Caca dan Cici Cacing Tak Bisa Dibilangin

1498 Words
Selamat membaca! ♧♧♧ "Dasar dosen pengganti gila, Ganteng Ganteng Sialan! Beraninya mengurungku disini sendirian. Hhhuuaaa ..." Gerutu Alisyah sambil membereskan ruangan Azka. Walau tak suka ia tetap saja melakukan perintah Azka agar membereskan ruangannya. Karena sesungguhnya dia takut pada ancaman Azka yang mau mengeluarkannya dari kampus. Walau bagaimana pun bandelnya dirinya, suka titip absen Alisyah masih sayang dengan kuliahnya. Selang beberapa menit berlalu, ruangan Azka selesai dia bersihkan juga rapikan. Alisyah menghempaskan dirinya ke sofa yang ada diruangan tersebut untuk melepas penat dan mengistirahatkan diri. Lalu tanpa sadar dia pun tertidur. Alisyah tidur dengan pulasnya beberapa waktu lalu terbangun setelah tiga jam berlalu. Matanya mengerjap memperhatikan sekitarnya, sedikit terkejut mengetahui dimana dirinya berada bukanlah kamar kosnya melainkan ruang kerja seseorang dan itu ruang Azka dosennya. Tetapi, hal itu tak berlangsung lama setelah dia ingat kejadian yang membuatnya berada disana. Alisyah beranjak bangun menguap sambil membenarkan dirinya yang agak berantakan setelah tidurnya. Lantas dia menggaruk kepalanya yang tak gatal karena merasa tak tahu harus apa. Berlanjut dengan bunyi perutnya yang menandakan lapar membuatnya refleks menatap sekitar. Syukurlah tak ada orang. "Fiuhhh ..." Alisyah menghela nafas lega. Andai ada orang lain yang mendengarkan bunyi perutnya terutama mahluk ganteng, mau ditaruh dimana wajahnya. Dilemari? Yang benar saja, lemari tempatnya menyimpan pakaian bukan wajah. Perutnya kembali berbunyi untuk kedua kalinya dan hal tersebut membuat Alisyah mengeram kesal. "Caca, Cici sabar napa? Nggak liat apa keadaanku yang sedang terkurung dan disini tidak ada sesuatu yang bisa dimakan," asalnya mengelus perutnya sambil mengomeli mahluk yang bersemayam didalamnya. Maksudnya cacing-cacing yang ada dalam perutnya. Namun, lapar yang kian menjadi membuat perutnya berbunyi kian sering dan membuat Alisyah meringis geram prustasi. "Aaarrgghhh ... diam perut sialan, Caca, Cici g****k! Walau nggak ada orang bukan berarti loh semena-mena bunyi, ya," gerutunya menggila lalu ketika kegeramannya sudah dipuncak, Alisyah bangkit berniat mendobrak pintu ruang kerja Azka agar terbuka. Namun, mana mungkin bisa terbuka, sebab dia mendobraknya dari dalam bukan luar. Ditambah tenaganya sebagai seorang wanita membuat pintu bisa terbuka adalah mustahil. Meskipun begitu Alisyah tak menyerah mendobraknya berkali-kali dengan tenaga yang dia punya. Sekali mundur mengambil ancang-ancang persiapan dan dengan kerasnya menabrakkan dirinya ke pintu. Percobaannya gagal membuat Alisyah mencoba lagi dan lagi. Sampai tiba-tiba pintu terbuka lebar saat Alisyah mengambil ancang-ancang dan tak siap sigap berhenti. Menyebabkan dirinya menabrak dirinya pada seseorang yang baru datang. Gubrak! "Aaarrgghhh ... bangke, kenapa sakitnya melebihi ketabrak batu berjalan!" Alisyah terjatuh terjerembap meringis sakit dia atas tubuh orang yang ternyata adalah Azka. "Apa kamu tidak punya kata yang lebih layak diucapkan lagi?" Azka datar dengan cepat menyingkirkan Alisyah dari atasnya. Alisyah cemberut sambil menatap kesal, "habisnya Bapak mengurung saya disini seperti tahanan." "Itu bukanlah alasan kamu boleh berkata kasar!" Sarkas Azka menyeret Alisyah kembali masuk keruangannya. "Apaan sih Pak, seret-seret pergelangan tangan anak orang. Kalau lecet gimana, memangnya Bapak mau tanggung jawab apa?" "Diam!" Bentak Azka galak membuat Alisyah seketika meneguk ludahnya kasar. Galak ternyata. 