Aku hanya bercanda."
Enrique menipiskan bibirnya merespon ucapan Johnathan. Ini bukan pertama kalinya lelaki yang duduk di belakangnya itu membuat candaan. Bahkan Enrique sangat sering dibuat bingung oleh Johnathan.
"Bagaimana? Apa kau sudah menemukan yang aku mau?" Johnathan kembali bertanya.
"Sudah Sir, wanita yang bersama Anda kemarin adalah Casey Odom. Dia seorang wanita yatim piatu dari Boston dan tinggal di California sejak tujuh tahun yang lalu. Saat ini Ms. Casey Odom bekerja di salah satu perusahaan yang akan Anda pegang-"
"Di mana?" tanya Johnathan memotong penjelasan Enrique.
"Di perusahaan Hwakinzel Finance, Sir."
Johnathan terdiam sesaat. Perusahaan itu adalah perusahaan yang berhasil dikembangkan oleh mendiang ayahnya dulu saat masih muda. Johnathan masih ingat penuturan Enrique sejak dirinya memutuskan untuk kembali ke California.
"Sir."
Tatapan Johnathan teralihkan. Dia menatap ke arah Enrique yang sedikit memiringkan kepalanya ke arah samping.
"Anda ingin ke mana?"
"Aku ingin ke apartemen terlebih dahulu."
"Lalu, kapan Anda akan menemui Mrs. Lynette Myles dan-"
"Nanti aku akan menemuinya sendiri saja," potong Johnathan lagi.
Enrique hanya mengangguk pasrah. Dia tidak bisa memaksa Johnathan untuk menemui wanita itu. Dirinya justru kembali memperhatikan keadaan jalan.
"Apa kau tahu di mana wanita yang bernama Casey itu tinggal?"
"Ms. Casey Odom tinggal di salah satu apartemen yang ada di S Bixel St., Sir."
"Antar aku ke sana."
~
Casey keluar dari kamar dengan langkah kaki pincangnya. Dengan sedikit kesusahan, dia akhirnya duduk di ruang tengah. Casey meluruskan satu kakinya yang sekarang sudah mulai membengkak. Dia mengoleskan obat salep pereda nyeri sembari memijatnya ringan.
Sekitar sepuluh menit Casey dalam aktivitas tersebut, dia menoleh ke arah meja kecil di depannya. Layar ponselnya menyala dan bergetar tanpa ada panggilan masuk. Sebelah tangan Casey meraih ponselnya.
"338?" gumam Casey sembari mengingat nomer belakang dari penelepon tersebut. Beberapa detik kemudian Casey mendesah pelan lalu menempelkan ponselnya di telinga.
"Cas? Kau di mana?"
"Aku ada di apartemen. Maaf Charmaine, sebelum kau menawarkannya padaku, aku akan mengatakannya. Hari ini aku tidak bisa pergi, kakiku bengkak karena tergelincir."
"Apa? Lalu bagaimana keadaan kakimu? Apa sudah lebih baik?"
Casey memperhatikan kakinya. Bengkaknya belum berkurang sedikitpun dan masih terasa sakit, "Sudah lebih baik. Aku hanya butuh istirahat saja."
"Baiklah. Aku akan mampir nanti saat pulang. Bye," setelah Casey mendengar kata terakhir, Charmaine langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa menunggu jawaban dari Casey.
Ponsel Casey kembali tergeletak di atas meja. Sang empunya justru terus meringis kesakitan dan mengelus-elus kakinya. Hingga beberapa saat kemudian Casey terdiam mengingat sesuatu.
Kakinya memang sering sakit, terlebih kaki kanannya karena terjepit dinding pintu selama berjam-jam saat kecelakaan dulu. Hanya demi menolong seorang bocah yang baru saja menjadi temannya, Casey hampir tak terselamatkan.
Casey tidak tahu apakah bocah laki-laki itu masih pantas dianggap sebagai seorang teman jika masih hidup. Desahan kasar kembali terdengar. Casey berdecak kesal sembari memukul kedua pahanya.
"Karena kalian aku mengingat masa lalu itu. Seharusnya aku tidak usah menolong dia kalau pada kenyataannya dia juga pergi meninggalkanku. Benar Casey, tidak ada orang yang mengharapkanmu ataupun menyayangimu. Kau seperti kelopak bunga yang gugur, mereka tidak menyukai hal itu Casey. Kau tidak berguna!
"Tapi, setidaknya kau bisa bebas. Anggap saja dunia ini hanya milikmu. Tidak ada yang akan melarangmu melakukan apapun, tidak ada yang akan memarahimu lagi, tidak ada yang akan menghukummu lagi, tidak ada yang akan memukulmu lagi. Hanya kau saja pemilik dunia ini. Hanya kau, Casey Odom."
Setelah merasa lebih baik karena sudah mengeluarkan rasa kesalnya dengan berbicara seorang diri, Casey mulai membaringkan punggungnya perlahan sehingga posisinya saat ini telentang di atas sofa.
Sepasang bola mata birunya menatap ke atas langit-langit apartemennya. Di sana tampak benda-benda berbentuk bintang menggantung. Casey mengangkat satu tangannya seolah memegang benda tersebut.
"Sapro," panggilnya pada bintang yang mempunyai bentuk lebih panjang. Casey menamai bintang itu Sapro, "Apa ada keluarga dengan marga Odom di Los Angeles? Selama tiga tahun aku mencarinya tapi tidak menemukannya," gumam Casey.
Suara bel apartemen membuat Casey tersentak. Dia langsung bangkit duduk saat bunyi kedua terdengar. Dengan susah payah Casey berjalan menuju pintu. Kedua tangannya merambat pada benda-benda di sekitarnya dan dinding untuk membantunya berjalan.
"Iya, sebentar!" teriak Casey kesal.
Bukankah Charmaine mengatakan akan mampir setelah pulang. Sejak kapan Charmaine hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk berkencan dengan kekasihnya? Casey mengumpat kesal mendengar bel apartemennya terus berbunyi, Charmaine selalu melakukan itu.
"Iya, tunggu sebentar," Casey mulai membuka pintunya, "Charmaine, aku kan sudah bilang kalau aku tidak-" kalimat Casey terhenti saat melihat raut wajah tamunya.
Kedua mata Casey terbuka lebar melihat sosok laki-laki yang bertubuh tegap kini sedang berdiri menjulang tinggi di depannya. Bukan seorang wanita berambut hitam dengan pakaian serba seksinya yang selalu menggandeng kekasihnya.
"Ka-kau?!"
"Tidak ada orang bukan?" tanya Johnathan lalu melangkah masuk melewati Casey.