'Eh, kok gini jadinya. Harusnya aku yang marah, udah dipaksa jadi asisten dosen, dijadikan pembantu dan dikurung tanpa diberi makan pula bukan malah sebaliknya ...' sambung Alisyah membatin. "Pakai ini." Azka datarnya memberikan paper bag berisikan pakaian pada Alisyah. Namun, gadis itu bukannya langsung menerimanya malah menatap Azka dengan tak sadar, larut dalam pikirannya sendiri. Membuat ego Azka terusik dan menyebabkannya bernafas kasar seraya mengeram. "Alisyah Putri Prayudha! Pakai atau kamu akan ..." "Eh, iya Pak kita makan. Yasudah, yuk!" Alisyah spontan menjawab tak sadar, membuatnya didetik kesadarannya dengan cepat langsung meralat kalimatnya. "Maksudnya baiklah, Pak," ucapnya patuh meraih paper bag yang berisikan pakaian dan membawanya kedalam kamar mandi yang ada didalam ruangan tersebut. "b******k, dasar pria sialan seenaknya saja padaku. Mentang-mentang punya d**a bidang, rahang kokoh serta wajah tampan. Ch, keterlaluan." Alisyah mencibir dengan kesalnya sambil mengunci kamar mandi, lalu dirinya menyadari sesuatu. "Eh, kok aku masuk kamar mandi. Emangnya mau memakai apa sih?" Alisyah memeriksa isi paper bag yang dipegangnya. "Oh, ternyata kemeja. Hebat juga aku tanpa melihat isinya meluncur kamar mandi, tahu aja kalau GGS menyuruhku ganti pakaian. Eh-" Alisyah berbinar menatap merek kemeja isi paper bag tersebut. "Sayang nih kalau aku pakai, kayaknya harganya mahal mending dijualkan lumayan. Ok, fiks aku jual. Pakai sebentar jangan sampai lecet biar laku dan menghasilkan banyak uang, hehe." ♤♤♤ Azka menatap datar Alisyah yang baru keluar dari kamar mandi. Penampilannya lebih baik, sopan tanpa merayu mata lelaki lagi untuk mengintip dari kancing kemeja teratas yang terbuka. Ditambah ukuran kemeja yang Azka belikan ternyata pas, menyebabkan pemakainya tampak memukau dan Azka tanpa sadar terus-menerus enggan berpaling darinya. Deheman Alisyah terdengar dan membuatnya tersadar. "Lama." Azka datarnya sambil mengusap tengkuknya aneh. Lalu tanpa berkata tiba-tiba menarik tangan Alisyah membawanya keluar dari ruang kerjanya menuju tempat parkir. "Bapak mau ngatar saya pulang, oh tidak usah. Saya tak mau merepotkan lagian kos saya masih sekitar lokasi kampus ini Pak." Alisyah pikir Azka membawanya untuk mengantarnya pulang. Secara perlahan senyuman Alisyah mengembang. 'Ah, si GGS, perhatian juga. Manisnya lama-lama aku meleleh, nih ...' "Bukan," jawab Azka singkat membuyarkan serta mengenyahkan pikiran baik Alisyah tentangnya. "Terus Bapak mau membawa saya kemana?" "Makan." "Hahh ..." "Temani saya makan." Alisyah mengangguk setuju diiringi dengan senyumannya yang mengembang. Habis badai datanglah pelangi. Setelah kesialannya tadi pagi, kini saatnya menengguk keberuntungannya. Kemeja baru ditambah makan gratis. ♤♤♤ Alisyah sampai dikosnya saat hari hampir malam, membuat teman kos sekaligus sahabat dekatnya Gea dan Manda menatapnya penuh intimidasi sambil menilap tangan menatap tajam padanya. "Dari mana Syah? Kenapa baru jam segini baru pulang !" Alisyah memutar bola matanya jengah, "jangan natap aku gitu. Aneh tau Manda! Kamu juga Gea apaan tuh, tangan pake ditilap depan d**a segala? Ch, jangan lebay deh," cibir Alisyah kesal sebelum berlalu kekamarnya begitu saja dan hal itu membuat Gea, Manda mengikutinya ke kamar karena tak puas dengan jawaban yang Alisyah berikan pada mereka. "Ok, baiklah. Tetapi, kamu jawablah Syah, kamu kok bisa telat pulang begini?" Tuntut Gea. Alisyah menoleh lalu menuju ranjang dan duduk disana diikuti kedua sahabatnya. "Aku nggak kemana-mana, cuma dikampu doang ngerjain tugas," jawabnya dengan adanya, tapi tidak mudah dipercayai Manda begitu saja. "Tugas apaan? Jangan mengada-ada, Alisyah! Kita ini sejurusan dan seingatku hari ini dosen tidak memberi tugas apapun." "Ya, tidak ada tugas untuk kalian, tapi untuk diriku ada. Nih lihat, betapa banyak tumpukan kertas yang harus aku koreksi." Alisyah memperlihatkan setumpuk kertas yang sedari tadi dibawanya. Membuat Gea dan Manda mengerut bingung tak mengerti. "Maksudmu apaan dan itu kertas apa?" "Kertas jawaban kuis semester bawah." "Kok bisa berada padamu?" "Pak Azka yang memberikannya padaku dan menyuruhku mengoreksinya." "Hah, kok bisa?" "Mulai beberapa jam lalu aku resmi jadi asisten dosenya." "Oh, tapi kenapa kamu. Maksudku kamukan tukang kabur dan hobi nitip Absen, kenapa pak Azka milih kamu buat jadi asisten dosennya?" Seketika Alisyah menoleh manatap galak Gea. Apa katanya? 'Tukang kabur dan hobi nitip Absen' Alisyah tak suka dengan bagian kalimat itu. Sebab, bagaimanapun dirinya yang seburuk itu memanglah benar, dia tak sadar diri dan tak suka dikatai begitu. "Ya, 'aku tukang kabur dan hobi nitip Absen.' Dan kalianlah mahasiswa teladan bahkan Devalah mahasiswa paling pintar. Tetapi, pak Azka milih aku emangnya kenapa? Nggak terima? Yasudah protes saja sana padanya," cibir Alisyah dengan pedasnya. "Eh, buset. Ucapanmu pedas amat Syah. Selow, rileks kita nggak ada maksud buruk kok. Hanya heran saja," jelas Gea yang disetujui oleh Manda. Alisyah menghela nafas, sepertinya dia baru sadar terbawa emosi. Habisnya sih, baru pulang udah diwawancara introgasi. "Hm, aku harap maklum kok. Tenang saja. Aku sudah paham cara kerjanya mulut Gea yang remnya blong suka gak sadar sama ucapan sendiri nyinyirin orang lain." Alisyah mengangkat bahunya acuh sedang Manda malah menggelengkan kepalanya dan Gea mendengus kasar tak terima ucapan Alisyah. "Dan kamu suka tak sadar diri!" Kesal Gea menyulut Alisyah. Menyebabkan keduanya perang dingin saling berbalas menatap tajam, membuat Manda mengusap wajahnya kasar. Mulai lagi kelakuan kekanakan kedua sahabatnya itu. Mereka berdua selalu saja begitu acap kali berdebat lalu bertengkar dan baikan. Begitu kiranya siklus persahabatan Alisyah-Gea, seperti Tom and Jerry saja menurut Manda. "Jangan mulai lagi deh ..." Manda meringis kesal. "Dia sih, yang mulai Manda." "Jangan nuduh sembarangan, Gea. Jelas kamu yang dulu menyulut emosiku." "Kamu!" "Kamu!!" "Kamu!" "Kamu, enak saja aku yang salah jelas-jelas kamu." "Loh itu kebenarannya, emang kamu kok." Tak ada yang mau mengalah diantaranya membuat Manda jenuh sendiri. Membuat Manda yang tak tahan lagi menyaksikan situasi tersebut segera beranjak keluar. BLAMM!! Pintu kamar kos dibanting keras oleh Manda, sebelum gadis itu keluar serta berhasil menarik perhatian dua orang yang tengah bertengkar hebat dan, sehingga menghentikan aksinya. "Manda!!" Teriak Alisyah dan Gea bersamaan dengan kompaknya. "Uang kos belum lunas, jadi jangan tambah uang ganti rugi!" Sambung keduanya serentak berbarengan memperingati Manda. Namun, hal itu tidak diperdulikan Manda sama sekali. Dia berlalu bergitu saja dengan acuhnya, bahkan tak menoleh kebelakang lagi sama sekali. "Makan tuh! Ch, tiap hari bertengkar mulu kerjaannya. Tidak pernah bosan dan lama-lama membuatku jadi muak menyaksikannya. Aaaggrrh ..." Geram Manda sambil meremas jari-jarinya sendiri berlalu dari sana. ♤♤♤ TO BE CONTINUED
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD